expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 09 Mei 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ketiga : Membayangkan Pendidikan Cinta
Misalnya pada kasus menumpuknya sampah, selalu saja pemerintah yang disalahkan dengan alasan pengelolaan yang tidak efektif; padahal tumpukan sampah itu berasal dari kebiasaan masyarakat yang tidak membuang sampah pada tempatnya. Dengan demikian, tersedianya masyarakat yang siap hidup sangat dibutuhkan dan menjadi prasyarat pembangunan suatu masyarakat.
Di samping siap pakai dan siap hidup, yang paling dibutuhkan pengelola pemerintahan adalah tersedianya sumber daya yang siap belajar. Tanpa ketersediaan SDM yang siap belajar, masyarakat kita hanya akan menjadi masyarakat peniru dan konsumtif. Sebaliknya, jika kita dipenuhi SDM siap belajar, ketertinggalan hanya berlangsung sebentar karena setelah itu kita langsung dapat menghasilkan tandingannya —atau bahkan mengalahkan budaya yang mempengaruhi kita. Saat ini, kita kehilangan SDM yang siap belajar, akhirnya kita terus-menerus menjadi peniru, remaja-remaja kita lebih banyak menjadi agen budaya luar karena tidak memiliki kemampuan siap belajar.
Pada hari ini yang dibutuhkan bukan jumlah mahasiswa yang menempuh S1, S2 dan S3, yang begitu banyak, melainkan yang dibutuhkan adalah generasi kreatif. Generasi inilah yang hampir hilang dalam pranata pendidikan kita. Sayangnya, yang dilahirkan oleh sistem pendidikan kita adalah generasi sertifikasi. Mereka yang mempunyai sertifikat jumlahnya cukup banyak, tetapi yang mempunyai kreativitas semakin sedikit. Orang-orang yang profesional dan mumpuni semakin sedikit. Singkatnya, kita terlalu sibuk dengan sertifikasi.
Karena itu, UAN tidak menjadi satu-satunya ukuran bagi output pendidikan. Menurut saya sudah semestinyalah kita menyerukan sebuah pemahaman bahwa ujian akhir nasional untuk tingkat SLTA dan sederajat itu hanya diberikan bagi
mereka yang akan meneruskan ke jenjang perguruan tinggi, dan disatukan dengan UMPTN. Jadi, nanti kalau masuk perguruan tinggi negeri itu, tidak usah lagi mengambil formulir pendaftaran lagi, bareng saja. Jadi, bagi mereka yang tidak akan meneruskan keperguruan tinggi, ya tidak lulus UAN juga tidak apa apa. Bagi
mereka yang penting ijazah agar dia melaksanakan pendidikan sampai tingkat SLTA selesai.
Ketiga, masalah pemerataan pendidikan. ini masalah krusial yang begitu berat diemban oleh pemerintah. Tugas pemerintah memang tidak sederhana, terutama masalah pendidikan. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa semua warganya mendapatkan persamaan kesempatan mendapatkan pendidikan. Lalu sekolah dibuka dimana-mana, misalnya untuk menanggapi wajib belajar 9 tahun maka pemerintah membangun SMP di setiap kecamatan.
Apakah masyarakat di daerah terpencil mendapatkan pendidikan dengan mutu yang sama dengan pendidikan di kota? Inilah masalahnya. Kewajiban pengelola pemerintahan adalah memastikan bahwa tidak hanya semua warga mendapat kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan (misalnya semuanya menikmati pendidikan dasar 9 tahun), tetapi juga pemerataan mendapatkan pendidikan berkualitas. Untuk mendorong itu, pemerintah daerah memberikan tunjangan guru daerah terpencil (sekarang mendapat tunjangan sebesar 500 ribu rupiah per bulannya). Maksudnya, agar guru-guru berkualitas mau mengajar di daerah terpencil. Namun, faktanya, tetap saja susah mendorong guru yang berkualitas untuk mengabdikan dirinya di daerah terpencil. Saya duga, itu semua karena kekurangan energi cinta.
Satu-satunya cara adalah pemerintah akan membekali semua guru memiliki skill dan pengetahuan yang sama. Ada banyak teori pembelajaran kontemporer yang dapat dilatihkan bagi para guru, misalnya Quantum Learning, CTL (Contextual Teaching and Learning), dan Hypnotic-Learning. Selain pengayaan pengetahuan dan skill, guru-guru pun akan diajarkan filosofi cinta. Melalui ikhtiar ini, saya yakin pendidikan bisa merata dan pendidikan akan menghasilkan output yang baik.
‪#‎inspirasikangdedi‬





Tidak ada komentar:

Posting Komentar