Suatu hari sáya merasa perlu untuk mengucapkan terima asih pada para
guru atas berubahnya perilaku anak saya. Anak saya sekarang rajin bangun
jam 5 untuk salat
subuh. “Kenapa harus bangun jam 5 subuh?”, saya
bertanya. Anak saya menjawab, “Karena ada buku yang harus diparaf oleh
Bapak bahwa saya salat subuh.” ini balk untuk sebuah pend idikan, wajar.
Kenapa? Yang dihadapi itu anak kecil. Hukum tindakan anak kecil adalah
perintah, hadiah dan hukuman. Karena itu, anak kecil disebut sebagai
budak, jadi untuk salat subuh ia harus diperiksa, ditakut-takuti dulu
oleh gurunya, atau diberi hadiah tertentu. Namanya juga budak.
Nah,
pertanyaannya adalah apakah mental budak anak ini ada di anak SD saja?
Ternyata tidak. Pada diri pegawai negeni pun mental budak itu ada. Bila
ada honor, baru bekerja. Tidak ada honor, tidak mau bekerja dengan baik.
ini budak juga namanya. Jadi, sifat bubudakeun mah lain di budak SD,
lolobana mah di kolot. Negara seperti ini tidak akan teratur karena
semuanya budak. Selama mental budak ada dalam diri kita, jangan harap
bangsa ini bisa mencapai kemandirian.
Pekerjaan adalah Ladang Ibadah
Apakah pekerjaan Anda membuat Anda sakit? Apakah pekerj aan itu
menghalangi Anda menjadi sosok yang lebih awas? Apakah Anda merasa malu
dengan apa yang mesti Anda lakukan dalam kerja? Pertanyaan ini
dikemukakan Mihaly Csikszentmihalyi pada buku Good Business
Mihaly
kemudian menulis, “Pekerjaan kita sangat menentukan seperti apa hidup
kita. Pekerjaan bisa menjadi salah satu aspek kehidupan kita yang paling
menyenangkan dan memuaskan. Hal itu bergantung pada tindakan kolektif
kita... Cara kita mencari penghidupan, pekerjaan yang kita punya, dan
bagaimana kerja kita mendapat imbalan, berkaitan sangat erat dengan
kehidupan kita. ini semua yang akan membuat pekerjaan menjadi aktivitas
yang menyenangkan dan memuaskan, atau membosankan dan mencemaskan.”
Pekerjaan adalah seluruh kehidupan kita, bahkan diri kita. Si Dadap
mungkin menggugat, Bagaimana mungkin? Kehidupan tentulah lebih luas
daripada pekerjaan. Kehidupan meliputi segala hal, sedangkan pekerjaan
hanya berurusan dengan bagaimana kita mendapatkan penghasllan saja.
Marilah kita simak pertanyaan ini: Bukankah separuh (bahkan dua
pertiga) dan waktu kita sehari atau dari umur kita dihabiskan oleh
pekerjaan? Bila ya, kehidupan kita memang ditentukan oleh pekerjaan.
Diri kita ditentukan dan dibentuk oleh apa yang paling intens kita
perhatikan. Hadis Nabi menyatakan bahwa seseorang ditentukan oleh siapa
temannya (orang-orang yang berkumpul paling intens). Aristoteles
kemudian menyatakan bahwa siapa diri kita ditentukan oleh tindakan kita
yang berulang-ulang.
Sekarang mari kita bayangkan bagaimana
kehidupan kita. Sebagian kita bekerja di kantor minimal 8 jam sehari.
Sisanya (16 jam lagi) dihabiskan di jalan, bersama keluarga, dan
menyusun rencana agar kita berprestasi di dunia kerja. Kalau begitu,
kita lebih sering bertemu dengan teman-teman sekantor,
melihat
mereka, mendengar apa yang mereka bicarakan, bersimpati atau bahkan
berempati kepada mereka, mungkin juga meniru apa yang mereka lakukan.
Kita juga lebih sering memberikan perhatian pada pekerjaan-pekerjaan
kita ketimbang yang lainnya.
Maka, pikiran kita lebih banyak
dipenuhi soal-soal pekerjaan ketimbang yang lainnya. Perilaku dan
kebiasaan kita lebih banyak dibentuk oleh kolega kita ketimbang tokoh
teladan yang lainnya. Kita adalah pekerjaan kita. Teorinya dapat dirujuk
pada Alfred Schultz yang menyatakan bahwa (1) diri kita dibentuk oleh
kebiasaan; dan (2) kebiasaan dibentuk oleh apa yang sering kita
saksikan, dalam waktu lama, dan berulang-ulang.
Mullah Shadra,
filosof Muslim, memiliki teori menarik. Apa yang paling intens kita
perhatikan akan membentuk siapa diri kita. Bila kita terus memerhatikan
televisi, diri kita akan menjadi televisi. Lihat saja anak-anak, ucapan,
cara berpikir, perilaku, dan cara berbusana mereka telah berbeda dengan
cara kita. Semuanya dapat merujuk pada televisi. Bila kita terus intens
menghadapkan wajah kesadaran pada Tuhan, din kita menjadi citra dan
Tuhan. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. yang terus menerus menghadapkan
wajahnya kepada Tuhan sehingga ia menjadi bukti keberadaan Tuhan bagi
manusia yang lain.
Bila demikian adanya, kita tak bisa meremehkan
pekerjaan kita. Kita tak bisa membiarkan diri dibentuk secara
serampangan oleh pekerjaan dan suasana kantor yang kadang-kadang memaksa
kita menjadi penggerutu atau pendendam. Kita tak bisa membiarkan diri
kita begitu tergesa-gesa dalam segala hal karena di kantor kita memang
diminta untuk mengikuti filosofi “kecepatan adalah prestasi”. Kita harus
mengubah cara kita memperlakukan pekerjaan tidak sekadar demi upah,
tetapi demi mew ujudkan din kita yang sejati. Atau kita harus mengubah
kantor kita agar tidak sekadar menjadi ruang kerja, tetapi sebagai ruang
pembentukan siapa diri kita.
Kembali pada Mihaly, pada buku itu ia memancing kita. Mihaly menulis, “Bila perusahaan yang memperkerjakan mayoritas
penduduk dengan jumlah yang terus membengkak, dijalankan semata-mata
demi memuaskan kerakusan para pemiliknya, dengan mengorbankan kondisi
kerja, stabilitas masyarakat, dan kesehatan lingkungan; kemungkinan
besar kualitas hidup kita akan lebih buruk... Kendatipun semua pemimpin
bisnis terlatih untuk menghasilkan keuntungan, banyak dan mereka yang
melupakan tanggung jawab lain yang tercakup dalam kepemimpinan sosial
yang baru saja mereka raih itu.”
Mihaly memaksa kita untuk berpikir
ulang tentang pekerjaan, apakah semuanya dijalankan demi memuaskan
kerakusan sembari mengorbankan karyawan dan masyarakat? Bila ya, kita
harus mengubahnya. Bukan demi siapa pun, melainkan demi diri kita.
Sebagai orang beriman, ada baiknya kita mengenang satu ayat berikut ini:
Aku tidak menciptakan zin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku (liya’buduun) (QS. AdzD zaniat [51]: 56). Ustaz Quraisy Shihab
menafsirkan kata ii pada kata liya’budun dengan arti “akibat, dampak,
atau kesudahan”, bukan dalam arti “agar”. Konsekuensinya, ayat ini
bermakna bahwa manusia diciptakan hanya bertujuan agar menjadikan segala
aktivitasnya memiliki dampak dan menjadi ibadah kepada Penciptanya.
Pekerjaan pun demikian, pekerjaan’ haruslah memiliki dampak ibadah
kepada Sang Pencipta.
Kata ibadah, dalam bahasa Arab, menyiratkan
keselarasan yang sempurna, tidak adanya penolakan atau perpecahan. Akar
kata verbal kata ini pada salah satu bentuknya adalah ‘abbada, yang
berarti “menghaluskan”. Melalui ibadah, hidup menjadi halus dan. Karena
itu, ia dihubungkan dan disatukan dengan sempurna, ujar Syekh Fadhallah
Khaeri). Maka beribadah tidaklah sekadar melakukan ritual “penyembahan”
kepada pencipta-Nya, tetapi harus menghasilkan efek pada kehalusan budi,
kebahagiaan, dan keterhubungan diri dengan seluruh kehidupan. Begitu
pun dengan pekerjaan. Bila kita telah meniatkan pekerjaan yang berdampak
ibadah, pekerjaan haruslah menghasilkan efek pada kehalusan budi,
kebahagiaan, dan keterhubungan diri dengan seluruh kehidupan.
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu men
yuruh berbuat yang makruf (ta’muruna bil ma’ruf), dan mencegah dari yang
munkar (tanhauna ‘anilm unkar), dan beriman kepada Allah (Tu’minuuna
blllah)... (QS. Mi Imran [3]: 110). Kuntowijoyo memaknai ta’muruna
bilma’ruf sebagai proses emansipasi, tan hauna ‘anilmunkar sebagai
proses liberasi, dan tu’minuuna billah sebagai proses transendensi.
Muslim memiliki kewajiban untuk memerankan diri sebagai umat yang
terbaik, yang mengupayakan emansipasi (pembelaan dan berupaya
membangkitkan mereka yang tertindas), liberasi (membebaskan yang
tertindas menjadi berdaya), dan transendensi (mengarahkan semua realitas
menuju kesadaran Ilahiah).
Hakikat dunia kerja juga dikenai ketiga
tugas ini, dunia kerja haruslah sanggup menegaskan emansipasi di antara
karyawan dan pelanggan, mengupayakan liberasi, dan menjadikan dunia
kerja sebagai media bagi penemuan transendensi semua pihak juga
pelanggan). Bagaimana caranya? Apakah mungkin?
Kita bisa
melakukannya, kecuali bila kita mau menyerah begitu saja pada arus
kesibukan yang semakin menjauhkan diri kita dari kebahagiaan. Imam
Nawawi al-Bantani dalam AlS alalim al-Fudhala memberikan dukungan,
“Gunakanlah waktu
Anda untuk membantu sesama kaum muslim dan
memasukkan kebahagiaan di hati mereka. Kemudian pergunakan waktu Anda
untuk bekerja (dengan terus membaca Al-Quran, berzikir, atau bertasbih)
dan disertai tujuan bersedekah dengan sesuatu yang melebihi batas kebut
uhan Anda. Itu semua lebih utama daripada sekadar berzikir.”
Kecerdasan Pegawai
Setelah belajar dan Mihaly, saya punya pemikiran bahwa menjadi pegawai
haruslah cerdas karena pegawai akan langsung berhadapan dengan pelbagai
macam rakyat yang begitu beragam. Semuanya mesti dilayani, semuanya
mesti diberi perhatian yang sama. Untuk itu, setiap PNS haruslah cerdas.
Kecerdasan yang saya maksudkan bukanlah kecerdasan IQ yang dapat
diukur, melainkan kecerdasan menyeluruh yang meliputi IQ, EQ, dan SQ.
Penelitian mutakhir dan Daniel Coleman menunjukkan bahw a IQ tidak
begitu berguna bila EQ tidak optimal. Sepintar apa pun seseorang bila
dia tidak dapat mengelola emosinya, ia akan menjadi orang pintar yang
membodohi yang lain, atau orang pintar yang tidak bisa mengamalkan
ilmunya bagi kemaslahatan bersama. Kemudian dunia penelitian menunjukkan
temuan yang mengejutkan bahwa IQ plus EQ pun belum berdaya untuk
memanusiakan manusia bila tidak dilengkapi SQ (Spiritual Quotient).
Danah Zohar dan Ian Marshall pada buku Spiritual Capital meyakini bahwa
SQ merupakan modal terbaik untuk dapat menjalani kehidupan masa depan
yang penuh dengan tantangan dan kejutan.
Untuk bisa memahami kecerdasan spiritual dan modal spiritual dapat dikemukakan tulisan Zohar berikut ini:
“Modal spiritual (Spiritual Capital, SC) adalah kekayaan yang membuat
kita bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek aspek kehidupan kita
yang lebih dalam. Itulah kekayaan yang kita perolah dan makna dan nilai
terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kita, dengan
jalan menemukan cara untuk mengintegrasikan semua itu dalam hidup dan
kerja kita.
SC adalah modal yang dihimpun melalui pengabdian atau
mencurahkan perhatian pada persoalan-persoalan yang lebih mendalam
mengenai manusia dan planet mi. SC adalah modal yang merefleksikan
berbagai nilai-bersama, visi bersama, dan tujuan mendasar kita dalam
kehidupan.” Lalu apa itu kecerdasan spiritual?
“Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang kita pakai untuk merengkuh makna,
nilai, tujuan terdalam, dan motivasi tertinggi kita. Kecerdasan
spiritual adalah cara kita menggunakan makna, nilai, tujuan, dan
motivasi itu dalam proses berpikir kita, dalam keputusan-keputusan yang
kita buat, dan dalam segala sesuatu yang kita pikir patut dilakukan.
Keputusan-keputusan itu mencakup pula cara kita mengumpulkan dan
mengalokasikan kekayaan materiil kita.
Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan moral kita, yang memberi kita sebuah kemampuan bawaan untuk
membedakan yang benar dan yang salah. Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran,
keindahan, dan kasih sayang dalam hidup kita. Kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan jiwa...” Secara sistematis kita dapat melihat kaitan
antara IQ, EQ, dan SQ ml pada bagan berikut:
Modal materiil adalah
modal sebagaimana kita kenal dalam dunia perdagangan (uang, dan segala
sesuatu yang bisa dibeli dengan uang). Selama ini, kita menganggap bahwa
untuk sukses kita membutuhkan modal materiil, padahal tidak seperti
itu. Modal sosial adalah kekayaan yang membuat komunitas dan organisasi
kita berfungsi secara efektif demi kepentingan bersama. Modal sosial,
menurut Francis Fukuyama, adalah kemampuan orang untuk bekerja bersama
demi tujuan-tujuan bersama dalam kelompok-kelompok dan
organisasi-organisasi. Modal sosial ini tercermin dalam: jenis hubungan
yang kita bangun dalam komunitas, tingkat kepercayaan satu sama lain dan
kepada komunitas, tingkat kesehatan dan melek huruf yang kita capai
melalui upaya bersama, dan tingkat keterbebasan kita dan kejahatan.
Peralihan modal sosial ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu
kecerdasan yang kita pakai untuk merasa. Kecerdasan emosional adalah
kemampuan kita untuk memahami dan ikut merasakan apa yang dialami orang
lain, kemampuan kita untuk membaca emosi orang atau membaca situasi
sosial kita berada, atau bersikap menanggapinya dengan tepat.
Sementara itu, modal spiritual adalah kekayaan yang membuat kita bisa
hidup, kekayaan yang memperkaya aspek aspek kehidupan kita yang lebih
dalam. Modal spiritual ini menambahkan (setelah modal materiil dan
sosial) makna b ersama, nilai-bersama, serta tujuan-bersama. Spiritual
Capital menjawab keprihatinan kita tentang apa arti menjadi manusia, dan
tentang apa makna serta tujuan puncak dan hidup manusia. Kekayaan ini
dapat diperoleh dan makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental,
dan motivasi tertinggi kita. Spiritual Capital ini dapat diakses
melalui SQ.
Bila merujuk pada penelitian Zohar di atas, kita dapat
bercermin bahwa selama ini kita hidup hanya berdasar modal otak. Kita
terjebak pada pikiran bahwa uang adalah segalanya, gaji besar adalah
sumber kebahagiaan dan perbaikan kinerja. Apa yang kita pikirkan
belumlah menghasilkan keseluruhan pemahaman kita akan kehidupan, akan
manusia dan kemanusiaan. Dibutuhkan pendamping pertanyaan, “Apa yang
saya rasakan?” Ya, apa yang saya rasakan bila sebagai PNS saya
berleha-leha, sementara ada banyak orang lain yang perlu bekerja keras
untuk mendapatkan uang Rp. 5.000,-. Apa yang saya rasakan bila sebagai
PNS saya tidak memberikan pelayanan, padahal saya tahu bahwa gaji saya
berasal dan pajak rakyat. Gunakanlah rasa, selain intelektualitas Anda;
begitulah kira-kira pesan Danah Zohar ini.
Saya sangat tertarik
buku Danah Zohar ini terutama ketika ia menempatkan modal spiritual
sebagai modal utama untuk perbaikan kehidupan. Modal spiritual bagi
Zohar bermula dan pertanyaan “Siapa saya?”, inilah pertanyaan yang saya
sukai. Siapa saya? Saya adalah PNS. Siapa PNS itu? PNS adalah pegawai
yang digaji dan pajak rakyat untuk melayani rakyat. Siapa tuannya PNS
itu? Tuan atau majikan adalah mereka yang memberikan gaji, rakyatlah
yang menggaji sementara bupati hanyalah juru bayarnya saja. Bila semua
pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang terus-menerus diulang oleh pra
PNS ketika mereka bercermin, niscaya para PNS akan terus melayani rakyat
dengan tulus.
Sekali lagi ditekankan bahwa setiap PNS harus
memiliki ketiga kecerdasan ini secara baik: kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Untuk itulah saya akan
menuliskan buku khusus
mengenai syarat-syarat kecerd asan dan etika PNS Purwakarta,
sebuah buku pedoman yang terus menerus dilatihkan agar menjadi
karakter dan kompetensi dasar para PNS Purwakarta.
Saya pernah bertanya kepada diri sendiri: kenapa sikap bangsa Indonesia
lambat? Saya pikir itu semua disebabkan oleh hati dan pikiran para
pemainnya kadang-kadang tidak bersatu. “Ceuk piki ran kudu disepak, ceuk
hate kudu dibawa, akhirnya pakeujeut”. Karena itu, agar Kabupaten
Purwakarta dapat berubah, tidak lambat mengambil momentum, semua PNS
harus melatih diri memiliki 3 kecerdasan pokok ini.
Bekerja adalah Kesenangan
Kembali pada Mihaly, ia menuliskan dua hal yang menarik. Pertama, ia
menulis “Pekerjaan kita sangat menentukán seperti apa hidup kita.
Pekerjaan bisa menjadi salah satu aspek kehidupan kita yang paling
menyenangkan dan memuaskan. Hal itu bergantung pada tindakan kolektif
kita...”
Kedua, “Bila perusahaan... dijalankan semata-mata demi
memuaskan kerakusan para pemiliknya, dengan mengorbankan kondisi kerja,
stabilitas masyarakat, dan kesehatan lingkungan, maka kemungkinan besar
kualitas hidup kita akan lebih buruk....” Mihaly memang menuliskan
bukunya untuk perusahaan, namun tidak ada salahnya bila pemikirannya
diterapkan untuk PNS.
Kita bicarakan satu-persatu. Pekerjaan kita
sangat menent ukan seperti apa hidup kita. ini berarti bekerja bukan
sekadar datang ke kantor dan mengerjakan hal-hal rutin. Pekerjaan harus
memberikan makna bagi pelakunya, memberikan kebahagiaan ketika pelakunya
sanggup memberikan pekerjaan dengan kualitas tertinggi. Hal ini
mensyaratkan beberapa sikap mental yang cerdas akal, cerdas emosi, dan
cerdas hati.
Maka, bagi saya bekerja harus dianggap rekreasi, harus
menyenangkan. Apa pun bebannya, semua PNS harus mengang gap pekerjaan
sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bekerja akan menyenangkan bila
pertanyaan “siapa saya” sudah ditemukan jawabannya bahwa “saya adalah
PNS yang bertugas melayani rakyat karena digaji dan pajak dan rakyat”,
kesenangan bekerja akan muncul dan keikhlasan. Inilah yang nanti akan
melahirkan produktivitas.
Ihwal produktivitas saya tak menginginkan
percepatan produktivitas karena apa yang cepat meraihnya biasanya cepat
juga runtuh. Semua hitungan dimulai dari angka satu, baru kemudian dua,
dan seterusnya. Lalu yang paling sulit itu adalah memulai dan satu itu.
Meletakkan satu itu yang paling sulit adalah momentum munculnya niat
melakukan sesuatu, satu adalah momentum keikhlasan —yaitu ketika yang
ada dalam hati adalah satunya niat kepada Allah saja. Setelah memiliki
niat itu, maka setiap orang akan memiliki kemampuan untuk jeli menangkap
momentum perubahan.
Momentum itu bagi beberapa pihak tidak datang
setiap saat, namun bagi saya semua hari adalah momentum untuk perubahan.
Orang cerdas dan ikhlas akan dapat menemukan momentum itu karena ia
pandai membaca momentum keberuntungan, bahkan dari situasi tersulit
sekalipun. Konon, dalam manajemen risiko disebutkan “pada situasi penuh
risiko, disitulah ada peluang”; pada sesuatu yang ditakutkan itu
terdapat kebahagiaan.
Jadi, orang yang sukses itu adalah orang yang
tepat mengambil momentum. Jadi misalnya kasus nabi—nabi dan sejenisnya
adalah kecepatan dalam membaca momentum. Kalau ini dipahami,
peristiwa-peristiwa kenabian itu adalah kecepatan dia dalam membaca
momentum. Nabi, kecepatan dalam membaca momentum itu terletak di antara
keselarasan antara pikiran dengan hati. Bagaimana membangun keselarasan
pikiran dengan hati? Ikhlaslah dan teruslah mengajukan ketiga pertanyaan
kecerdasan di atas.
Selain merasa gembira pada saat bekerja,
kecerdasan yang utuh akan membuat seseorang dapat tersenyum dengan
tulus. Pemerintah dituntut oleh masyarakat memberikan pelayanan yang
sangat baik. Karena itu, saya meminta kepada semuanya, kepada BKD,
asisten tiga, kepala bidang kepegawaian agar nanti perlu diadakan
pelatihan memberikan senyuman terindah. Saya sebagai bupati sudah
melatih diri untuk tersenyum. Setiap pagi saya akan memeriksa cadangan
senyum saya di cermin karena kelak akan perlu mengeluarkan senyuman ke
setiap orang. Saya
mencoba untuk tetap ramah di hadapan masyarakat walaupun sebenamya banyak masalah.
Tetaplah tersenyum dalam keadaan apa pun. Walaupun di rumah ada masalah
rumah tangga, atau ditagih kartu kredit, di kantor tetap harus
profesional: tersenyum dalam memberikan pelayanan. Kita harus belajar
menjadi seorang artis yang baik. Contohlah ada banyak selebritas yang
memiliki banyak masalah, namun giliran harus menyanyi —bekerja
berdasarkan prof esinya—mereka tetap tampil prima, riang, dan seperti
tanpa masalah. Apalagi bila Anda seorang guru, di depan murid Anda harus
tetap terlihat yang terbaik. Awas, ulah murid dijadikeun pelampiasan.
Keur ngambek ka salakina, murid na di ciwit.
Senyum sangatlah
mudah, namun akan menjadi ibadah tertinggi terutama bila dilakukan oleb
para pegawai pamongp raja. Bayangkanlah ketika rakyat datang mengurus
sesuatu, lalu sebagai PNS Anda teresenyum. Senyuman itu akan membuat
rakyat merasa dihargai, spiritnya tumbuh, dan keyakinannya akan terus
menguat bahwa kehidupan harus dibangun dengan produktif. Sebaliknya,
ketika mereka datang ke kantor pemerintah dan menemukan jawaban ketus
dart PNS, mereka akan kecewa dan tidak percaya din lagi. “Pemerintah
saja tidak mengayomi mereka, apalagi yang lain,” demikian kira-kira
pikiran mereka. Jadi, tersenyumlah dan berikan pelayanan yang terbaik,
itu sudth membuat semua orang merasa senang dan kehidupan akan berubth
menjadi baik secara perlahan-lahan.
Dibutuhkan Pegawai yang Staf
Mungkin keinginan ini berlebihan, namun saya ingin semua PNS memiliki
sifat-sifat Nabi Muhammad. Nabi kita memiliki sifat-sifat utama yang
membuat semua perjuangannya bisa berhasil dalam waktu yang tergolong
singkat. Nabi kita memiliki sifat siddiq, artinya ia benar dan
memperjuangkan kebenaran. Seluruh kehidupannya dipenuhi dengan
kebenaran: berpikir benar, merasa dengan benar, bertindak dan berkata
dengan benar. Standarnya adalah Al-Quran.
PNS pun harus
terus-menerus mengupayakan berada dalam medan-kebenaran. Untuk itulah di
setiap bidang pekerjaan terdapat tupoksi (tugas pokok dan fungsi), ada
sejumlah prosedur yang menjelaskan siapa mengerjakan apa dan untuk apa.
Itulah standar yang harus dipenuhi oleh PNS. Menjadi “benar” itulah yang
harus dilakukan oleh semua PNS. Maka, bermain game a tau bermain kartu
pada saat jam kerja tentulah tidak benar karena saya yakin ada banyak
pekerjaan yang harus dikerjakan setiap orang. Bila memang benar tidak
ada pekerjaan, buatlah aktivitas memperbaiki diri atau melatih diri
untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Sifat kedua nabi adalah
tabligh, mampu mengomunikasikan kebenaran dengan bahasa yang mudah
dicerna sekaligus dapat menggerakkan orang lain. Pekerjaan PNS selalu
berhubungan dengan orang banyak dan karenanya membutuhkan komunikasi.
Ada banyak kebijakan pemerintah yang disalah pahami oleh rakyat ketika
komunikasinya salah. Maka, kemampuan untuk mengomunikasikan kebijakan
dan keputusan dengan baik akan menentukan tingkat ketenangan masyarakat.
Komunikasi juga terkait dengan “membangkitkan” semangat dan keyakinan
warga masyarakat tentang kerja produktif, kreatif, dan inovatif. Sifat
tabligh berarti juga hidup dengan penuh tanggung jawab terhadap tugasnya
masing-masing sebagai pekerja dan sebagai umat manusia. Tanggung jawab
adalah kemampuan untuk memberikan respons terhadap semua peristiwa.
Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memperbaiki masalah secara
tanggap, tak peduli siapa pun yang menghasilkan masalahnya. Tanggung
jawab berarti juga memandang din sendiri secara mulia, karena itu akan
memuliakan din dengan terus-menerus menghiasi din den gan kebenaran yang
benar saja.
Sifat ketiga Nabi adalah amanah, jujur atau menjaga
transparansi dan akuntabilitas. Sifat ini dapat dikaitkan dengan
pengelolaan keuangan itu. Amanah berarti menjaga aspek ketertiban
administrasi dan output dan pengelolaan keuangan. Ketertiban
administrasi merupakan hal pokok yang tidak bisa kita
tawar-tawar
lagi, keuangan adalan bensin penggerak pemban gunan maka kebocoran
keuangan akan menyebabkan perjalanan kabupaten ini akan mogok di tengah
jalan. Karena itu, alur perjalanan keuangan harus berjalan pada koridor
sistem yang baik berdasarkan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri, maupun Keputusan Menteri termasuk juga Perda dan Perbup. Bila
bertentangan dengan semua standar kerja itu, sifat amanah akan mendorong
semua PNS untuk menolaknya —bahkan bila itu dan saya. Landasan-landasan
tersebut harus menjadi pijakan yang kuat sehingga setiap pengeluaran
keuangan itu memiliki bobot strategi yang di dalamnya secara
administratif formal bisa dipertanggungjawabkan.
Sifat keempat Nabi
adalah fathonah, ini berarti PNS harus cerdas dalam memikirkan apa yang
harus dilakukannya. Ihwal kecerdasan ini saya sudah kemukakan pada
bagian atas.
Intinya, saya tidak menginginkan orang-orang yang
menjadi pegawai yang membantu saya, saya ingin orang-orang yang “staf.”
Karena saya meyakini bahwa pendapatan daerah — walaupun sedikit— kita
dapat menjadi bahan bakar kemajuan Purwakarta bila pengelolaan keuangan
dan seluruh kinerja kita
berlangsung efektif dan efisien. Maka saya bertekad untuk menata sistern administrasi yang “memaksa” semua orang menjadi staf.
Insya Allah, untuk membuat kondisi penurnbuhan jiwa STAF ini, saya
terus membangun Sebuah situasi yang terbuka di lingkungan internal
pemerintah daerah ini dengan tujuan satu bahwa semakin kita terbuka maka
orang semakin enggan kepada kita. Semakin kita tertutup maka orang
semakin penasaran terhadap apa yang kita lakukan. Jadi ini prinsip
sengaja pagar ini saya bikin terbuka ternyata malah jauh lebih tertib,
tidak ada lagi orang nongkrong di alun alun. Semakin dibuka itu semakin
orang segan sama kita. Semakin negara transparan terhadap rakyatnya,
akan semakin sulit orang itu bertanya tentang sesuatu yang kita
sembunyikan. Jadi ini prinsip, dan ini harus dilakukan. Model
pengelolaan pemerintahan termasuk tata arsitektur bangunan seperti in
bukan hanya nanti jadi milik kantor pemkab, melainkan nanti akan
berkembang pada seluruh SKPD, dan berkembang di seluruh kecamatan bahkan
seluruh desa. Simbol-simbol kenegaraan, simbol-simbol keuangan, dan
simbol-simbol administratif yang tertata itu bukan hanya menjadi koridor
pemerintah kabupaten, melainkan harus tertata secara distributif pada
seluruh jaringan kemasyarakatan.
Semua itu didorong oleh keinginan
saya untuk menjadikan kabupaten ini sebagai kabupaten yang betul-betul
memiliki cadangan yang cukup sehingga dapat mengembangkan Purwakarta
untuk masa depan digjaya. Untuk menggapai cita-cita itu, semua penataan
itu harus dipastikan terus berjalan sampai waktu yang lama karena 5
tahun saja belum cukup untuk membangun kabupaten ini menjadi unggul.
Lima tahun ini adalah lima tahun pembenahan. Saya berpikir dan saya
katakan kalau saya ditakdirkan oleh Allah swt. lebih dari 2 periode ke
depan, sistem itu terus berjalan sehingga Purwakarta menjadi kabupaten
yang efektif dan memiliki kebanggaan yang luar biasa.
Refleksi: Rasa Bangga Menjadi PNS
Saat ini, defisit anggaran Kabupaten Purwakarta mencapai 35 miliar.
Artinya, kita kekurangan dana, salah satu sumbernya adalah bertambahnya
belanja untuk gaji pegawai yang setiap tahunnya terus bertambah,
sementara pendapatan daerah belum juga membaik. Akhirnya, pemerintah
harus berhutang dulu,
mencari dana talangan. Di samping itu juga,
saya melakukan sejumlah efisiensi, misalnya menurunkan anggaran biaya
rumah tangga sampai 50%. Namun, itu bukan solusi. Solusi terbaik adalah
melakukan efisiensi keuangan dan efektivitas dalam seluruh pekerjaan.
Informasi in sengaja diberikan agar para PNS sadar bahwa mereka digaji
oleh kerja keras bupati dan aparatnya, mereka tetap digaji dengan
pelbagai macam cara agar mereka terus melayani dengan tulus. Dengan
demikian, PNS harus juga bekerja keras untuk memperbaiki kinerjanya.
Untuk itulah, saya berharap semua PNS ulah sakali-kali ngarasula,
artinya menjelek-jelekan nasib menjadi pegawai negeri sipil, “Ah aing
mah gaji ngan sakieu jadi pegawai mah!” Padahal seperti kata Mihaly
pekerjaan dan apa yang dikerjakan akan menentukan kehidupan seseorang,
akan membentuk jawaban atas pertanyaan, “Siapa saya?” Rasa bangga inilah
yang akan membuat seseorang menjadi siddiq, tabligh, amanah, dan
fathanah.
#inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar