Saya lahir di desa dan menyelesaikan seluruh pendidikan aya di desa
juga, di Purwakarta ini. Saya kagum pada Kanjeng Nabi Muhammad meskipun
ia dilahirkan yatim dan kemudian pada masa kanak-kanak ia yatim piatu,
ia tetap bersemangat dan terus-menerus membuktikan kehadirannya di
tengah masyarakat. Nabi Muhammad adalah sosok yang tak pernah putus asa
dalam merajut masa depan. Saya yakin, itu semua didapatkan karena Nabi
Muhammad pernah tinggal di desa dengan bunda pengasuhnya Halimatus Sya’d
iyyah. Untuk itu, saya yakin juga bahwa dari desalah perubahan akan
muncul. Kemajuan akan dapat terasa di Purwakarta ini bila desa sudah
menyadari perannya sebagai “mata air kehidupan”.
Desa menjadi
sumber kehidupan dan sumber semangat. Di desa kita menemukan kemurnian,
di desa pula kita mendapatkan sumber kehidupan. Untuk itulah, saya
merasa perlu membuat program Ngariung Jeung Urang Lembur. Program in
sangat menyenangkan karena saya dituntut untuk bersilaturahmi dan satu
desa ke desa yang lain, menyapa rakyat Purwakarta dengan segala tingkah
polahnya. Ada-ada saja tingkah polah warga masyarakat ketika kedatangan
bupatinya, ada yang merasa segan karena sebelumnya tidak mendukung, ada
juga yang acuh tak acuh atau bahkan protes. Tidak apa-apa, itulah air
mata kehidupan bagi seorang bupati. Apa pun tingkah polah warga
masyarakat, semuanya adalah sumber kearifan yang harus saya reguk,
kemudian dijadikan dasar penetapan kebijakan pembangunan.
Kata
ngariung dalam program ini bukan berarti ruang riung teu puguh,
melainkan berarti berkumpul bersama untuk memecahkan satu masalah atau
dalam bahasa Sunda aya anu digunemcaturkeun. Lembur adalah desa, hunian
masyarakat kecil yang mempunyai ciri-ciri kehidupan mulia, seperti guyub
sabilulungan (gotong royong) atau kompak, deudeuh (sayang), welas asih
(kasih sayang). Selain itu, orang pilemburan perilakunya suka menolong
kepada yang memerlukan, membantu kepada yang susah, suka mengantar
kepada yang takut, suka memberi penerangan bagi yang kegelapan. Menurut
istilah bahasa Sunda, perilaku orang desa adalah sareundeuk saigel
saketek sapihanean, seperti orang salat berjamaah yang bila imam
berdiri, yang lainnya pun berdiri; bila imam bermasalah, tanpa banyak
bicara akan ditutupi oleh orang yang ada di belakangnya. Lembur adalah
sumber kearifan, maka ngariung jeung urang Iembur berarti kembali
menyadarkan semua pemimpin untuk ingat pada hulu, pada asal muasal kehid
upan bermasyarakat. Sebagai bupati, saya sangat membutuhkan karakter
orang lembur seperti guyub sabilulungan. Urang
lembur begitu kompak membantu menyelesaikan masalah. Bila ada
rumah miring atau jalan rusak, semua warga
akan kompak untuk cepat-cepat membetulkannya tanpa mencarikan “kambing
hitam”nya. Sementara orang kota berbeda. Mereka begitu cerdas berpikir
sehingga setiap kerusakan akan menjadi bahan pola pikir kritisnya untuk
mencari siapa yang salah (lalu biasanya semua kesalahan itu ditujukan
kepada pemerintah, khususnya pada bupati).
Saya adalah produk desa
yang memiliki karakter bekerja dan bekerja. Tanpa bekerja menciptakan
sesuatu, orang desa tak akan mendapatkan apa-apa. Di desa tak ada
supermarket karena itu semua makanan kecil (seperti kue) adalah buatan
sendiri dan bahan-bahan yang ada. Mainan pun, sewaktu saya kecil,
merupakan hasil karya sendiri dengar bahan-bahan yang ada dan sederhana.
Inilah kreativitas orang lembur yang saya inginkan. Purwakarta ini
harus dipenuhi oleh orang-orang yang kreatif, lebih banyak bekerja
daripada berpamrih, dan mendayagunakan apa yang ada bagi terpenuhinya
cita-cita.
Spirit urang lembur ini sayangnya semakin hari semakin
memudar. Dulu, saya terbiasa mengganti kancing baju sendiri ketika
kancing baju saya terlepas, itulah kemandirian dan ecerdasan anak
lembur. Kini, anak-anak kita terbiasa dengan baju bagus, tidak terbiasa
mengganti kancingnya sendiri. Kalau :kancing bajunya copot, cenderung
mereka meminta ganti baju, bukannya mengganti kancingnya. Anak-anak kita
hari ini tidak terbiasa mengkonsumsi nasi hangat buatan ibunya, mereka
cenderung merasa nikmat dengan makanan warung di sekolahnya.
Nah,
jika sejak kecil anak-anak kita sudah dididik manja. bila sudah besar
nanti, tidak ada jiwa patriotik, “kalau musuh datang, pastilah semuanya
lepas tangan”. Mungkin semua itu karena serangan arus globalisasi
melalui televisi dan internet. Tak bisa dipungkiri bahwa semua keluarga
adalah keluarga televisi. Nabinya televisi, gurunya pun televisi, bahkan
pujaannya pun adalah televisi. Walaupun demikian, bukan pada tempatnya
kita mencerca televisi dan globalisasi, urang lembur memiliki kearaifan
bisa ngigeulan zaman. Itulah alasan mendasar dan program
ini.(bersambung)
#inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar