expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 24 Juli 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ke Enam : Tali Paranti Karuhun
"Memperbaharui Semangat SiIiwangi"
Hari.-hari ini Bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang pandai mencaci tidak pandal memuji. Saya aneh ketika BBM naik, demonya luar biasa, tetapi ketika BBM turun tidak ada yang menyatakan mendukung penurunan BBM —apalagi mela- kukan doa pujian kepada pemerintah. Kenapa bangsa ini menjadi bangsa yang tidak pandai bersyukur? Kita kehilangan tradisi nenek moyang siliwangi, yaitu kehidupan bermasyarakat yang silih asah siIih asih ‘silih asuh, nulung kanu butuh nalang kanu susah. nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun.
Si!ih asah adalah pandangan hidup bahwa setiap manusia seperti pisau. Fungsi pisau adalah untuk memotong, bila daya memotongnya hilang, pisau tak bisa disebut pisau, ia hanya sebongkah besi. Agar pisau bisa tetap memiliki fungsinya, ia harus diasah pada batu asahan. Pasti terasa sakit, namun itulah yang harus ditempuhnya bila ingin tetap mempertahankan kepisauannya. Setiap masalah adalah batu asahan yang akan mempertajam fungsi kemandirian kita masing-masing. Karena itulah.. saya tak pernah menyerah untuk melakukan sejumlah program yang barangkali belum dipahami arahnya sehingga menghasilkan banyak demo. Nah. pada kehidupan masyarakat, batu asahan itu tidak hanya berasal dari masalah, tetapi juga dari orang lain, dan perbedaan pendapat, dan kesalahpahaman, atau dan proses kritik yang langsung dilakukan secara sengaja. Dengan demikian.. kritik bukan hal yang tabu dalam budaya Sunda —asalkan didasarkan pada niat tulus karena semakin diasah akan semakin kuatlah fungsi dari setiap kehidupan.
Silih asah juga merupakan pesan leluhur bahwa dalam kehidupan ini, setiap individu harus mau mengasah potensina masing-masing. Proses mengasah ini tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi dalam ke-saling-an. Semua orang saling memunculkan potensi dari masing-masing yang Iainnya. Betapa indahnya petuah leluhur ini bila diterapkan secara sadar. bukan sekadar penghias mulut belaka.
Silih asih adalah proses saling mengasihi, menyebarkan cinta. Semua orang memiliki cinta dan ingin dicintai, melalui cinta kehidupan berkembang dan menghasilkan sesuatu yang baru. Kehidupan penuh cinta adalah kehidupan yang menghasilkan kemakmuran, sebaliknya kehidupan penuh kebencian adalah kehidupan yang mengarahkan diri pada kematian. Saya ingin membangun Purwakarta ini dengan cinta, dengan saling menyebarkan kecintaan. Dalam cinta, ada saling memperbaiki tanpa harus menggunakan bahasa verbal. Dalam cinta, ada kesaling mengertian tanpa bahasa, bila yang satu merindu, yang lain di seberang sana sedang menunggu. Bila yang satu bekerja satu hal, yang lainnya secara otomatis akan mengerjakan apa yang dibutuhkan bagi keberhasilan pekerjaan yang lainnya.
Semua pegawai negeri harus silih asih antar sesama karena hanya dengan cara ini terjadi proses saling mengisi dalam
melaksanakan program. Sebagai bupati, saya akan mengasihi warga masyarakat sehingga saya dapat memahami kebutuhan rakyat tanpa perlu protes; namun ini bisa terjadi bila rakyat pun mengasihi bupatinya. Tanpa
ada daya cinta dari rakyat, bupati akan kehabisan tenaga;
sebaliknya tanpa cinta dari bupatinya, rakyat pun akan
sengsara. Dalam kesalingasihan ini, bila bupati membangun jalan, rakyat akan memeliharanya seperti kekasih memelihara tanda cinta dan pasangannya.
Dalam kesalingasihan ini, ketika rakyat melakukan protes,
bupati dan pejabat lain akan menerimanya sebagai sebuah
teguran kekasih agar semakin baik dan berbudi.
Silih asuh adalah saling memelihara dan menumbuhkan.
Seperti petani yang menumbuhkan padi, ia membantu tumbuhnya padi sesuai karakter padi itu sekaligus juga setelah itu ia mendapatkan makanan (tanda cinta dari padi tersebut). Pada cara pandang ini, semua orang adalah ibu yang sanggup memberikan perhatian, pendidikan,pemeliharaan, dan mendorong pertumbuhan semua orang lainnya. Saya menginginkan petuah nenek moyang ini sebagai dasar pembangunan Purwakarta. Prinsip silih asuh akan menyelamatkan kita dari nestapa manusia modern yang gampang stres ketika menghadapi masalah. Melalui silih asuh, saya yakin beratnya kehidupan dan keinginan kita untuk “Digjaya Purwakarta” akan dapat dihadapi dengan mudah karena semua pihak akan saling memelihara.
Ketiga silih dalam fliosofi silihwangi merupakan pesan bahwa nenek moyang Sunda menginginkan kesetaraan semua pihak. Semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, yaitu mendapatkan asahan agar potensinya berkembang, mendapatkan kasih sayang agar rasanya semakin tumbuh, dan mendapatkan pengasuhan agar siap menghadapi setiap permasalahan dalam kebersamaan. Inilah, sekali lagi, yang akan menjadi Purwakarta Digjaya.
Nulung kanu butuh nalang kanu susah; Nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun adalah filosofi hidup bersama dalam kesatuan yang saling bermanfaat. Istilah sains biologi dan kearifan ini adalah autopoesis, yaitu kemampuan alam semesta untuk saling mengisi. Kearifan alam mengajarkan bahwa bila satu sama lain saling terkait, saling mengisi, tak akan ada sampah. Lihat saja alam, tak ada sampah yang terbuang; sampah dari satu makhluk hidup adalah makanan bagi makhluk hidup yang lain. Misalnya. oksigen adalah sampah proses fotosintesis dari tumbuh-tumbuhan ternyata berguna bagi manusia (bayangkan bila hidup ini tanpa oksigen!); sebaliknya karbondioksida adalah sampah dari kegiatan pernafasan manusia, ini pun ditunggu tumbuhan sebagai bahan bakar kehidupannya.
Kearifan lokal mendorong kita untuk hidup dalam keajaiban saling hubung, silih asah, silih asuh, dan silih asih. Rupanya, kearifan lokal menginginkan tatanan kehidupan tanpa sampah, kearifan lokal meyakini bahwa hidup ini mulia karena itu tak ada sisa yang harus dibuang sia-sia. Dalam kearifan lokal, silih asah, silih asih, dan silih asuh ini akan terbangun masyarakat yang tidak pernah merugi karena tidak ada benda terbuang sedikitpun semuanya dimanfaatkan ulang; juga tidak ada yang tidak berguna, semua orang akan bekerja karena ia memiliki manfaat yang dimanfaatkan.
Kehidupan modern tidaklah seperti itu. Peradaban modern adalah peradaban yang pandai menciptakan sampah, dan sampah plastik sampai sampah masyarakat. Plastik menjadi sampah yang tidak bisa diurai, serta merusak tanah dan air; itulah yang ditawarkan peradaban modern. Sampah masyarakat hasil pendidikan modern pun sama persis seperti itu, susah untuk disadarkan agar menyatu dalam silih asah, silih asih, silih asuh. Peradaban modern dengan demikian tidak hanya merusak alam, juga merusak manusia dan kemanusiaan.
Untuk bisa menyelamatkan kehidupan ini, pilihan kita hanya satu, yaitu menjadikan kearifan lokal sebagai cara pandang kita dalam menata kehidupan, tetapi piranti dan teknologinya tetap modern, agamanya tetap Islam. Dengan demikian, kekurangan dari keraifan lokal dapat ditambal oleh Islam dan teknologi modern. (bersambung)
‪#‎inspirasikangdedi‬







Tidak ada komentar:

Posting Komentar