Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ke Enam : Tali Paranti Karuhun
"Memperbaharui Semangat SiIiwangi"
Hari.-hari ini Bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang pandai
mencaci tidak pandal memuji. Saya aneh ketika BBM naik, demonya luar
biasa, tetapi ketika BBM turun tidak ada yang menyatakan mendukung
penurunan BBM —apalagi mela- kukan doa pujian kepada pemerintah. Kenapa
bangsa ini menjadi bangsa yang tidak pandai bersyukur? Kita kehilangan
tradisi nenek moyang siliwangi, yaitu kehidupan bermasyarakat yang silih
asah siIih asih ‘silih asuh, nulung kanu butuh nalang kanu susah.
nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun.
Si!ih asah adalah
pandangan hidup bahwa setiap manusia seperti pisau. Fungsi pisau adalah
untuk memotong, bila daya memotongnya hilang, pisau tak bisa disebut
pisau, ia hanya sebongkah besi. Agar pisau bisa tetap memiliki
fungsinya, ia harus diasah pada batu asahan. Pasti terasa sakit, namun
itulah yang harus ditempuhnya bila ingin tetap mempertahankan
kepisauannya. Setiap masalah adalah batu asahan yang akan mempertajam
fungsi kemandirian kita masing-masing. Karena itulah.. saya tak pernah
menyerah untuk melakukan sejumlah program yang barangkali belum dipahami
arahnya sehingga menghasilkan banyak demo. Nah. pada kehidupan
masyarakat, batu asahan itu tidak hanya berasal dari masalah, tetapi
juga dari orang lain, dan perbedaan pendapat, dan kesalahpahaman, atau
dan proses kritik yang langsung dilakukan secara sengaja. Dengan
demikian.. kritik bukan hal yang tabu dalam budaya Sunda —asalkan
didasarkan pada niat tulus karena semakin diasah akan semakin kuatlah
fungsi dari setiap kehidupan.
Silih asah juga merupakan pesan
leluhur bahwa dalam kehidupan ini, setiap individu harus mau mengasah
potensina masing-masing. Proses mengasah ini tidak bisa dilakukan
sendirian, tetapi dalam ke-saling-an. Semua orang saling memunculkan
potensi dari masing-masing yang Iainnya. Betapa indahnya petuah leluhur
ini bila diterapkan secara sadar. bukan sekadar penghias mulut belaka.
Silih asih adalah proses saling mengasihi, menyebarkan cinta. Semua
orang memiliki cinta dan ingin dicintai, melalui cinta kehidupan
berkembang dan menghasilkan sesuatu yang baru. Kehidupan penuh cinta
adalah kehidupan yang menghasilkan kemakmuran, sebaliknya kehidupan
penuh kebencian adalah kehidupan yang mengarahkan diri pada kematian.
Saya ingin membangun Purwakarta ini dengan cinta, dengan saling
menyebarkan kecintaan. Dalam cinta, ada saling memperbaiki tanpa harus
menggunakan bahasa verbal. Dalam cinta, ada kesaling mengertian tanpa
bahasa, bila yang satu merindu, yang lain di seberang sana sedang
menunggu. Bila yang satu bekerja satu hal, yang lainnya secara otomatis
akan mengerjakan apa yang dibutuhkan bagi keberhasilan pekerjaan yang
lainnya.
Semua pegawai negeri harus silih asih antar sesama karena hanya dengan cara ini terjadi proses saling mengisi dalam
melaksanakan program. Sebagai bupati, saya akan mengasihi warga
masyarakat sehingga saya dapat memahami kebutuhan rakyat tanpa perlu
protes; namun ini bisa terjadi bila rakyat pun mengasihi bupatinya.
Tanpa
ada daya cinta dari rakyat, bupati akan kehabisan tenaga;
sebaliknya tanpa cinta dari bupatinya, rakyat pun akan
sengsara. Dalam kesalingasihan ini, bila bupati membangun jalan, rakyat
akan memeliharanya seperti kekasih memelihara tanda cinta dan
pasangannya.
Dalam kesalingasihan ini, ketika rakyat melakukan protes,
bupati dan pejabat lain akan menerimanya sebagai sebuah
teguran kekasih agar semakin baik dan berbudi.
Silih asuh adalah saling memelihara dan menumbuhkan.
Seperti petani yang menumbuhkan padi, ia membantu tumbuhnya padi sesuai
karakter padi itu sekaligus juga setelah itu ia mendapatkan makanan
(tanda cinta dari padi tersebut). Pada cara pandang ini, semua orang
adalah ibu yang sanggup memberikan perhatian, pendidikan,pemeliharaan,
dan mendorong pertumbuhan semua orang lainnya. Saya menginginkan petuah
nenek moyang ini sebagai dasar pembangunan Purwakarta. Prinsip silih
asuh akan menyelamatkan kita dari nestapa manusia modern yang gampang
stres ketika menghadapi masalah. Melalui silih asuh, saya yakin beratnya
kehidupan dan keinginan kita untuk “Digjaya Purwakarta” akan dapat
dihadapi dengan mudah karena semua pihak akan saling memelihara.
Ketiga silih dalam fliosofi silihwangi merupakan pesan bahwa nenek
moyang Sunda menginginkan kesetaraan semua pihak. Semuanya memiliki hak
dan kewajiban yang sama, yaitu mendapatkan asahan agar potensinya
berkembang, mendapatkan kasih sayang agar rasanya semakin tumbuh, dan
mendapatkan pengasuhan agar siap menghadapi setiap permasalahan dalam
kebersamaan. Inilah, sekali lagi, yang akan menjadi Purwakarta Digjaya.
Nulung kanu butuh nalang kanu susah; Nganteur kanu sieun, nyaangan kanu
poekeun adalah filosofi hidup bersama dalam kesatuan yang saling
bermanfaat. Istilah sains biologi dan kearifan ini adalah autopoesis,
yaitu kemampuan alam semesta untuk saling mengisi. Kearifan alam
mengajarkan bahwa bila satu sama lain saling terkait, saling mengisi,
tak akan ada sampah. Lihat saja alam, tak ada sampah yang terbuang;
sampah dari satu makhluk hidup adalah makanan bagi makhluk hidup yang
lain. Misalnya. oksigen adalah sampah proses fotosintesis dari
tumbuh-tumbuhan ternyata berguna bagi manusia (bayangkan bila hidup ini
tanpa oksigen!); sebaliknya karbondioksida adalah sampah dari kegiatan
pernafasan manusia, ini pun ditunggu tumbuhan sebagai bahan bakar
kehidupannya.
Kearifan lokal mendorong kita untuk hidup dalam
keajaiban saling hubung, silih asah, silih asuh, dan silih asih.
Rupanya, kearifan lokal menginginkan tatanan kehidupan tanpa sampah,
kearifan lokal meyakini bahwa hidup ini mulia karena itu tak ada sisa
yang harus dibuang sia-sia. Dalam kearifan lokal, silih asah, silih
asih, dan silih asuh ini akan terbangun masyarakat yang tidak pernah
merugi karena tidak ada benda terbuang sedikitpun semuanya dimanfaatkan
ulang; juga tidak ada yang tidak berguna, semua orang akan bekerja
karena ia memiliki manfaat yang dimanfaatkan.
Kehidupan modern
tidaklah seperti itu. Peradaban modern adalah peradaban yang pandai
menciptakan sampah, dan sampah plastik sampai sampah masyarakat. Plastik
menjadi sampah yang tidak bisa diurai, serta merusak tanah dan air;
itulah yang ditawarkan peradaban modern. Sampah masyarakat hasil
pendidikan modern pun sama persis seperti itu, susah untuk disadarkan
agar menyatu dalam silih asah, silih asih, silih asuh. Peradaban modern
dengan demikian tidak hanya merusak alam, juga merusak manusia dan
kemanusiaan.
Untuk bisa menyelamatkan kehidupan ini, pilihan kita
hanya satu, yaitu menjadikan kearifan lokal sebagai cara pandang kita
dalam menata kehidupan, tetapi piranti dan teknologinya tetap modern,
agamanya tetap Islam. Dengan demikian, kekurangan dari keraifan lokal
dapat ditambal oleh Islam dan teknologi modern. (bersambung)
#inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar