Loyalitas dari seorang sahabat untuk membuat,menampung opini, menyebarkan berita, video, slogan maupun propaganda semata mata untuk : MENGANTARKAN H.DEDI MULYADI,SH.(DANGIANG KI SUNDA) BERKANTOR DI GEDUNG SATE
Senin, 22 Agustus 2016
BUKU KANG DEDI MULYADI : ***MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA*** PELAJARAN KE DELAPAN : "SEHAT DENGAN CINTA"
Saya kerap berpikir: bagaimana caranya agar hidup semua orang dapat schat tanpa harus memerlukan biaya tinggi?
Kesehatan bagaimana pun menjadi salah satu dari program pemerintah yang menyedot banyak perhatian dan dana. Selama ini, seluruh urusan kesehatan diselesaikan dengan pembangunan pusat pengobatan (puskesmas atau rumah sakit) atau dengan penambahan SDM kesehatan yang berkualitas. Semuanya itu terkait dengan dana. Apakah itu cukup? Apakah kesehatan hanya terkait dengan siapa yang mengobati dan tempat pengobatannya saja? Ataukah ada unsur lain yang luput dan perhatian pemerintah dalam hal penyelenggaraan kesehatan bagi seluruh warga negara ini?
Sebagai pembanding saya akan kisahkan apa yang saya lakukan:
Saya ini orang kampung, terbiasa makan lalab-lalaban. Di tengah aktivitas yang padat sebagai kepala daerah, saya memerlukan banyak energi. Ada pelbagai saran tentang multi-
vitamin dan suplemen dan sejenisnya. Namun saya adalah anak ibu, yang kerap mengajari saya untuk kembali pada alam. Semuanya sudah ada pada alam, Tuhan sudah memberikan banyak mukjizat kehidupan bagi kita. Maka setiap pagi, saya mengonsumsi makanan kebun, sebagian dilalab (dimakan mentahnya) sebagian lagi dalam bentuk air dan sejenisnya. Ternyata, semuanya memberikan kesehatan dan energi yang cukup besar dalam menjalani aktivitas yang benar-benar berat.
Bila demikian adanya, kesehatan sebenarnya tidak melulu terkait dengan obat, tenaga kesehatan, dan pusat rehabilitasi kesehatan. Kesehatan terkait dengan pola hidup pasiennya. Jadi, sehat atau tidaknya tergantung kita.
Hal lain yang saya alami ketika mengalami kemandekan pikiran atau keruwetan masalah adalah bersepeda di sore hari. Setelah seharian kerja yang penat, didera urusan pemerintahan yang tidak pernah ada habis-habisnya, pikiran biasanya mumet. Mungkin juga saya stres dalam arti ada beberapa urat syaraf saya yang tegang karena digunakan terus-menerus sepanjang hari. Pada saat itu saya merasa harus refreshing (kembali segar) dan yang saya lakukan adalah bersepeda keliling alun-alun, bertemu dengan para pejalan sore, mengobrol dengan mereka. Ajaibnya setelah itu saya merasa kembali fresh.
Bila demikian, yang dibutuhkan adalah sikap hidup. Sehat tidak harus berbiaya mahal, sehat hanya membutuhkan satu energi yang dimiliki semua manusia, yaitu cinta.
Belajar dan Keajaiban Tubuh
Nick Williams, pengarang Inconditional Success menyatakan sasaran utama kita bukanlah “lebih kaya” tetapi “lebih terhubung.” Sebagian besar permasalahan kita dalam hidup berakar pada satu masalah mendasar —rasa keterpisahan dan kurangnya hubungan. Barangkali kesepian dan keterkucilan merupakan penyakit terbesar di bumi ini. Semesta adalah satu lagu, satu ciptaan yang di dalamnya segala sesuatu terhubung dan menjadi bagian dan keseluruhan, namun dalam ketergesaan dan kekacauan kehidupan sehari-hari, kita mudah lupa akan prinsip dasar ini.
Hidup ini pada dasarnya saling terhubung, pikiran kita saja
—demi kemudahan analisis—yang memisah-misahkannya. Kita manusia hanya bagian dari sebuah mata rantai. Hanya dengan toleran dan berpelukan, kemudian manusia tersambung rapi dengan semesta. Tidak ada hal yang tersisa di sana kecuali persahabatan. Manusia mengeluarkan karbondioksida, berikutnya dihirup oleh tetumbuhan
yang mengolahnya menjadi oksigen, dan pada tahap berikutnya dikonsumsi manusia, begitu
seterusnya tanpa henti. Inilah inti dan kesehatan.
Untuk sampai pada situasi rohani yang menyehatkan ini, kepintaran tentu saja penting.
Namun bila tidak diikuti oleh kemampuan untuk toleran, ia seperti pisau tajam di tangan
seseorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa. Dirinya luka, orang lain juga luka. Bila diteruskan, dunia pun akan terluka.
Each misery is the result of intolerance —setiap kesedihan hanyalah akibat dan ketidak mampuan bertoleran.
Segalanya saling terhubung
Segalanya saling menjaga satu sama lain
Segalanya selaras den gan kesatuannya.
Tubuh kita adalah contoh nyata bagaimana ketiga hal ini bekerja. Semua sel saling terhubung, bila satu bagian dan tubuh sakit, yang lainnya akan merasakan demam yang menyiksa. Bila sebuah sel tidak terhubung, yang dengan egois hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan menolak menyeleraskan diri dengan kesatuannya, akan berkembang menjadi kanker. Sebuah sel kecil, di antara miliaran sel lainnya, cukup untuk menghancurkan keseluruhan sistem kehidupan. Kecerdasan tubuh hancur, dan itu jauh lebih berbahaya ketimbang kerusakan secara
fisik. Untungnya, sel-sel pembelot semacam itu sangat jarang, kurang dan satu banding sejuta, dan sebagian besar sel sel itu tidak bertahan hidup. Kecerdasan tubuh sangat paham bagaimana mengatur hidup untuk pertahanan yang maksimal.
Hidup antar manusia pun demikian. Al-Quran menyatakan, membunuh satu manusia sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Nabi menyatakan bersaudaralah seperti satu tubuh. Walaupun ada miliaran manusia menjalani hidup yang benar benar berbeda, semuanya menyatu. Jiwa dan roh kita berasal dan tiupan nafas Tuhan yang sama. Hukum yang mengerangkai hidup adalah hukum yang sama dan Tuhan yang Satu, Allah.
Cahaya yang membantu pertumbuhan tanaman di bumi adalah cahaya yang sama dengan cahaya bintang, yang berjarak sangat jauh. Tanaman, yang tumbuh dengan bantuan cahaya tadi menjadi makanan kita; makanan itu membuat kita dapat bertahan hidup dalam rahim ibu; dan, sekarang kita sedang memandang bintang-bintang itu dengan mata yang secara tidak langsung dibangun oleh cahaya. Jadi, ada hubungan kosmik antara kita dan alam semesta.
Jadi, berbahagialah dalam keterhubungan dengan kosmik. Bayangkan diri kita menjalani hidup yang benar-benar baru dan penuh energi. Hal yang terasa sempurna. Dalam diri kita, ada percikan api berkobar-kobar, dan tiba-tiba kita tahu, tanpa ragu
bahwa kita benar-benar hidup di sebuah dunia yang merupakan rumah kita. Pada saat-saat seperti itu, kita benar-benar selaras dengan alam semesta. Rasakanlah kita terhubung dengan segalanya.
Anehnya, keterhubungan ini sangat sulit untuk ditemukan. Berusaha menemukannya, persis seperti seekor ikan yang mencari air ke mana pun, tanpa berhasil menemukannya. Ketika ia kebetulan meloncat keluar, ke udara, barulah ia merasakan bahwa air adalah hal yang baru saja ia tinggalkan. Aha! Terny’ata air adalah itu. Tanpa sadar, aku telah berenang di dalamnya sepanjang hidupku.
Inilah yang selalu saya inginkan ketika merumuskan Sejumlah program. Bukan kesuksesan yang saya utamakan, melainkan kesaling terhubungan itu yang menjadi tujuan utama.
Wabah Penyakit Kota
Wabah sesungguhnya dalam budaya kita bukan hanya penyakit jantung fisikal kita, melainkan juga apa yang saya sebut penyakit jantung emosional dan spiritual —yakni perasaan kesepian, tersisih, terasing, dan depresi men dalam, yang begitu jamak dalam budaya kita dengan runtuhnya struktur sosial yang dulu memberi kita perasaan terhubung dan berkomunitas. Itulah menurut saya akar dan penyakit, sinisme, dan kekerasan dalam masyarakat kita (Dean Ornis, Love & Survival).
Banyak dokter mengidentifikasi bahwa kesepian merupakan penyebab utama kematian, kesepian adalah pembunuh kehidupan. Kesepian yang dimaksudkan adalah: (1) ketersisihan dan orang lain; (2) keterasingan dan diri kita yang apa adanya; dan (3) kehampaan spritual serta perasaan jauh dari Tuhan.
Kesepian adalah penyakit manusia modern yang memiliki individualisme berlebihan. Individualisme berlebihan dan kurangnya ikatan intim dengan sesama adalah ciri masyarakat
kota yang ingin sukses dengan segera. Mulanya menghasilkan sesuatu, namun lama kelamaan menjadi masalah besar: kesuksesan itu menjadi racun yang mematikan dirinya sendiri. Apa sebabnya? Individualis yang berlebihan biasanya memlliki keinginan untuk membuat kesan, bukan untuk menciptakan hubungan silaturahim; mereka ingin menang, bukan bersama sama menuju tujuan. Akhirnya, sikap hidup seperti ini membuat mereka merasa kesepian dan menderita kebutaan sosial yang mencengangkan, ketahanan emosional yang buruk, kehampaan akar spiritual, dan ketiadaan rasa memiliki. Mereka terasing oleh kesuksesannya dan merasa ketakutan.
Kalau begitu, dibutuhkan strategi kesehatan masyarakat yang tidak sekadar obat, bidan atau dokter, serta rumah sakit atau puskesmas. Kita membutuhkan kultur lembur yang menjadi gaya hidup semua orang, kultur yang mau bersama-sama dalam heuheuy jeung deudeuh, dalam seluruh penghadapan masalah kehidupan.
Bagi saya, inilah yang menjadi tugas dan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat). Maksud saya sudah saatnya kita
melebarkan makna pusat kesehatan tidak sekadar kesehatan jasmani yang selesai dengan obat-obatan kimiawi, tetapi juga mencakup kesehatan emosi dan jiwa. Untuk itu, para bidan dan para dokter yang ditugaskan di desa, sudah seharusnya melengkapi keterampilannya dengan pengetahuan kearifan hidup yang menyehatkan. Pemikiran ini didasarkan pada kebutuhan pemerintah kabupaten bahwa yang dibutuhkan bukanlah sekadar badan segar bugar, melainkan badan yang sanggup menghasilkan karya (ini tentu saja berhubungan dengan jiwa).
Pesan untuk Petugas Kesehatan
Ada faktor yang rupanya dilupakan oleh bangsa ini. Faktor yang dilupakan ini disebabkan oleh keterbelengguan kita pada nilai-. nilai profesionalitas, terlalu terbelenggu pada nilai -nilai teknis, terlalu terbelenggu pada nilai-nilai akademis. Akibatnya, kita melupakan nilai sosial yang selama ini menjadi kekuatan kebudayaan bangsa, yang selama ini menjaga keutuhan daerah yang selama ini menjaga kesehatan masyarakat, yang selama ini menjaga status sosial dan kredibilitas ekonomi masyarakat pedesaan. Hal inilah yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, dan yang sangat memengaruhi efek pelayanan.
Beberapa waktu yang lalu, saya melantik beberapa bidan yang ditugaskan di desa. Mereka masih muda dan memiliki banyak pengetahuan medis yang tentu saja akan berguna bagi pembinaan kesehatan masyarakat. Saya senang melihat mereka begitu bersemangat dan penuh dengan dedikasi. Namun diam diam, saat itu, saya merasa sedih dan khawatir.
Saya sedih karena saat itu pula saya terkenang dengan para paraji yang mulai hari itu mungkin akan digantikan perannya oleh para bidan. Para paraji bukanlah sekadar petugas kesehatan yang membantu membugarkan kesehatan lewat pijatannya, atau membantu melahirkan. Para paraji adalah tokoh sosial yang memberikan motivasi bagi para ibu dan anak, bagi para bapak yang pulang dan sawah. Para paraji juga memiliki jiwa-sosial yang tinggi, mereka mau melakukan apa pun demi kesehatan pasien ya walaupun tidak dibayar. Sebagai bayarannya, masyarakat meletakkan paraji sebagai tokoh sosial yang dimintai solusi atas masalah, diberikan zakat fitrah, bila ada panen mereka pun men— dapatkan hadiah.
Saat itu saya bertanya, “Dapatkah para bidan ini akan menggantikan peran paraji ?“
Pada kesempatan lain, saya juga meryampaikan pesan pada beberapa dokter di dinas kesehatan, “Boleh saja paraji dipinggirkan oleh para bidan, tetapi nanti Anda harus bertanggung jawab manakala banyak orang-orang miskin yang tidak terselamatkan hanya karena persoalan biaya.” Walaupun negara menyiapkan biaya kelahiran untuk orang miskin, tetap saja pengobatan modern memerlukan dana yang tak sedikit.
Untuk itu, saya ingin semua petugas kesehatan di desa melebur menjadi warga desa. Para bidan bukanlah pesaing paraji, melainkan rekan kerja para paraji. Para bidan harus juga belajar kearifan dan teknik tradisional dan para paraji. Bagi saya, para paraji sebenarnya memiliki teknik-teknik penyehatan yang teruji walaupun belum teruji secara ilmiah. Hal utama yang harus ditransformasi dan para paraji adalah kearifannya dalam memberikan pelayanan kepada siapapun yang membutuhkan.
Para paraji merupakan kaum profesional yang terus-menerus memberikan pelayanan, ini yang harus ditiru. Kesetiaan profesi paraji adalah kesetiaan terhadap orang yang dilayani; para petugas kesehatan modern pun harus demikian. Bila profesionalitas
(tanpa orientasi uang) para paraji tidak ditransformasi menjadi sikap bidan dan dokter, puskesmas akan sepi. Lalu, apa artinya seorang bidan manakala tidak ada orang yang mau melahirkan dengan bantuan dirinya; apa artinya seorang dokter manakala tidak ada orang yang mau berobat ke dokter. Lebih dari itu, bila profesionalitas model paraji tidak diteladani, kehadiran petugas kesehatan modern akan menambah jumlah orang sakit di tengah masyarakat. Akhirnya, kehadiran puskesmas bukannya menumbuhkan masyarakat yang sehat, sebaliknya menjadi peletup munculnya masyarakat yang sakit.
Cinta sebagai Sumber Kesehatan
Untuk dapat menghayati spirit paraji, bagi saya, para bidan harus mulai menjadikan cinta sebagai basis pekerjaannya. Bagi saya cinta adalah sesuatu yang sentral dalam kehidupan ini. Bagi saya cinta bukanlah sekadar emosi, cinta adalah nilai, cinta adalah tujuan, cinta adalah kekuatan sejati kita. Cintalah yang memberi inspirasi pada kita, dan yang mengembangkan kita, “Kita semua lahir karena cinta.”
Cinta adalah tujuan kehidupan ini. Tujuan-tujuan lain seperti kesuksesan, uang, kebahagiaan, kekuasaan, dan kemasyhuran kehilangan seluruh nilai dan maknanya tanpa cinta. Bahkan dapat dikatakan bahwa bila kesuksesan yang saya dapatkan tidak memberi tempat untuk cinta, saya tidak akan merasa sukses.”
Maka, jadikan cinta sebagai basis pelayanan kesehatan. Seorang filsuf, Humberto Maturana, menyatakan “Cinta melebarkan visi, cinta menumbuhkan kreativitas, dan cinta meluaskan kecerdasan”. Cinta membuat seseorang memiliki bayangan masa depannya sendiri, sekaligus membuat seseorang menjadi kreatif dan penuh kecerdasan. Cinta itu cerdas karena cinta mengilhami visi, memperkuat nilai-nilai, membangkitkan imajinasi, meluaskan kemungkinan, dan kreatif.
Seorang filsuf menyatakan, “Tidak ada kesulitan yang bisa disembuhkan oleh cinta; tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan cinta. Tak ada pintu yang bisa dibuka oleh cinta, dan tak ada jarak yang tak dapat terjembatani dengan cinta, tak ada dinding yang tak dapat diruntuhkan dengan cinta...” Dengan energi cinta, para bidan akan menjadi penuh semangat tanpa kenal menyerah.
Apa yang harus dicintainya? Yang dicintainya adalah kehidupan, orang-orang yang dilayani, dan pekerjaan itu sendiri.
Ketika cinta mengilhami kerja, kerja menjadi transformatif, kreatif dan sangat memuaskan. Kita juga tahu, dan banyak pengalaman yang menyakitkan bahwa kerja tanpa cinta sering kali
hanyalah bersibuk-sibukkan saja,
dipenuhi kejengkelan, pengorbanan, dan penuh sump ah serapah. Marianne Williamson, pengarang buku A Return to Love, menulis dengan penuh semangat ihwal
cinta dan kerja:
Anda berbisnis untuk
menebarkan cinta. Film
yang Anda buat haruslah
menebarkan cinta. Salon rambut harus menebarkan cinta. Kelagengan Anda harus menebarkan cinta. Kehidupan Anda harus menebarkan cinta. Kunci men uju karier yang sukses adalah men yadari bahwa cinta tidak terpisah dan seluruh kehidupan Anda, namun justru merupakan perluasan dari diri Anda yang paling mendasar. Dari diri Anda yang paling mendasar adalah cinta.
Demikian pun dengan para dokter. Dengan tangan cinta, kerja menyebuhkan penyakit, memberikan obat, mengoperasi, memberikan vonis mati, menjadi tidak lagi menyeramkan. Rumah sakit dan puskesmas mungkin akan menjelma menjadi tempat yang menyenangkan karena para dokter dan perawatnya memperlakukan seluruh pasien sebagai objek yang dicintai. Semua keluhan pasien tidak dibalas dengan hembusan nafas tidak suka, tetapi dengan senyuman dan sentuhan tangan lembut. Pasien yang sakit dan biasanya rewel justru diberi humor-humor tertentu yang membuat pasien itu melupakan rasa sakitnya.
Cinta dapat menyajikan pengobatan sebagai penyehatan. Namun, tanpa cinta, pengobatan akan menjelma menjadi penularan penyakit baru atau bahkan pembunuhan. Maka, belajarlah menjadikan cinta sebagai niat, cara, dan tujuan melaksanakan tugas.
Refleksi: Energi Cinta
Nelson Mandela menulis, “Bagaimana bisa satu orang dapat memecahkan persoalan dunia? Berbagai persoalan hanya bisa dipecahkan jika seseorang adalah anggota dan sebuah tim”.
Pemikiran sehat dengan cinta mungkin saja dapat menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat yang semakin menurun. Namun, sehat dengan cinta ini tak mungkin bisa terwujud jika dilakukan sendirian. Seperti kata Mandela, dibutuhkan satu tim, satu kesatuan antara semua orang untuk mewujudkan satu pemikiran perubahan sosial.
Cinta dalam kebersamaan berbakti kepada Tuhan adalah prasyarat mutlak bagi prinsip dasar melayani kesehatan dengan cinta.
#Inspirasikangdedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar