Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ke Enam : Tali Paranti Karuhun
Pertama kali ketika menjadi wakil bupati, saya merasakan ada yang aneh
pada Pendopo Kean Santang. Pendopo untuk rakyat mengadu kepada
pemerintah, seharusnya tidak terlalu tertutup
dan seram. Kalau
pendoponya tidak nyaman, mana mungkin rakyat merasa memiliki dan
mendukung program pemerintah. Saat itu saya bercita-cita, “Bila saya
jadi bupati kelak. saya akan mengubah pendopo ini menjadi lebih ramah
dan mengundang
kehadiran rakyat!”. Maka saya pun mengubah pendopo ini menjadi lebih terbuka.
Pendopo ini dinamakan Pendopo Kean Santang, nama seorang tokoh Sunda —
yang kemudian menjadi penyebar agama Islam— yang berani menjelajah ke
segala arah untuk menemukan kebenaran. Kean Santang adalah sosok manusia
yang terbuka dan perwira, ia mengakui kekutan orang lain dan siap untuk
berubah sesuai dengan komitmen yang telah diberikannya. Saya pikir
karakter seperti itulah yang seharusnya dipancarkan pendopo ini
kepada semua PNS juga kepada rakyat Purwakarta. Maka, secara perlahan
saya mencoba menghadirkan sosok Kean Santang sebagai teladan kehidupan
yang terus mencari kebenaran dengan cara terbuka dan menepati janji.
Sekarang ini, alhamdulillah raut wajah para pegawai di Pemkab
Purwakarta yang tadinya kurang bergairah, kini mengalami perubahan
menjadi tambah semangat. Pendopo menjadi terbuka dan disenangi warga
masyarakat, saya pun dapat merenungkan kebijakan dengan nyaman, PNS juga
terlihat bersemangat melakukan aktivitasnya.
Kemudian saya
menetapkan gerakan bersepeda pada hari Jumat. Orang lain mungkin
menganggap program ini remeh, hanya bersepeda. Namun, saya ingin memulai
membangun dengan menghadirkan suasana, melalui suasana itu akan tumbuh
rasa kebersamaan, rasa cinta, dan rasa betah. Target saya kadang-kadang
naif, misalnya melalui bersepeda setidaknya akan mampu melahirkan
kebahagiaan dengan bisa tertawa kendati dalam waktu sekejap. Itulah
kearifan lokal, tidak langsung pada apa yang dituju, namun lebih memberi
dukungan agar semua orang dapat mencapai cita-citanya.
Tidak hanya
itu, demi mewujudkan lingkungan yang sehat, saya juga menggulirkan
kebijakan berupa larangan parkir bagi kendaraan bermotor di depan kantor
Setda/Bupati Purwakarta setiap hari Jumat. Sebelumnya saya juga telah
mengeluarkan kebijakan yang tidak memperbolehkan kendaraan pegawai
ataupun tamu masuk ke lingkungan kantor Setda/Bupati Purwakarta yang
terletak di Jalan Gandanegara. Semua kendaraan, baik sepeda motor maupun
mobil milik pegawai atau tamu, terpaksa parkir di jalan raya di depan
kantor tersebut. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya agar
lingkungan di sekitar kantor pemkab terasa nyaman dan bersih.
Lalu
saya mencanangkan slogan “Berseka” yang intinya memelihara kebersihan
dan kelestarian alam. Saya mendorong penanaman pohon di area Situ
Buleud, pelepasan bibit ikan di Situ Buleud, dan pelepasan burung di
halaman.
Semuanya dilakukan atas dasar kearifan lokal yang
menghargali alam, menyantuni alam, dan mengikuti pola kerja alam. Alam
adalah rumah kita, bahkan dapat dikatakan sumber hidup kita. Tanpa alam,
dapat dikatakan, tak akan ada kehidupan manusia. Sudah sekian lama kita
hidup di tengah alam, namun
Iupa mengucapkan terima kasih pada
alam. Melalui “Purwak arta Berseka”, saya ingin semua orang berbakti
kepada alam sehingga alam pun memberikan kesuburan hasil panen kepada
para petani.
Maka burung-burung pun dilepaskan pada salah satu Hari
Ulang Tahun Purwakta. Pelepasan burung itu merupakan siloka bahwa
mereka punya hak hidup berdampingan dengan manusia, sekaligus juga pesan
dan doa. Burung yang dilepask an adalah pembawa pesan kepada segala
satwa dan alam bahwa ada niat baik yang muncul pada masyarakat
Purwakarta untuk kembali menjadi bagian dari alam. Pelepasan burung juga
sebagai doa, seperti pelepasan burung setelah salat minta hujan kepada
Allah agar kehidupan masyarakat Purwakarta mendapatkan cinta dan langit
dan semua makhluk langit.
Selain itu, saya teninspirasi oleh hadis dalam Kitab Usf uriyah yang menceritakan keutamaan karakter Sayyidina
Umar. Ia membeli seekor burung dengan harga mahal dan Seorang anak
kecil untuk dilepaskan. Kemudian konon setelah meninggal, Sayyidina Umar
mendapatkan fasilitas alam barzakh yang luar biasa penuh kenikmatan.
Fasilitas itu berasal dan pembebasan yang dilakukan Sayyidina Umar dan
melepaskan burung yang tertindas. Lalu kisah itu ditutup dengan hadis,
“Siapa yang mengasihi makhluk di bumi, maka semua makhluk langit akan
mengisihinya”. Maka burung-burung yang dilepaskan itu akan menjadi doa
bagi semua rakyat Purwakarta agar terus dikasihi oleh seluruh makhluk
langit. (bersambung)
#inspirasikangdedi
"Kebijakan Purwakarta, Kebijakan Kearifan Lokal"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar