expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 15 Mei 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Ketiga : Membayangkan Pendidikan Cinta
Sayangnya, sistem pendidikan masih terjebak untuk memberikan penghargaan tertinggi pada yang nilai matematiknya tinggi, sembari “meremehkan” yang mengajinya bagus, menarinya lentur, atau main bolanya bagus. Bayangkan bila seluruh anak didiknya pintar matematika saja, dia tidak pintar olahraga, berarti kita tidak punya pemain sepak bola di masa depan nanti. Demikian juga jika semuanya pintar sepak bola, namun tidak ada yang pintar sebagai ahli ekonomi— buat apa sepak bola kalau tidak ada bandarnya, tidak ada yang bayar pemainnya. Bayangkan di negara ini kalau semua orang pandai berbicara, berarti tidak perlu ada pengacara; bayangkan kalau semua orang jadi dokter, berarti tidak pernah ada pasien. Guru ada karena orang ada yang membutuhkan pendidikan, dokter hidup dan orang yang sakit, pengacara hidup dan orang yang bermasalah. ini berarti hidup manusia itu tergantung dan kekurangan orang lain, manusia itu hidupnya dari kelemahan orang lain. Itulah tugas yang harus dipahami oleh manusia dan kemanusiaan.
Kelemahan dan kekurangan seseorang itu fitrah, suatu kausalitas yang tidak bisa dibantah. Jadi tidak bisa dipaksa untuk sama. Para guru persis seperti seorang tukang kebun, ia hanya merawat agar benih kelapa menjadi kelapa dan tidak memaksanya tumbuh menjadi jeruk. Kelemahan dan kekurangan harus disadari dan menjadi modal bagi tumbuhnya kebersamaan yang saling mengisi. Itulah aturan dunia beradab. Hal yang tidak dibolehkan di dunia ini adalah eksploitasi atas kelemahan orang lain. Eksploitatif bertentangan dengan nilai nilai keparipurnaan diri.
ini berarti bahwa pendidikan tidak mesti lagi terlalu mengagungkan intelektualitas karena yang dilahirkan adalah kebangkrutan negara. Akan tetapi, pendidikan harus menghormati keanekaragaman potensi yang dimiliki oleh anak kita. Tugas guru adalah mendorong potensi-potensi itu menjadi produktivitas. Inilah yang sebenarnya yang disebut dengan keanekaragaman, kebinekaan.
Tugas lain guru adalah sebisa mungkin tidak boleh menghadirkan kultur rivalitas. Selama ini pendidikan dibuat rivalitas,
matematika diadu dengan matematika, fisika diadu dengan fisika, anak pandai diadu dengan anak pandai akhirnya yang ada kesombongan pertandingan. Pendidikan seharusnya meahirkan musabaqah, yaitu perlombaan yang tidak saling mengalahkan atau perlombaan yang membuat semua pesertanya saling belajar kekurangan dirinya seraya saling memuji keIebihan lawannya.
Selain menciptakan sistem pendidikan yang cinta-diri dalam untuk pengembangan kekuatan diri pendidikan juga harus
mengarahkan siswanya mencintai alam sekitarnya. Saya menginginkan bukan hanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan), melainkan pendidikan yang berbasis pada 4 hal: (1) berbasis udara; (2) berbasis matahari; (3) berbasis tanah; (4) berbasis air.
Ke empat basis alam ini mendorong pendidikan memberikan pengalman langsung kepada siswa ketika mereka mempelajari sesuatu. Misalnya ketika mereka sedang mempelajari masalah pertanian, mereka harus langsung merasakan bagaimana cara cara bercocok-tanam. Pola seperti ini perlu dukungan semua pihak. Bisa dicontohkan, apabila ada sebuah sekolah letaknya di sisi persawahan, tidak ada salahnya pemerintah membeli sawah tersebut Selanjutnya diserahkan kepada sekolah untuk menjadi tempat praktik bagi para siswanya sekolah tersebut rempunyai ekstrakulikuler di bidang pertanian. Kemudian pada
areal persawahan tersebut bisa dipelihara kerbau, kambing, bebek atau sejenisnya sehingga pada akhirnya akan mewujudkan apa yang dinamakan dengan ‘produktivitas pendidikan’.
Srategi Pendidikan Berbasis Cinta
Pendidikan bukan hanya melahirkan ijazah di tingkat dasar, menengah maupun tinggi, melainkan harus melahirkan keparipurnaan siswa dan siswi kita. Karena itu, ada 4 hal yang harus menjadi fokus prioritas perbaikan sistem pendidikan di Kabupaten Purwakarta. (bersambung)
‪#‎inspirasikangdedi‬




Tidak ada komentar:

Posting Komentar