Dedi Mulyadi (Dangiang Ki Sunda )
Dedi Mulyadi, SH seorang pemimpin muda usia berkarakter, cerdas,
visioner dan teguh pada komitmen. Dia masih tergolong muda (37 tahun)
untuk sebuah jabatan yang cukup tinggi, Bupati Kabupaten Purwakarta
(2008-2013). Bupati termuda, kelahiran Subang 12 April 1971, ini punya
visi membangun Purwakarta menuju digjaya berbasis kearifan lokal.
Sebelumnya, ia menjabat Wakil Bupati Purwakarta, dilantik pada tanggal
13 Maret 2003 mendampingi Drs. Lily Hambali Hasan, M.Si. Dia tercatat
sebagai wakil bupati termuda (32 tahun). Ketua DPD Partai Ketua Dewan
Pembina Partai Golkar
Golkar dan mantan anggota DPRD Purwakarta ini punya prinsip, "berpikir cerdas dan bekerja keras."
Selama lima tahun menjabat Wakil Bupati, ia banyak mengunjungi berbagai
pelosok Purwakarta serta mendalami tata kelola pemerintahan daerahnya.
Pengalaman selama lima tahun itu telah menginspirasinya menetapkan visi
pembangunan Purwakarta Berkarakter. (Baca: Wawancara Dedi Mulyadi)
Visi Purwakarta Berkarakter itu dijabarkannya dalam misi: (1)
Mengembangkan pembangunan berbasis religi dan kearifan lokal, yang
berorientasi pada keunggulan pendidikan, kesehatan, pertanian, industri,
perdagangan dan jasa; (2) Mengembangkan infrastruktur wilayah yang
berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berorientasi pada semangat
perubahan kompetisi global; (3) Meningkatkan keutuhan lingkungan
baik
hulu maupun hilir, fisik maupun sosial; dan (4) Mengembangkan struktur
pemerintahan yang efektif, yang berorientasi kepada kepuasan pelayanan
publik, mengembangkan potensi kewirausahaan birokrasi yang berorientasi
kemakmuran rakyat. (Baca: Visi: Berbasis Kearifan Lokal dan Sembilan
Langkah Menuju Digjaya Purwakarta).
Pemimpin Sejak Belia
Dedi
memang sudah dilahirkan menjadi pemimpin yang pejuang, berpikir cerdas,
gigih dan pekerja keras. Ayahnya, seorang prajurit TNI, meninggal pada
usia muda (28 tahun), sehingga ibunya Karsiti harus berjuang keras untuk
menyekolahkannya. Masa kecilnya sudah harus dijalani dengan perjuangan
hidup, bekerja keras sebagaimana layaknya anak-anak yang hidup di
kampung. Mengembala domba dan membantu ibunya menjadi buruh tani di
sawah dan ladang para tetangga.
Banyak kenangan yang bernuansa
kejuangan pada masa kecilnya. Salah satu yang tak pernah dilupakannya,
saat ibunya harus menjual cincin kenangan sunatan Dedi untuk membeli
seekor domba untuk diternak. Dedi kecil pun bekerja keras membantu
ibunya menernak domba itu hingga berkembang menjadi lebih 40 ekor.
Dedi menempuh sekolah dasar dan SMP swasta di Subang. Sewaktu duduk di
bangku SMP, Dedi harus mengayuh sepeda sejauh 10 kilometer. Kemudian,
dia melanjut ke SMA Negeri I Purwadadi, Subang, tamat tahun 1990. Saat
menempuh pendidikan di SMA itu dia menyambi jadi tukang ojek sepeda
motor dan tukang foto keliling.Saat itu, dia juga sudah dikenal sebagai
pelajar yang pintar pidato, ceramah dan bermain drama, sehingga dia
dijuluki si unil dan si lembe.
Setelah menamatkan SMA, ia
melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Purnawarman,
Purwakarta, meraih gelar sarjana hukum tahun 1999. Jadi pada puncak
reformasi, dia baru saja menamatkan kuliah.
Sejak hijrah dan kuliah di Purwakarta, dia sudah giat dalam berbagai organisasi. Lihat Daftar Aktivis
Aktivis muda ini sudah sangat dikenal dan diperhitungkan berbagai
kalangan, baik mahasiswa maupun birokrat dan politikus. Sejak kuliah ia
sudah bersentuhan dengan dunia politik. Tahun 1993, Dedi sudah menjadi
penulis pidato ketua partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar
Golkar Purwakarta, almarhum Babisni.
Masalah kepemimpinan sudah digumulinya sejak anak belia. Dedi terbilang
amat gemar bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat. Berbicara
bahkan berpidato di depan orang-orang tua, sudah dilakoninya sejak kelas
6 SD. Dedi, sang pemimpin belia, telah menjadi ketua kelas sejak kelas
satu SD.
Bahkan di kalangan anak-anak penggembala kambing, ia
menjadi ketua penggembala kambing di kampungnya. Jadi sejak kecil, Dedi
sudah terbiasa bagaimana cara mengelola sebuah komunitas dan bagaimana
cara berkomunikasi yang baik. Memimpin dan berbicara di hadapan banyak
orang tua dan terpelajar bukan hal yang baru baginya.
"Kadang-kadang saya terlalu ke-pede-an. Mungkin karena usia muda, saya
merasa apa yang saya sampaikan ini begitu dipahami oleh banyak orang.
Padahal orang mungkin tidak paham dan mungkin orang tidak suka dengan
apa yang saya sampaikan," katanya kepada Lihat Daftar Wartawan
wartawan Tokoh Indonesia.
Hal itu dikemukakannya tatkala ditanya masalah kepemimpinan. Sebagai
seorang muda yang memimpin sebuah kabupaten yang terdiri dari beragam
masyarakat mulai dari yang muda sampai yang tua. Tentu banyak yang
merasa lebih punya kepemimpinan dari dirinya. Bagaimana caranya untuk
tampil dan didengar?
Tatkala masih kanak-kanak, ia sudah
didengar, apalagi setelah menjadi bupati! "Nah, saya sekarang itu justru
terbalik, saya belajar untuk tidak pede. Karena, sejak kecil saya
selalu pede, gitu lho. Nah, saya takut over dosis kepercayaan diri saya.
Nah, itu tidak baik. Over confident itu kan tidak baik. Nah, saya
sekarang mulai belajar untuk tidak percaya diri," katanya.
Dedi
mengaku, sebagai pemimpin akan selalu menghadapi tantangan. "Ya,
tantangan pasti banyak. Setiap pekerjaan pasti ada tantangan.
Kepemimpinan saya sangat banyak tantangan. Mungkin di antara bupati di
Indonesia ini, saya yang paling sering didemo. Bahkan, ada langganan.
Setiap jumat, saya didemo. Didemo, karena ada kerangka pemahaman yang
saya sampaikan yang menimbulkan kontroversi. Nah, saya justru belajar
dari itu," katanya.
Beberapa umat Islam, termasuk Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Purwakarta mengecam pernyataannya yang disampaikan pada
acara Pengajian Bale Paseban, di Pendopo Purwakarta, Jawa Tengah, pada 7
Agustus 2008, mengenai ayat-ayat kitab suci Al Quran dan alat musik
suling. Ia dinilai menyejajarkan kitab suci Al Quran dan alat musik
suling.
Menanggapi kecaman ini, Dedi menunjukkan kebersahajaan
kepemimpinannya. Dengan jiwa besar, dia mengaku pernyataan yang
disampaikan dalam acara Pengajian Bale Paseban tersebut merupakan bagian
dari kekhilafan dari lemahnya pemahaman agama yang dimiliki.
"Saya meminta maaf kepada umat Islam di Purwakarta. Itu memang
kekhilafan saya. Saya tidak bermaksud menyejajarkan eksistensi Alquran
dengan alat musik suling. Itu hanya perbedaan interpretasi dan pemahaman
saja. Saya tidak mau berargumen lebih jauh, dan saya tak ingin
berdebat," katanya seperti dikutip KB Antara dan berbagai media.
Untuk itu, dalam perspekif ke depan, kepada Tokoh Indonesia, dia
mengatakan merasa perlu harus merubah style. "Belajar untuk tidak
percaya diri dengan apa yang diucapkan. Sehingga proses mengkaji setiap
ucapan-ucapan itu lebih didahulukan dibandingkan dengan berucap. Karena
memang kebiasan saya itu spontan. Pikiran dan ucapan itu hampir bareng,"
katanya.
Dedi, memang sosok yang terbuka dan giat di berbagai
organisasi sejak muda. Tahun 1994, dia menjabat Ketua Umum HMI Cabang
Purwakarta. Kemudian anggota Senat Mahasiswa STH Purnawarman,
Purwakarta, pada periode yang sama. Dia pernah menjabat Wakil Ketua DPC
Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI), tahun 1997,
Sekretaris PP SPTSK-KSPSI, tahun 1998, Wakil Ketua GM-FKKPI, Ketua
Pimpinan Cabang Pemuda Muslim Indonesia, dan Sekretaris KAHMI Purwakarta
(semua tahun 2002)
Karir politiknya makin mengorbit pada era
reformasi. Tahun 1999 dia terpilih duduk di kursi DPRD Purwakarta dari
Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar
Golkar dan daerah pemilihan
Kecamatan Tegalwaru. Selama lima tahun, ia selalu terpilih menjadi
Ketua Komisi E. Dia pun menjabat Wakil Sekretaris Partai Golkar,
kemudian menjadi Sekretaris. Sampai akhirnya didaulat secara aklmasi
menjadi Ketua DPD Partai Golkar, tahun 2004 sampai sekarang.
Perihal bagaimana jalan ceritanya sampai ia bisa menjadi Ketua DPD
partai Golkar (partai besar) dan wakil bupati dalam usia 32 tahun,
kemudian jadi bupati dalam usia 37 tahun. Dedi mangakuinya sebagai
ketentuan Allah. Dia sendiri merasa semuai itu sebagai faktor perjalanan
dan bekerja saja.
Semuanya alamiah. Dia selalu meyakini, apa
yang dilakukan, apa yang didapat, dan apa yang diperbuat semuanya tidak
lepas dari Allah SWT, yang menentukan segala sesuatu. "Jadi, banyak
hidup ini yang tidak terencana dan tidak direncanakan. Satu prinsip saja
dalam hidup ini, kerja keras. Ketika orang sudah kerja keras, tidak
usah merencanakan sesuatu, karena Allah akan memberikan sesuatu. Ini
yang ada dalam diri saya," katanya.
Dia berkisah bahwa ketika
reformasi, banyak orang-orang muda yang loncat meninggalkan Golkar
karena dianggap partai Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru. "Saya malah asyik dengan Golkar. Kenapa? Karena ada sebuah
barang yang ditinggalkan oleh banyak orang. Potensi saya jadi pemimpin
itu menjadi besar, karena saingannya menjadi sedikit. Dan hal itu memang
terjadi," katanya jujur.
Bagi dia, reformasi itu sebagai berkah.
"Karena tanpa reformasi ini, tidak mungkin saya jadi ketua partai.
Waktu itu kan tidak mungkin. Sangat sulit saya menjadi anggota DPRD.
Apalagi jadi bupati. Tapi dengan reformasi ini, dimungkinkan setiap
orang untuk memimpin," ungkapnya.
Memang, reformasi telah
memungkinkan mutiara-mutiara kepemimpinan muncul ke permukaan, tidak
lagi mudah terbenam. Dedi mengalami itu. Ketika reformasi, dia menjadi
pengurus partai, menjadi sekretaris, menjadi anggota DPR dan wakil
bupati sebelum menjadi bupati.
Menjadi wakil bupati apalagi
menjadi bupati, semula tak pernah direncanakannya. "Ya, itu sudah
menjadi ketentuan Allah, karena segala sesuatunya sangat mendadak. Saya
diminta oleh teman-teman waktu itu untuk maju. Dimintanya untuk menjadi
bupati tapi saya menolak, karena saya melihat kapasitas diri saya.
Kemudian, saya konsisten untuk mendukung Pak Lily waktu itu menjadi
bupati, dan saya menjadi wakil," ungkapnya.
Semula Dedi menjadi
tim sukses calon bupati Drs. H. Dedi Mulyadi, Msi. Tetapi dinamika
politik yang berkembang memberi peluang kepada Dedi maju sebagai calon
wakil bupati untuk mendampingi calon calon bupati Lily Hambali, tahun
2003. Ternyata pasangan tersebut memenangkan pemilihan dengan meraih 25
suara.
Selaku pembantu bupati, Dedi melihat Purwakarta telah
berkembang pesat dan masyarakatnya berkembang dinamis dalam tingkat
heteroginitas tinggi. Namun dia melihat sisi lain dari perkembangan
tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengubah pola hidup masyarakat
yang instan menjadi alami. Pendekatan kultur budaya harus dicanangkan
sebagai roh pembangunan untuk mendongkrak perekonomian pedesaan.
Ketika menjadi wakil bupati, ia tahu wakil bupati itu sedikit
pekerjaannya. "Saya tidak pernah mengeluh dengan sedikit pekerjaan atau
tidak ada pekerjaan. Saya justru senang punya kesempatan untuk
berkeliling," ujarnya.
Dalam setiap saat bertemu dengan
masyarakat, berkomunikasi, berdialog, Dedi berupaya memahami mereka. Dia
pun melihat dan mendalami alur birokrasi. "Saya belajar betul selama
lima tahun," katanya.
Dedi pun kemudian ikut pilkada berpasangan
dengan Drs Dudung B Supardi, MM, mantan Sekretaris Kabupaten Purwakarta,
dengan keyakinan sejak awal bahwa ia akan menang, karena ia
berkeyakinan lebih mengenal rakyat dibanding dengan yang lain. "Saya
lebih mengenal Purwakarta. Sampai jalan kecilnya saya tahu. Jalan
bagusnya, jalan jeleknya saya tahu di sebelah mana. Dengan keyakinan
itulah saya maju dan alhamdulillah, saya terpilih. Dan ketika saya
terpilih, saya sudah tidak bingung lagi program apa yang akan mau saya
kembangkan. Karena selama lima tahun sudah tahu apa yang harus
dilakukan," jelasnya.
Suami Anne Ratna Mustika, mantan mojang
Prahyangan, dan ayah dari Maulana Akbar Yudistira dan Ahmad Habibi ini,
memang dikenal supel, cerdas, dan merakyat. Ketika menjadi anggota DPRD
pun, ia rajin mengunjungi dan rutin Salat Jumat di Tegal Waru, di tengah
konstituennya. Banyak waktunya yang dihabiskan dengan rakyat. Bagi dia,
figur seorang pemimpin harus merakyat dan jangan ada pembatas.
Menurut Dedi, Lihat Daftar Tokoh Politisi
politisi itu harus membangun karakter dan bersahaja agar apa yang
diucapkan dan apa yang melekat dalam tubuhnya menjadi simbol jati
dirinya, tanpa bersikap dibuat-buat. Sikap bersahaja dengan sering
tampil dengan pakaian tradisional Sunda, hitam-hitam dan "lepas iket" di
kepala membuat dirinya semakin dikenal banyak orang. Hal ini sesuai
dengan programnya "balik kalembur" dengan konsep kesundaan.
Dukungan Isteri
Seorang pemimpin, keberhasilannya sangat banyak dipengaruhi dari rumah.
Titik berangkatnya dari rumah. Kondisi rumah, keluarga, terutaama
isteri. Dedi cukup merasa beruntung, berbahagia dan bersyukur karena
didukung isteri yang cantik dan baik.
"Alhamdulillah, saya punya
istri walaupun masih relatif muda usianya, sangat memahami tentang
pekerjaan yang saya miliki. Tidak pencemburu. Kemudian dia tegar ketika
menghadapi berbagai tekanan politik yang begitu kuat," ungkap Dedi
Mulyadi meenjelaskan peran isterinya Anne Ratna Mustika, mantan mojang
Prahyangan.
Isterinya juga memahami bahwa pemimpin hari ini harus
dekat dengan rakyat. "Secara ekonomi, kita tidak boleh lagi sayang
terhadap harta benda yang kita miliki. Penghasilan yang kita miliki
bukan hanya penghasilan kita, sudah penghasilan banyak orang. Suatu saat
harus kita bagi. Jadi sudah terbiasa menerima tamu puluhan orang ke
rumah."
Di bawah asuhan Sang Isteri, anak-anaknya pun tumbuh
menjadi anak-anak yang memahami betul pekerjaan bapaknya. Mereka tahu
ayahnya seorang Lihat Daftar Tokoh Politisi
politisi, pemimpin di
daerahnnya. Kedua anaknya, Maulana Akbar Yudistira dan Ahmad Habibi,
juga mengikuti jejak Sang Ayah, menjadi pemimpin di lingkungannya.
Dedi dan isteri mendidik anak-anaknya bersahaja. Mereka memilih lebih
sering tinggal di kampung daripada tinggal di rumah dinas. Hal ini
sengaja dilakukan agar anak-anaknya jangan tumbuh menjadi eksklusif. "Di
rumah dinas, anak saya tumbuh menjadi eksklusif. Dia tidak punya teman,
hanya berdua. Saya khawatir kalau dewasa punya kelainan. Sehingga saya
bawa lagi ke desa. Anak-anak saya suruh bergaul dengan anak-anak desa.
Mancing di pinggir kali, kemudian kemarin itu kan ada pemilihan kepala
desa, ada ngubiak balong, anak saya ikut ngubiak balong. Kakinya
bengkak-bengkak, saya biarkan. Mereka harus tumbuh menjadi anak yang
hebat dalam linkungannya," jelas Dedi.
Bagaimana ia bisa
mendapatkan isteri yang cantik dan menjadi ibu yang baik? Ternyata
diperkenalkan Nina Meinawati, yang kini menjabat Kabag Humasnya IPemkab
Purwakarta. Pertama kali mereka bertemu di rumah dinas bupati.
"Mendapatkannya, ya biasa saja. Memperlihatkan sikap keegoannya,
memperlihatkan sikap biasalah. Kalau ingin dapatkan Lihat Daftar Tokoh
Perempuan
perempuan cantik, kita kan harus kelihatan seperti pandai," kenangnya seraya tersenyum-senyum.
Dedi mengaku isterinya memang sangat cantik. "Pemimpin itu kan harus
punya selera. Saya melihat, presiden itu rata-rata istrinya
cantik-cantik. Tidak ada salahnya, saya pun kalau bupati, istrinya
cantik. Begitu kan," katanya.
"Jadi, kalau mendapatkan Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuan cantik kan kita harus percaya diri dan sedikit kita sering
berbohong, gitu. Akhirnya dapat. Kalau sudah dapat kemudian isteri kita,
tahu kita aslinya kan. Ia menyesal, gimana, sudah jadi isteri, akhirnya
diterima apa adanya kan," ujarnya setengah bercanda.
Dedi
mengaku cukup banyak kontribusi isterinya untuk mendorong
kepemimpinannya. "Kalau saya tidak punya isteri yang sabar, yang bisa
menerima keadaan, yah sudah berantakan. Tapi karena isteri saya selalu
menerima, bahkan dari segi sistem, sangat menghormati saya sebagai
pemimpin di keluarga. Dan tahu watak keras saya kalau sudah bersikap,"
aku Dedi.
Menurut Dedi, isterinya sudah dibiasakan untuk tidak
diantar pakai mobil. Sekali-kali naik angkot pergi ke pasar, tidak boleh
perintah staf. "Istri saya tidak boleh perintah staf saya. Tidak boleh
mencampuri urusan saya sebagai kepala daerah. Tidak bisa isteri saya
nitip orang untuk jabatan tertentu," katanya. Ia mengaku termasuk lelaki
yang sangat konvensional, punya sikap sangat primitif sebagai suami.
Bukan laki-laki modern seperti kebanyakan orang.
Tapi, akunya,
semuanya itu memang didasari sikap isterinya yang juga lebih memilih
peran sebagai ibu rumah tangga. Ibunya anak-anak. Seorang ibu yang baik,
yang melahirkan dan mengasuh anak-anak yang kuat dan soleh.