expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 28 Agustus 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : *****MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA***** Pelajaran Kesembilan : "MELAYANI DENGAN CINTA" (Para PNS Wajib Baca Ini)

Suatu hari sáya merasa perlu untuk mengucapkan terima asih pada para guru atas berubahnya perilaku anak saya. Anak saya sekarang rajin bangun jam 5 untuk salat
subuh. “Kenapa harus bangun jam 5 subuh?”, saya bertanya. Anak saya menjawab, “Karena ada buku yang harus diparaf oleh Bapak bahwa saya salat subuh.” ini balk untuk sebuah pend idikan, wajar. Kenapa? Yang dihadapi itu anak kecil. Hukum tindakan anak kecil adalah perintah, hadiah dan hukuman. Karena itu, anak kecil disebut sebagai budak, jadi untuk salat subuh ia harus diperiksa, ditakut-takuti dulu oleh gurunya, atau diberi hadiah tertentu. Namanya juga budak.
Nah, pertanyaannya adalah apakah mental budak anak ini ada di anak SD saja? Ternyata tidak. Pada diri pegawai negeni pun mental budak itu ada. Bila ada honor, baru bekerja. Tidak ada honor, tidak mau bekerja dengan baik. ini budak juga namanya. Jadi, sifat bubudakeun mah lain di budak SD, lolobana mah di kolot. Negara seperti ini tidak akan teratur karena semuanya budak. Selama mental budak ada dalam diri kita, jangan harap bangsa ini bisa mencapai kemandirian.
Pekerjaan adalah Ladang Ibadah
Apakah pekerjaan Anda membuat Anda sakit? Apakah pekerj aan itu menghalangi Anda menjadi sosok yang lebih awas? Apakah Anda merasa malu dengan apa yang mesti Anda lakukan dalam kerja? Pertanyaan ini dikemukakan Mihaly Csikszentmihalyi pada buku Good Business
Mihaly kemudian menulis, “Pekerjaan kita sangat menentukan seperti apa hidup kita. Pekerjaan bisa menjadi salah satu aspek kehidupan kita yang paling menyenangkan dan memuaskan. Hal itu bergantung pada tindakan kolektif kita... Cara kita mencari penghidupan, pekerjaan yang kita punya, dan bagaimana kerja kita mendapat imbalan, berkaitan sangat erat dengan kehidupan kita. ini semua yang akan membuat pekerjaan menjadi aktivitas yang menyenangkan dan memuaskan, atau membosankan dan mencemaskan.”
Pekerjaan adalah seluruh kehidupan kita, bahkan diri kita. Si Dadap mungkin menggugat, Bagaimana mungkin? Kehidupan tentulah lebih luas daripada pekerjaan. Kehidupan meliputi segala hal, sedangkan pekerjaan hanya berurusan dengan bagaimana kita mendapatkan penghasllan saja.
Marilah kita simak pertanyaan ini: Bukankah separuh (bahkan dua pertiga) dan waktu kita sehari atau dari umur kita dihabiskan oleh pekerjaan? Bila ya, kehidupan kita memang ditentukan oleh pekerjaan. Diri kita ditentukan dan dibentuk oleh apa yang paling intens kita perhatikan. Hadis Nabi menyatakan bahwa seseorang ditentukan oleh siapa temannya (orang-orang yang berkumpul paling intens). Aristoteles kemudian menyatakan bahwa siapa diri kita ditentukan oleh tindakan kita yang berulang-ulang.
Sekarang mari kita bayangkan bagaimana kehidupan kita. Sebagian kita bekerja di kantor minimal 8 jam sehari. Sisanya (16 jam lagi) dihabiskan di jalan, bersama keluarga, dan menyusun rencana agar kita berprestasi di dunia kerja. Kalau begitu, kita lebih sering bertemu dengan teman-teman sekantor,
melihat mereka, mendengar apa yang mereka bicarakan, bersimpati atau bahkan berempati kepada mereka, mungkin juga meniru apa yang mereka lakukan. Kita juga lebih sering memberikan perhatian pada pekerjaan-pekerjaan kita ketimbang yang lainnya.
Maka, pikiran kita lebih banyak dipenuhi soal-soal pekerjaan ketimbang yang lainnya. Perilaku dan kebiasaan kita lebih banyak dibentuk oleh kolega kita ketimbang tokoh teladan yang lainnya. Kita adalah pekerjaan kita. Teorinya dapat dirujuk pada Alfred Schultz yang menyatakan bahwa (1) diri kita dibentuk oleh kebiasaan; dan (2) kebiasaan dibentuk oleh apa yang sering kita saksikan, dalam waktu lama, dan berulang-ulang.
Mullah Shadra, filosof Muslim, memiliki teori menarik. Apa yang paling intens kita perhatikan akan membentuk siapa diri kita. Bila kita terus memerhatikan televisi, diri kita akan menjadi televisi. Lihat saja anak-anak, ucapan, cara berpikir, perilaku, dan cara berbusana mereka telah berbeda dengan cara kita. Semuanya dapat merujuk pada televisi. Bila kita terus intens menghadapkan wajah kesadaran pada Tuhan, din kita menjadi citra dan Tuhan. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. yang terus menerus menghadapkan wajahnya kepada Tuhan sehingga ia menjadi bukti keberadaan Tuhan bagi manusia yang lain.
Bila demikian adanya, kita tak bisa meremehkan pekerjaan kita. Kita tak bisa membiarkan diri dibentuk secara serampangan oleh pekerjaan dan suasana kantor yang kadang-kadang memaksa kita menjadi penggerutu atau pendendam. Kita tak bisa membiarkan diri kita begitu tergesa-gesa dalam segala hal karena di kantor kita memang diminta untuk mengikuti filosofi “kecepatan adalah prestasi”. Kita harus mengubah cara kita memperlakukan pekerjaan tidak sekadar demi upah, tetapi demi mew ujudkan din kita yang sejati. Atau kita harus mengubah kantor kita agar tidak sekadar menjadi ruang kerja, tetapi sebagai ruang pembentukan siapa diri kita.
Kembali pada Mihaly, pada buku itu ia memancing kita. Mihaly menulis, “Bila perusahaan yang memperkerjakan mayoritas
penduduk dengan jumlah yang terus membengkak, dijalankan semata-mata demi memuaskan kerakusan para pemiliknya, dengan mengorbankan kondisi kerja, stabilitas masyarakat, dan kesehatan lingkungan; kemungkinan besar kualitas hidup kita akan lebih buruk... Kendatipun semua pemimpin bisnis terlatih untuk menghasilkan keuntungan, banyak dan mereka yang melupakan tanggung jawab lain yang tercakup dalam kepemimpinan sosial yang baru saja mereka raih itu.”
Mihaly memaksa kita untuk berpikir ulang tentang pekerjaan, apakah semuanya dijalankan demi memuaskan kerakusan sembari mengorbankan karyawan dan masyarakat? Bila ya, kita harus mengubahnya. Bukan demi siapa pun, melainkan demi diri kita.
Sebagai orang beriman, ada baiknya kita mengenang satu ayat berikut ini:
Aku tidak menciptakan zin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku (liya’buduun) (QS. AdzD zaniat [51]: 56). Ustaz Quraisy Shihab menafsirkan kata ii pada kata liya’budun dengan arti “akibat, dampak, atau kesudahan”, bukan dalam arti “agar”. Konsekuensinya, ayat ini bermakna bahwa manusia diciptakan hanya bertujuan agar menjadikan segala aktivitasnya memiliki dampak dan menjadi ibadah kepada Penciptanya. Pekerjaan pun demikian, pekerjaan’ haruslah memiliki dampak ibadah kepada Sang Pencipta.
Kata ibadah, dalam bahasa Arab, menyiratkan keselarasan yang sempurna, tidak adanya penolakan atau perpecahan. Akar kata verbal kata ini pada salah satu bentuknya adalah ‘abbada, yang berarti “menghaluskan”. Melalui ibadah, hidup menjadi halus dan. Karena itu, ia dihubungkan dan disatukan dengan sempurna, ujar Syekh Fadhallah Khaeri). Maka beribadah tidaklah sekadar melakukan ritual “penyembahan” kepada pencipta-Nya, tetapi harus menghasilkan efek pada kehalusan budi, kebahagiaan, dan keterhubungan diri dengan seluruh kehidupan. Begitu pun dengan pekerjaan. Bila kita telah meniatkan pekerjaan yang berdampak ibadah, pekerjaan haruslah menghasilkan efek pada kehalusan budi, kebahagiaan, dan keterhubungan diri dengan seluruh kehidupan.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu men yuruh berbuat yang makruf (ta’muruna bil ma’ruf), dan mencegah dari yang munkar (tanhauna ‘anilm unkar), dan beriman kepada Allah (Tu’minuuna blllah)... (QS. Mi Imran [3]: 110). Kuntowijoyo memaknai ta’muruna bilma’ruf sebagai proses emansipasi, tan hauna ‘anilmunkar sebagai proses liberasi, dan tu’minuuna billah sebagai proses transendensi. Muslim memiliki kewajiban untuk memerankan diri sebagai umat yang terbaik, yang mengupayakan emansipasi (pembelaan dan berupaya membangkitkan mereka yang tertindas), liberasi (membebaskan yang tertindas menjadi berdaya), dan transendensi (mengarahkan semua realitas menuju kesadaran Ilahiah).
Hakikat dunia kerja juga dikenai ketiga tugas ini, dunia kerja haruslah sanggup menegaskan emansipasi di antara karyawan dan pelanggan, mengupayakan liberasi, dan menjadikan dunia kerja sebagai media bagi penemuan transendensi semua pihak juga pelanggan). Bagaimana caranya? Apakah mungkin?
Kita bisa melakukannya, kecuali bila kita mau menyerah begitu saja pada arus kesibukan yang semakin menjauhkan diri kita dari kebahagiaan. Imam Nawawi al-Bantani dalam AlS alalim al-Fudhala memberikan dukungan, “Gunakanlah waktu
Anda untuk membantu sesama kaum muslim dan memasukkan kebahagiaan di hati mereka. Kemudian pergunakan waktu Anda untuk bekerja (dengan terus membaca Al-Quran, berzikir, atau bertasbih) dan disertai tujuan bersedekah dengan sesuatu yang melebihi batas kebut uhan Anda. Itu semua lebih utama daripada sekadar berzikir.”
Kecerdasan Pegawai
Setelah belajar dan Mihaly, saya punya pemikiran bahwa menjadi pegawai haruslah cerdas karena pegawai akan langsung berhadapan dengan pelbagai macam rakyat yang begitu beragam. Semuanya mesti dilayani, semuanya mesti diberi perhatian yang sama. Untuk itu, setiap PNS haruslah cerdas.
Kecerdasan yang saya maksudkan bukanlah kecerdasan IQ yang dapat diukur, melainkan kecerdasan menyeluruh yang meliputi IQ, EQ, dan SQ.
Penelitian mutakhir dan Daniel Coleman menunjukkan bahw a IQ tidak begitu berguna bila EQ tidak optimal. Sepintar apa pun seseorang bila dia tidak dapat mengelola emosinya, ia akan menjadi orang pintar yang membodohi yang lain, atau orang pintar yang tidak bisa mengamalkan ilmunya bagi kemaslahatan bersama. Kemudian dunia penelitian menunjukkan temuan yang mengejutkan bahwa IQ plus EQ pun belum berdaya untuk memanusiakan manusia bila tidak dilengkapi SQ (Spiritual Quotient). Danah Zohar dan Ian Marshall pada buku Spiritual Capital meyakini bahwa SQ merupakan modal terbaik untuk dapat menjalani kehidupan masa depan yang penuh dengan tantangan dan kejutan.
Untuk bisa memahami kecerdasan spiritual dan modal spiritual dapat dikemukakan tulisan Zohar berikut ini:
“Modal spiritual (Spiritual Capital, SC) adalah kekayaan yang membuat kita bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek aspek kehidupan kita yang lebih dalam. Itulah kekayaan yang kita perolah dan makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kita, dengan jalan menemukan cara untuk mengintegrasikan semua itu dalam hidup dan kerja kita.
SC adalah modal yang dihimpun melalui pengabdian atau mencurahkan perhatian pada persoalan-persoalan yang lebih mendalam mengenai manusia dan planet mi. SC adalah modal yang merefleksikan berbagai nilai-bersama, visi bersama, dan tujuan mendasar kita dalam kehidupan.” Lalu apa itu kecerdasan spiritual?
“Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang kita pakai untuk merengkuh makna,
nilai, tujuan terdalam, dan motivasi tertinggi kita. Kecerdasan
spiritual adalah cara kita menggunakan makna, nilai, tujuan, dan motivasi itu dalam proses berpikir kita, dalam keputusan-keputusan yang kita buat, dan dalam segala sesuatu yang kita pikir patut dilakukan. Keputusan-keputusan itu mencakup pula cara kita mengumpulkan dan mengalokasikan kekayaan materiil kita.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan moral kita, yang memberi kita sebuah kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan yang salah. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kasih sayang dalam hidup kita. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa...” Secara sistematis kita dapat melihat kaitan antara IQ, EQ, dan SQ ml pada bagan berikut:
Modal materiil adalah modal sebagaimana kita kenal dalam dunia perdagangan (uang, dan segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang). Selama ini, kita menganggap bahwa untuk sukses kita membutuhkan modal materiil, padahal tidak seperti itu. Modal sosial adalah kekayaan yang membuat komunitas dan organisasi kita berfungsi secara efektif demi kepentingan bersama. Modal sosial, menurut Francis Fukuyama, adalah kemampuan orang untuk bekerja bersama demi tujuan-tujuan bersama dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi. Modal sosial ini tercermin dalam: jenis hubungan yang kita bangun dalam komunitas, tingkat kepercayaan satu sama lain dan kepada komunitas, tingkat kesehatan dan melek huruf yang kita capai melalui upaya bersama, dan tingkat keterbebasan kita dan kejahatan. Peralihan modal sosial ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan yang kita pakai untuk merasa. Kecerdasan emosional adalah kemampuan kita untuk memahami dan ikut merasakan apa yang dialami orang lain, kemampuan kita untuk membaca emosi orang atau membaca situasi sosial kita berada, atau bersikap menanggapinya dengan tepat.
Sementara itu, modal spiritual adalah kekayaan yang membuat kita bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek aspek kehidupan kita yang lebih dalam. Modal spiritual ini menambahkan (setelah modal materiil dan sosial) makna b ersama, nilai-bersama, serta tujuan-bersama. Spiritual Capital menjawab keprihatinan kita tentang apa arti menjadi manusia, dan tentang apa makna serta tujuan puncak dan hidup manusia. Kekayaan ini dapat diperoleh dan makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kita. Spiritual Capital ini dapat diakses melalui SQ.
Bila merujuk pada penelitian Zohar di atas, kita dapat bercermin bahwa selama ini kita hidup hanya berdasar modal otak. Kita terjebak pada pikiran bahwa uang adalah segalanya, gaji besar adalah sumber kebahagiaan dan perbaikan kinerja. Apa yang kita pikirkan belumlah menghasilkan keseluruhan pemahaman kita akan kehidupan, akan manusia dan kemanusiaan. Dibutuhkan pendamping pertanyaan, “Apa yang saya rasakan?” Ya, apa yang saya rasakan bila sebagai PNS saya berleha-leha, sementara ada banyak orang lain yang perlu bekerja keras untuk mendapatkan uang Rp. 5.000,-. Apa yang saya rasakan bila sebagai PNS saya tidak memberikan pelayanan, padahal saya tahu bahwa gaji saya berasal dan pajak rakyat. Gunakanlah rasa, selain intelektualitas Anda; begitulah kira-kira pesan Danah Zohar ini.
Saya sangat tertarik buku Danah Zohar ini terutama ketika ia menempatkan modal spiritual sebagai modal utama untuk perbaikan kehidupan. Modal spiritual bagi Zohar bermula dan pertanyaan “Siapa saya?”, inilah pertanyaan yang saya sukai. Siapa saya? Saya adalah PNS. Siapa PNS itu? PNS adalah pegawai yang digaji dan pajak rakyat untuk melayani rakyat. Siapa tuannya PNS itu? Tuan atau majikan adalah mereka yang memberikan gaji, rakyatlah yang menggaji sementara bupati hanyalah juru bayarnya saja. Bila semua pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang terus-menerus diulang oleh pra PNS ketika mereka bercermin, niscaya para PNS akan terus melayani rakyat dengan tulus.
Sekali lagi ditekankan bahwa setiap PNS harus memiliki ketiga kecerdasan ini secara baik: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Untuk itulah saya akan menuliskan buku khusus
mengenai syarat-syarat kecerd asan dan etika PNS Purwakarta,
sebuah buku pedoman yang terus menerus dilatihkan agar menjadi
karakter dan kompetensi dasar para PNS Purwakarta.
Saya pernah bertanya kepada diri sendiri: kenapa sikap bangsa Indonesia lambat? Saya pikir itu semua disebabkan oleh hati dan pikiran para pemainnya kadang-kadang tidak bersatu. “Ceuk piki ran kudu disepak, ceuk hate kudu dibawa, akhirnya pakeujeut”. Karena itu, agar Kabupaten Purwakarta dapat berubah, tidak lambat mengambil momentum, semua PNS harus melatih diri memiliki 3 kecerdasan pokok ini.
Bekerja adalah Kesenangan
Kembali pada Mihaly, ia menuliskan dua hal yang menarik. Pertama, ia menulis “Pekerjaan kita sangat menentukán seperti apa hidup kita. Pekerjaan bisa menjadi salah satu aspek kehidupan kita yang paling menyenangkan dan memuaskan. Hal itu bergantung pada tindakan kolektif kita...”
Kedua, “Bila perusahaan... dijalankan semata-mata demi memuaskan kerakusan para pemiliknya, dengan mengorbankan kondisi kerja, stabilitas masyarakat, dan kesehatan lingkungan, maka kemungkinan besar kualitas hidup kita akan lebih buruk....” Mihaly memang menuliskan bukunya untuk perusahaan, namun tidak ada salahnya bila pemikirannya diterapkan untuk PNS.
Kita bicarakan satu-persatu. Pekerjaan kita sangat menent ukan seperti apa hidup kita. ini berarti bekerja bukan sekadar datang ke kantor dan mengerjakan hal-hal rutin. Pekerjaan harus memberikan makna bagi pelakunya, memberikan kebahagiaan ketika pelakunya sanggup memberikan pekerjaan dengan kualitas tertinggi. Hal ini mensyaratkan beberapa sikap mental yang cerdas akal, cerdas emosi, dan cerdas hati.
Maka, bagi saya bekerja harus dianggap rekreasi, harus menyenangkan. Apa pun bebannya, semua PNS harus mengang gap pekerjaan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bekerja akan menyenangkan bila pertanyaan “siapa saya” sudah ditemukan jawabannya bahwa “saya adalah PNS yang bertugas melayani rakyat karena digaji dan pajak dan rakyat”, kesenangan bekerja akan muncul dan keikhlasan. Inilah yang nanti akan melahirkan produktivitas.
Ihwal produktivitas saya tak menginginkan percepatan produktivitas karena apa yang cepat meraihnya biasanya cepat juga runtuh. Semua hitungan dimulai dari angka satu, baru kemudian dua, dan seterusnya. Lalu yang paling sulit itu adalah memulai dan satu itu. Meletakkan satu itu yang paling sulit adalah momentum munculnya niat melakukan sesuatu, satu adalah momentum keikhlasan —yaitu ketika yang ada dalam hati adalah satunya niat kepada Allah saja. Setelah memiliki niat itu, maka setiap orang akan memiliki kemampuan untuk jeli menangkap momentum perubahan.
Momentum itu bagi beberapa pihak tidak datang setiap saat, namun bagi saya semua hari adalah momentum untuk perubahan. Orang cerdas dan ikhlas akan dapat menemukan momentum itu karena ia pandai membaca momentum keberuntungan, bahkan dari situasi tersulit sekalipun. Konon, dalam manajemen risiko disebutkan “pada situasi penuh risiko, disitulah ada peluang”; pada sesuatu yang ditakutkan itu terdapat kebahagiaan.
Jadi, orang yang sukses itu adalah orang yang tepat mengambil momentum. Jadi misalnya kasus nabi—nabi dan sejenisnya adalah kecepatan dalam membaca momentum. Kalau ini dipahami, peristiwa-peristiwa kenabian itu adalah kecepatan dia dalam membaca momentum. Nabi, kecepatan dalam membaca momentum itu terletak di antara keselarasan antara pikiran dengan hati. Bagaimana membangun keselarasan pikiran dengan hati? Ikhlaslah dan teruslah mengajukan ketiga pertanyaan kecerdasan di atas.
Selain merasa gembira pada saat bekerja, kecerdasan yang utuh akan membuat seseorang dapat tersenyum dengan tulus. Pemerintah dituntut oleh masyarakat memberikan pelayanan yang sangat baik. Karena itu, saya meminta kepada semuanya, kepada BKD, asisten tiga, kepala bidang kepegawaian agar nanti perlu diadakan pelatihan memberikan senyuman terindah. Saya sebagai bupati sudah melatih diri untuk tersenyum. Setiap pagi saya akan memeriksa cadangan senyum saya di cermin karena kelak akan perlu mengeluarkan senyuman ke setiap orang. Saya
mencoba untuk tetap ramah di hadapan masyarakat walaupun sebenamya banyak masalah.
Tetaplah tersenyum dalam keadaan apa pun. Walaupun di rumah ada masalah rumah tangga, atau ditagih kartu kredit, di kantor tetap harus profesional: tersenyum dalam memberikan pelayanan. Kita harus belajar menjadi seorang artis yang baik. Contohlah ada banyak selebritas yang memiliki banyak masalah, namun giliran harus menyanyi —bekerja berdasarkan prof esinya—mereka tetap tampil prima, riang, dan seperti tanpa masalah. Apalagi bila Anda seorang guru, di depan murid Anda harus tetap terlihat yang terbaik. Awas, ulah murid dijadikeun pelampiasan. Keur ngambek ka salakina, murid na di ciwit.
Senyum sangatlah mudah, namun akan menjadi ibadah tertinggi terutama bila dilakukan oleb para pegawai pamongp raja. Bayangkanlah ketika rakyat datang mengurus sesuatu, lalu sebagai PNS Anda teresenyum. Senyuman itu akan membuat rakyat merasa dihargai, spiritnya tumbuh, dan keyakinannya akan terus menguat bahwa kehidupan harus dibangun dengan produktif. Sebaliknya, ketika mereka datang ke kantor pemerintah dan menemukan jawaban ketus dart PNS, mereka akan kecewa dan tidak percaya din lagi. “Pemerintah saja tidak mengayomi mereka, apalagi yang lain,” demikian kira-kira pikiran mereka. Jadi, tersenyumlah dan berikan pelayanan yang terbaik, itu sudth membuat semua orang merasa senang dan kehidupan akan berubth menjadi baik secara perlahan-lahan.
Dibutuhkan Pegawai yang Staf
Mungkin keinginan ini berlebihan, namun saya ingin semua PNS memiliki sifat-sifat Nabi Muhammad. Nabi kita memiliki sifat-sifat utama yang membuat semua perjuangannya bisa berhasil dalam waktu yang tergolong singkat. Nabi kita memiliki sifat siddiq, artinya ia benar dan memperjuangkan kebenaran. Seluruh kehidupannya dipenuhi dengan kebenaran: berpikir benar, merasa dengan benar, bertindak dan berkata dengan benar. Standarnya adalah Al-Quran.
PNS pun harus terus-menerus mengupayakan berada dalam medan-kebenaran. Untuk itulah di setiap bidang pekerjaan terdapat tupoksi (tugas pokok dan fungsi), ada sejumlah prosedur yang menjelaskan siapa mengerjakan apa dan untuk apa. Itulah standar yang harus dipenuhi oleh PNS. Menjadi “benar” itulah yang harus dilakukan oleh semua PNS. Maka, bermain game a tau bermain kartu pada saat jam kerja tentulah tidak benar karena saya yakin ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan setiap orang. Bila memang benar tidak ada pekerjaan, buatlah aktivitas memperbaiki diri atau melatih diri untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Sifat kedua nabi adalah tabligh, mampu mengomunikasikan kebenaran dengan bahasa yang mudah dicerna sekaligus dapat menggerakkan orang lain. Pekerjaan PNS selalu berhubungan dengan orang banyak dan karenanya membutuhkan komunikasi. Ada banyak kebijakan pemerintah yang disalah pahami oleh rakyat ketika komunikasinya salah. Maka, kemampuan untuk mengomunikasikan kebijakan dan keputusan dengan baik akan menentukan tingkat ketenangan masyarakat. Komunikasi juga terkait dengan “membangkitkan” semangat dan keyakinan warga masyarakat tentang kerja produktif, kreatif, dan inovatif. Sifat tabligh berarti juga hidup dengan penuh tanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing sebagai pekerja dan sebagai umat manusia. Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memberikan respons terhadap semua peristiwa. Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memperbaiki masalah secara tanggap, tak peduli siapa pun yang menghasilkan masalahnya. Tanggung jawab berarti juga memandang din sendiri secara mulia, karena itu akan memuliakan din dengan terus-menerus menghiasi din den gan kebenaran yang benar saja.
Sifat ketiga Nabi adalah amanah, jujur atau menjaga transparansi dan akuntabilitas. Sifat ini dapat dikaitkan dengan pengelolaan keuangan itu. Amanah berarti menjaga aspek ketertiban administrasi dan output dan pengelolaan keuangan. Ketertiban administrasi merupakan hal pokok yang tidak bisa kita
tawar-tawar lagi, keuangan adalan bensin penggerak pemban gunan maka kebocoran keuangan akan menyebabkan perjalanan kabupaten ini akan mogok di tengah jalan. Karena itu, alur perjalanan keuangan harus berjalan pada koridor sistem yang baik berdasarkan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun Keputusan Menteri termasuk juga Perda dan Perbup. Bila bertentangan dengan semua standar kerja itu, sifat amanah akan mendorong semua PNS untuk menolaknya —bahkan bila itu dan saya. Landasan-landasan tersebut harus menjadi pijakan yang kuat sehingga setiap pengeluaran keuangan itu memiliki bobot strategi yang di dalamnya secara administratif formal bisa dipertanggungjawabkan.
Sifat keempat Nabi adalah fathonah, ini berarti PNS harus cerdas dalam memikirkan apa yang harus dilakukannya. Ihwal kecerdasan ini saya sudah kemukakan pada bagian atas.
Intinya, saya tidak menginginkan orang-orang yang menjadi pegawai yang membantu saya, saya ingin orang-orang yang “staf.” Karena saya meyakini bahwa pendapatan daerah — walaupun sedikit— kita dapat menjadi bahan bakar kemajuan Purwakarta bila pengelolaan keuangan dan seluruh kinerja kita
berlangsung efektif dan efisien. Maka saya bertekad untuk menata sistern administrasi yang “memaksa” semua orang menjadi staf.
Insya Allah, untuk membuat kondisi penurnbuhan jiwa STAF ini, saya terus membangun Sebuah situasi yang terbuka di lingkungan internal pemerintah daerah ini dengan tujuan satu bahwa semakin kita terbuka maka orang semakin enggan kepada kita. Semakin kita tertutup maka orang semakin penasaran terhadap apa yang kita lakukan. Jadi ini prinsip sengaja pagar ini saya bikin terbuka ternyata malah jauh lebih tertib, tidak ada lagi orang nongkrong di alun alun. Semakin dibuka itu semakin orang segan sama kita. Semakin negara transparan terhadap rakyatnya, akan semakin sulit orang itu bertanya tentang sesuatu yang kita sembunyikan. Jadi ini prinsip, dan ini harus dilakukan. Model pengelolaan pemerintahan termasuk tata arsitektur bangunan seperti in bukan hanya nanti jadi milik kantor pemkab, melainkan nanti akan berkembang pada seluruh SKPD, dan berkembang di seluruh kecamatan bahkan seluruh desa. Simbol-simbol kenegaraan, simbol-simbol keuangan, dan simbol-simbol administratif yang tertata itu bukan hanya menjadi koridor pemerintah kabupaten, melainkan harus tertata secara distributif pada seluruh jaringan kemasyarakatan.
Semua itu didorong oleh keinginan saya untuk menjadikan kabupaten ini sebagai kabupaten yang betul-betul memiliki cadangan yang cukup sehingga dapat mengembangkan Purwakarta untuk masa depan digjaya. Untuk menggapai cita-cita itu, semua penataan itu harus dipastikan terus berjalan sampai waktu yang lama karena 5 tahun saja belum cukup untuk membangun kabupaten ini menjadi unggul. Lima tahun ini adalah lima tahun pembenahan. Saya berpikir dan saya katakan kalau saya ditakdirkan oleh Allah swt. lebih dari 2 periode ke depan, sistem itu terus berjalan sehingga Purwakarta menjadi kabupaten yang efektif dan memiliki kebanggaan yang luar biasa.
Refleksi: Rasa Bangga Menjadi PNS
Saat ini, defisit anggaran Kabupaten Purwakarta mencapai 35 miliar. Artinya, kita kekurangan dana, salah satu sumbernya adalah bertambahnya belanja untuk gaji pegawai yang setiap tahunnya terus bertambah, sementara pendapatan daerah belum juga membaik. Akhirnya, pemerintah harus berhutang dulu,
mencari dana talangan. Di samping itu juga, saya melakukan sejumlah efisiensi, misalnya menurunkan anggaran biaya rumah tangga sampai 50%. Namun, itu bukan solusi. Solusi terbaik adalah melakukan efisiensi keuangan dan efektivitas dalam seluruh pekerjaan.
Informasi in sengaja diberikan agar para PNS sadar bahwa mereka digaji oleh kerja keras bupati dan aparatnya, mereka tetap digaji dengan pelbagai macam cara agar mereka terus melayani dengan tulus. Dengan demikian, PNS harus juga bekerja keras untuk memperbaiki kinerjanya.
Untuk itulah, saya berharap semua PNS ulah sakali-kali ngarasula, artinya menjelek-jelekan nasib menjadi pegawai negeri sipil, “Ah aing mah gaji ngan sakieu jadi pegawai mah!” Padahal seperti kata Mihaly pekerjaan dan apa yang dikerjakan akan menentukan kehidupan seseorang, akan membentuk jawaban atas pertanyaan, “Siapa saya?” Rasa bangga inilah yang akan membuat seseorang menjadi siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah.
#inspirasikangdedi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar