expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 11 Mei 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ketiga : Membayangkan Pendidikan Cinta
Output pendidikan bisa saja tidak langsung bisa dinikmati saat ini, namun di masa depan output pendidikan ini akan menghasilkan buah yang bermanfaat bagi masyarakat Purwakarta. Pendidikan dalam konteks ini seperti investasi, kita tanam modal hari ini untuk keuntungan besar di masa depan.
Masalah pendidikan yang keempat adalah kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Ada satu hal yang disalahpahami banyak pihak, yaitu menganggap bahwa pendidikan adalah persekolahan. Begitu anaknya sudah disekolahkan, banyak orang tua menganggap bahwa ia sudah memberikan pendidikan yang layak dan pantas.
Pendidikan lebih dari persekolahan, pendidikan meliputi pembiasaan berbahasa Sunda, belajar membaca Al-Quran, pembiasaan etika dan akhlak serta banyak aspek lain yang merupakan tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Bahayanya lagi, banyak orang tua yang menganggap bahwa para gurulah yang bertanggung jawab pada seluruh kewajiban mendidik. Gejala ini dapat ditengarai dari ketidakpedulian para orang tua pada apa yang sudah didapatkan anaknya di sekolah, ketidakpedullan orang tua pada pola gaul anak-anak remajanya, dan keengganan masyarakat untuk memperbaiki perilaku anak anak muda. Dulu, ketika saya remaja, masih banyak remaja yang ditegur oleh masyarakat jika melakukan hal-hal yang asusila; sekarang, hal itu hanya kenangan.
Masyarakat yang tidak sadar pendidikan tidak akan menemukan kemajuannya. Jepang (saya ingin kita belajar dan negara ini) adalah negara yang mementingkan pendidikan sebagai basis kebangkitannya. Segera setelah luluh lantak karena kalah perang, kaisar Jepang langsung mengumpulkan para guru dan memerintahkan merëka mengajarkan nilai-nilai budaya Jepang dan ilmu-ilmu yang mendorong kemajuan di masa depan; tidak hanya itu, kaisar pun membuat kebijakan agar seluruh buku-buku ilmu pengetahuan yang penting diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Hasilnya, kita semua tahu, Jepang menjadi bangsa yang unggul dan kini dapat disejajarkan dengan negeri Adidaya seperti Amerika Serikat.
Kita niscaya maju seperti Jepang jika pemerintah mulai membenahi kebijakan pendidikan —saya akan membenahi sistem pendidikan kabupaten ini. Namunyang juga dibutuhkan adalah kepedulian semua masyarakat terhadap pendidikan, semua pihak harus meyakini bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang. Atas dasar pemikiran bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang itulah, maka pemerintah Puiwakarta —walaupun memiliki sumber dana terbatas— akan terus mengupayakan 20% APBD bagi dana pendidikan. Tentu saja ada risiko lain yang harus ditanggung bersama, misanya karena dana APBD secara keseluruhan terbatas dan 20% sudah dialokasikan untuk dana pendidikan, maka ada aspek pembangunan lain yang harus tetap jalan dengan dana seadanya —atau direalisasikan secara bertahap.
Prinsip Dasar Pendidikan Berbasis Cinta
Cinta adalah memberi, melayani, memuliakan yang dicintainya, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Misalnya karena ibu dan anak saling mencintai, mereka saling memberi, melayani, memuliakan, dan menghasilkan anak-anak sebagai buah dari cinta kasih.
Cinta seharusnya dihadirkan dalam keseluruhan proses pendiidikan, baik di rumah, di tengah masyarakat maupun di ruang kelas. Sebabnya adalah persoalan output atau outcome dan sebuah produk itu sangat dipengaruhi oleh proses yang dilaksanakan oleh kita, untuk itu sejak sekarang saya yakin setiap sekolah pasti melakukan upaya-upaya secara komperensif, penekanan, arahan dan orientasi kepada siswa untuk melakukan peningkatan kualitas, khususnya melakukan langkah-langkah yang mendekatkan pada upaya pemahaman siswa terhadap proses pendidikan.
Walaupun demikian, saya tidak yakin seluruh proses pendidikan sudah mendasarkan diri pada cinta. Kehadiran kurikulum yang begitu ketat bisa saja “menjerumuskan” guru menjadi aktor yang hanya memainkan peran tanpa penghayatan,tanpa hati. Agar sang aktor dapat menghidupkan lakon yang harus dimainkannya, ia harus dipenuhi rasa cinta — atau dalam istilah Toyoda adalah ingenuity. Rasa cinta yang memberikan ketertarikan dan keterpanggllan untuk melakukan sesuatu yang terbaik, perbaikan terus-menerus, dan selalu memberikari 
kemanfaatan yang dapat diukur atau dirasakan oleh siswa. 
Kakak saya yang menjadi guru menyatakan bahwa saat ini kurikulum yang berlaku adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP adalah kurikulum yang disusun berdasarkan kekhasan dan filosofi lokal. Saya ingin kekhasan Purwakarta menjadi dasar seluruh pengajaran di kabupaten ini, dan tentu saja filosofi cinta. 
Berbicara mengenai filosofi cinta, kita bisa mulai dan apa yang mendasari keterbukaan pendopo kabupaten. Saya telah membuat ruang pendopo sebagai ruang terbuka (dapat dilihat oleh semua pihak dan dinikmati) hanya dibatasi oleh sejumlah pepohonan. Pendopo sebagai ruang terbuka adalah filosofi dasar dan cinta. Bukankah cinta membuat sepasang suami istri tidak malu lagi untuk saling terbuka, melalui keterbukaan proses kreatif dapat menghasilkan sesuatu yang baru. 
Keterbukaan sejenis inilah yang saya harapkan hadir pula di dalam dunia pendidikan. Keterbukaan pada dunia pendidikan adalah kemampuan akademis yang selalu mendorong semua anak untuk berkembang sesuai fitrahnya, bukan sesuai dengan ukuran guru atau kurikulum. Anak-anak bukanlah agar-agar yang gampang dibentuk dalam satu cetakan tertentu. Anak-anak adalah amanat Tuhan, ia ada sebagai bukti bahwa Tuhan memerhatikan kita. Karena itu anak-anak adalah keajaiban, ia tak bisa ditebak juga tak bisa dibentuk, ia hanya bisa diarahkan agar menemukan fitrahnya. 
Itulah sebabnya, saya meyakini bahwa semua anak dilahirkan dengan pesan dan kelebihan tertentu. Tak ada yang bodoh, yang ada adalah kemalasan dan rasa tidak percaya diri. 
Semua anak diciptakan oleh Tuhan Yang Maha kreatif. Jika ada anggapan bahwa ada anak yang bodoh, sama artinya dengan menghina Tuhan karena menganggap bahwa Tuhan yang Maha kreatif itu salah dalam menciptakan atau keliru dalam menciptakan sesuatu. Saya berlindung dari anggapan seperti itu. 
Saya percaya semua anak memiliki kekuatannya masing masing. Namun secara umum, setiap anak manusia memiliki kelebihan intelektualitas (dalam kadamya masing-masing). Maka pendidikan yang penuh cinta adalah pendidikan yang sanggup memberikan ruang bagi perkembangan intelektualitas. 
Salah satu bentuk kelebihan dan intelektualitas adalah menembus tanpa batas, menembus apa pun dan tidak mempedulikan apa pun. Selama bisa diperdebatkan dan selama bisa dibuktikan secara akademis, dia yakin pada sebuah kebenaran. Sehingga seringkali intelektualitas —seperti menampik nilai nilai spi-ritualitas. Sesuatu yang terbuka itu akan melahirkan yang disebut dengan peradaban. 
Intelektual saja tidak cukup, menjadikan anak manusia menjadi cerdas saja tidak akan menghasilkan apa-apa. 
Ada hal yang kedua yang harus menjadi pertimbangan pendidikan kita, yaltu nilai-nilai rasa. Nilai rasa adalah mencoba untuk memengaruhi nilai-nilai intelektual agar seluruh imajinasi intelektualnya ada nilai-nilai keindahan. Bila intelektualitas menghasilkan keterbukaan —seperti ruang pendopo kabupaten, nilai nasa ini saya gambarkan sebagai pohon yang ada di sekitar sini, memberikan keteduhan, kenyamanan, keindahan, dan sejenisnya. 
Salah satu nilai rasa adalah imajinasi, melalui imajinasi seseorang dapat menembus apa yang semula tidak mungkin. imajinasi sangatlah penting bagi proses kreatif, sementara intelektualitas memikirkan “bagaimana caranya?”, imajinasi memberikan gambaran mengenai “apa jadinya?” apa yang dipikirkan itu di masa depan. Seorang seniman yang sedang menghadapi batu bekerja dengan dua hal secara bersamaan imajinasinya membayangkan "apa jadinya" batu itu kelak dan pikirannya merancang cara untuk mewujudkan gambaran imajinasi. Intelektual dan Imajinasi tidak dapat dipisahkan keduanya harus ditumbuhkan melalui pendidikan. (bersambung)
‪#‎inspirasikangdedi‬





Tidak ada komentar:

Posting Komentar