expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 08 Agustus 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA Pelajaran Katujuh : NGARIUNG JEUNG URANG LEMBUR

Saya lahir di desa dan menyelesaikan seluruh pendidikan aya di desa juga, di Purwakarta ini. Saya kagum pada Kanjeng Nabi Muhammad meskipun ia dilahirkan yatim dan kemudian pada masa kanak-kanak ia yatim piatu, ia tetap bersemangat dan terus-menerus membuktikan kehadirannya di tengah masyarakat. Nabi Muhammad adalah sosok yang tak pernah putus asa dalam merajut masa depan. Saya yakin, itu semua didapatkan karena Nabi Muhammad pernah tinggal di desa dengan bunda pengasuhnya Halimatus Sya’d iyyah. Untuk itu, saya yakin juga bahwa dari desalah perubahan akan muncul. Kemajuan akan dapat terasa di Purwakarta ini bila desa sudah menyadari perannya sebagai “mata air kehidupan”.
Desa menjadi sumber kehidupan dan sumber semangat. Di desa kita menemukan kemurnian, di desa pula kita mendapatkan sumber kehidupan. Untuk itulah, saya merasa perlu membuat program Ngariung Jeung Urang Lembur. Program in sangat menyenangkan karena saya dituntut untuk bersilaturahmi dan satu desa ke desa yang lain, menyapa rakyat Purwakarta dengan segala tingkah polahnya. Ada-ada saja tingkah polah warga masyarakat ketika kedatangan bupatinya, ada yang merasa segan karena sebelumnya tidak mendukung, ada juga yang acuh tak acuh atau bahkan protes. Tidak apa-apa, itulah air mata kehidupan bagi seorang bupati. Apa pun tingkah polah warga masyarakat, semuanya adalah sumber kearifan yang harus saya reguk, kemudian dijadikan dasar penetapan kebijakan pembangunan.
Kata ngariung dalam program ini bukan berarti ruang riung teu puguh, melainkan berarti berkumpul bersama untuk memecahkan satu masalah atau dalam bahasa Sunda aya anu digunemcaturkeun. Lembur adalah desa, hunian masyarakat kecil yang mempunyai ciri-ciri kehidupan mulia, seperti guyub sabilulungan (gotong royong) atau kompak, deudeuh (sayang), welas asih (kasih sayang). Selain itu, orang pilemburan perilakunya suka menolong kepada yang memerlukan, membantu kepada yang susah, suka mengantar kepada yang takut, suka memberi penerangan bagi yang kegelapan. Menurut istilah bahasa Sunda, perilaku orang desa adalah sareundeuk saigel saketek sapihanean, seperti orang salat berjamaah yang bila imam berdiri, yang lainnya pun berdiri; bila imam bermasalah, tanpa banyak bicara akan ditutupi oleh orang yang ada di belakangnya. Lembur adalah sumber kearifan, maka ngariung jeung urang Iembur berarti kembali menyadarkan semua pemimpin untuk ingat pada hulu, pada asal muasal kehid upan bermasyarakat. Sebagai bupati, saya sangat membutuhkan karakter orang lembur seperti guyub sabilulungan. Urang
lembur begitu kompak membantu menyelesaikan masalah. Bila ada
rumah miring atau jalan rusak, semua warga
akan kompak untuk cepat-cepat membetulkannya tanpa mencarikan “kambing hitam”nya. Sementara orang kota berbeda. Mereka begitu cerdas berpikir sehingga setiap kerusakan akan menjadi bahan pola pikir kritisnya untuk mencari siapa yang salah (lalu biasanya semua kesalahan itu ditujukan kepada pemerintah, khususnya pada bupati).
Saya adalah produk desa yang memiliki karakter bekerja dan bekerja. Tanpa bekerja menciptakan sesuatu, orang desa tak akan mendapatkan apa-apa. Di desa tak ada supermarket karena itu semua makanan kecil (seperti kue) adalah buatan sendiri dan bahan-bahan yang ada. Mainan pun, sewaktu saya kecil, merupakan hasil karya sendiri dengar bahan-bahan yang ada dan sederhana. Inilah kreativitas orang lembur yang saya inginkan. Purwakarta ini harus dipenuhi oleh orang-orang yang kreatif, lebih banyak bekerja daripada berpamrih, dan mendayagunakan apa yang ada bagi terpenuhinya cita-cita.
Spirit urang lembur ini sayangnya semakin hari semakin memudar. Dulu, saya terbiasa mengganti kancing baju sendiri ketika kancing baju saya terlepas, itulah kemandirian dan ecerdasan anak lembur. Kini, anak-anak kita terbiasa dengan baju bagus, tidak terbiasa mengganti kancingnya sendiri. Kalau :kancing bajunya copot, cenderung mereka meminta ganti baju, bukannya mengganti kancingnya. Anak-anak kita hari ini tidak terbiasa mengkonsumsi nasi hangat buatan ibunya, mereka cenderung merasa nikmat dengan makanan warung di sekolahnya.
Nah, jika sejak kecil anak-anak kita sudah dididik manja. bila sudah besar nanti, tidak ada jiwa patriotik, “kalau musuh datang, pastilah semuanya lepas tangan”. Mungkin semua itu karena serangan arus globalisasi melalui televisi dan internet. Tak bisa dipungkiri bahwa semua keluarga adalah keluarga televisi. Nabinya televisi, gurunya pun televisi, bahkan pujaannya pun adalah televisi. Walaupun demikian, bukan pada tempatnya kita mencerca televisi dan globalisasi, urang lembur memiliki kearaifan bisa ngigeulan zaman. Itulah alasan mendasar dan program ini.(bersambung)
‪#‎inspirasikangdedi‬









Tidak ada komentar:

Posting Komentar