expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 20 April 2016

Bimbo - Balada Seorang Kelana



Dituduh Menduakan Tuhan, Dedi Mulyadi SH Membangkitkan Kejayaan Budaya Sunda


Sosok Dedi Mulyadi, SH tengah diperbincangkan, karena keberaniannya
mengangkat nilai-nilai tradisional dalam membangun kabupaten Purwakarta,
karena penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, juga karena
sebuah ormas menuduhnya menduakan tuhan. Pada suatu siang Femina sengaja
berkunjung ke sang Bupati yang serba bernuansa hitam putih di
Purwakarta. Berbincang di tengah kesibukannya menerima pebisnis yang
akan meresmikan pabrik di kawasan industri, rapat dengan jajaran
pemerintah daerah, dialog santai dengan seniman, dan media yang
mengantre untuk mewawancarainya.

Kearifan Lokal dan Toleransi

Patung Gatot Kaca berdiri gagah menyambut pengunjung di depan stasiun
kereta Purwakarta. Tak hanya itu, tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna,
Nakula, dan Sadewa, bertebaran di berbagai ruas jalan kota Purwakarta,
yang berjarak dua jam perjalanan dari Jakarta. Lampu jalan berhias
gambar Arjuna memanah tampak di ruas jalan utama kota yang bersih.
Ucapan selamat datang dan selamat jalan di gerbang kota pun ditulis
dalam bahasa Sunda, membuat rasa tradisional sangat terasa.


Melihat penampilan Dedi sehari-hari yang mengenakan baju tradisional
Sunda yang disebut pangsi berwarna hitam dan putih, semakin menegaskan
prinsip pembangunan yang kukuh dipegangnya. “Bangsa-bangsa yang maju
adalah bangsa yang maju dengan keyakinan akan masa lalu, seperti
Inggris, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat. Mereka maju karena
keyakinan akan masa lalu dan kepintaran untuk membaca masa depan,” ujar
pria kelahiran 11 April 1971 ini.

Ia ingin meyakinkan semua orang
bahwa memimpin dengan ideologi, dalam hal ini mengangkat kearifan
Sunda, itu tidak ketinggalan zaman, justru kekinian. Salah satu yang
menarik adalah sistem pengumpulan beras perelek, yang diusung dari
tradisi kuno masyarakat Sunda. Setiap rumah warga yang mampu diminta
mengumpulkan 1/2 gelas beras setiap hari pada sebuah alat dari bambu
yang diletakkan di depan rumah. Gerakan yang diedarkan lewat surat
edaran bupati dan disebut gerakan empati penggunaan bahan pangan ini,
sangat berguna untuk membantu warga yang kekurangan bahan pangan
sehingga menciptakan solidaritas sosial yang tinggi di antara warga.
Dari beras yang terkumpul, ada yang dibagikan ada juga yang dijual
dahulu lalu uang hasil penjualannya digunakan untuk kegiatan sosial
seperti bangun mesjid dan santunan anak yatim. Untuk pengendaliannya,
semua dicatat secara digital sehingga bisa dipantau.

“Banyak
orang yang tidak menduga dengan apa yang saya lakukan. Kalau melihat
penampilan, saya pasti dikira jadul. Tapi sistem IT pemerintah
Purwakarta relatif baik, dan sistem komunikasi sosial saya relatif
bicara, artinya, ternyata gagasan original itu masih mendapat tempat
yang kuat di masyarakat,” ujarnya.

Perpaduan antara tradisional
dan kekinian bisa dibilang terwujud sempurna dalam taman air mancur Sri
Baduga yang diresmikan awal tahun ini. Gagasan membuat taman air mancur
ini muncul di kepala Dedi saat bersantai di tepi Situ Buleud, tempat
taman Sri Baduga kini. Dalam waktu eman bulan ide ini diwujudkan oleh
perancang asli Purwakarta, Hery Sugihardi. Air mancur yang disebut-sebut
terbesar di Asia Tenggara itu, memiliki teknologi canggih hingga bisa
menari dan berubah-ubah warna mengikuti irama lagu. Saat berada di situ,
mau tidak mau pengunjung akan terpikat untuk mencari tahu tentang Sri
Baduga atau Prabu Siliwangi berwujud patung dengan empat harimau putih.
“Nama-nama taman dalam bahasa lama seperti panca warna, sri baduga, maya
datar, citra resmi, ternyata bisa diterima, sementara orang bisa selfie
sekaligus terpancing untuk mengenal sejarah,”ujar suami dari Anne Ratna
Mustika ini.

Kini ia juga sedang berusaha mengajak para penulis
untuk mengumpulkan filsafat-filsafat asli Indonesia. “Jangan hanya
ngomong Aristoteles, kita harus merumuskan filsafat dari nenek moyang
kita sendiri,”ujar pria yang selalu mengenakan ikat kepala yang ia sebut
sebagai iket monotheism, yaitu ikat yang mengarah pada satu Tuhan yang
Maha Tunggal.

Namun bukan berarti usaha bupati yang mulai
memimpin Purwakarta sejak tahun 2008 ini mulus. Ia pernah mengalami
trauma saat baru menjabat. Rumah dinasnya diserang dan dikepung oleh
orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Patung Arjuna yang ia bangun
dibakar oleh oknum karena dianggap menduakan Tuhan. Ia pun sempat
diancam dan dikecam oleh sebuah ormas. Semua itu tidak membuatnya
gentar.

“Orang Sunda itu toleran terhadap intoleransi. Orang
Sunda itu kalem, tidak mau ngotot, tidak suka ribut, apalagi sampai
menggunakan kekerasan. Dari 1,5 juta penduduk Purwakarta, paling cuma
200 yang intoleran. Sayangnya yang sedikit itu malah sangat vokal,
sehingga kesannya lebih terdengar. Masyarakat kini perlu diajarkan untuk
mengkampanyekan toleransi, minimal lewat media sosial. Saya yakin, ini
akan berhasil,” jelasnya optimis.
Ia sendiri tak habis pikir dengan
sikap intoleransi. Baginya, agama atau dalam bahasa sunda ageman, itu
adanya di dalam hati. Karena keimanan kita terhadap tuhan, hanya Tuhan
yang paham, dan karena adanya di getaran batin, sifatnya privasi,
merupakan hak individu, yang tidakk boleh diintervensi oleh orang lain.

Melihat popularitasnya saat ini, tak pelak banyak yang menduga Dedi
akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat, setelah masa
jabatannya sebagai bupati berakhir tahun 2018. “Saya dari dulu tidak
pernah berencana. Bagi saya yang penting hari ini adalah bekerja dengan
baik. Walau belum pernah mengukur diri sendiri, sedikit-sedikit saya
juga mungkin populer. Dengan itu semua, saya yakin besok saya akan
mendapat yang terbaik apapun dan di mana pun, “ ujarnya politis.

Peraturan Hasil Kontemplasi

“Orang Indonesia itu perlu diatur,” tukasnya saat ditanya soal beberapa
peraturan bupati yang ia keluarkan dan mengundang kontroversi. Saat
berkeliling kota atau berolahraga di sekitar Pemda 3 – 5 kali seminggu,
ia sering gemas melihat kondisi sosial di masyarakat, seperti orang
seenaknya saja buang sampah, anak kecil membawa motor, dan sebagainya.
Menurutnya, harus ada pemimpin yang menata peradaban masyarakat. Ia tak
takut menampakkan sosok yang terlihat galak. “Kalau benar tujuannya,
konsisten dilakukan, dan terlihat hasilnya, pemimpin yang galak juga
bisa jadi favorit, kok,” ujarnya sambil menyebut nama Pak Ahok, Gubernur
DKI Jakarta.

Salah satu yang menarik adalah peraturan tentang
desa berbudaya yang diatur dengan Peraturan Bupati Nomor 70 Tahun 2015.
Salah satu isinya mengatur soal pacaran anak-anak muda. Usia di bawah 17
tahun dan di waktu kunjung pacar dibatasi hingga pukul 21.00 malam.
Peraturan Bupati No 71 Tahun 2015 yang melarang pelajar dan anak di
bawah umur merokok serta melarang warung, toko, minimarket, serta
supermarket menjual rokok kepada pelajar dan anak di bawah umur. Aturan
ini juga melarang orangtua untuk menyuruh anaknya membelikan rokok.
Peraturan ini dikatakan sebagian pihak melanggar kebebasan masyarakat,
namun Dedi bergeming.

“Ini adalah masalah budaya. Sekarang banyak
orangtua kalah dari anak mereka dari segi pendidikan dan pengetahuan
digitalnya, sehingga sulit menasehati anaknya. Padahal anak-anak di
bawah umur merokok, berkeliaran malam, atau naik motor tanpa SIM. Kalau
orang tua tidak berdaya dan masyarakat tidak peduli siapa, apa kita mau
mengorbankan anak-anak itu? Di luar negeri aturannya sangat keras,
sementara di sini begitu longgar,” jelasnya memberi alasan membuat
peraturan itu.
Ia tak keberatan menjadi tidak populer, demi
menurunkan problem sosial yang besar. Mengacu pada ancaman pada pasangan
yang akan dikawinkan jika melanggar peraturan itu, ia mengaku punya
tujuan besar, yaitu untuk menyelamatkan wanita dari beban ekonomi dan
sosial jika sampai terjadi kehamilan di luar nikah. “Saya tidak bicara
mengekang kebebasan, tapi saya ingin menyelamatkan perempuan dari beban
ekonomi yang disebabkan karena pelanggaran sosial. Saat banyak aktivis
yang menyoroti saya, saya hanya bisa tersenyum,” ujarnya kalem.


Uniknya, ide-ide untuk merumuskan peraturan bupati itu selalu muncul
tiba-tiba saat ia melihat berbagai kejadian, seperti menemukan seorang
remaja yang tengah malam keluyuran dan kencan padahal orangtuanya sedang
menunggui adiknya yang dirawat di rumah sakit. Suatu saat ketika ia
menemukan seorang tua yang disia-siakan anaknya di rumah yang tak
terurus, Dedi mengeluarkan gerakan untuk mengangkat orangtua asuh dan
aturan pencabutan subsidi berobat bagi warga yang menelantarkan
orangtuanya.

“Kalau pemimpin lain memikirkan infrastruktur dan
bagaimana agar terpilih lagi, saya ingiin mengeluarkan aturan yang
mendidik demi kepentingan masa depan. Dengan menjadikannya peraturan
bupati, maka bupati selanjutnya punya kewajiban untuk meneruskan
kebijakan ini,” ujar pria yang sigap menanggapi akun pribadinya
@DediMuyadi71 ini.

Karakter yang luwes dalam bergaul namun kuat
memegang prinsip-prinsip adalah hasil dari didikan kedua orangtuanya
yang mantan tentara dan beralih menjadi petani, Sahlin Ahmad Suryana dan
Karsiti. Sejak kecil ia terbiasa bekerja keras membantu orantuanya dan
demi membiayai kuliah dengan menggembala itik, menjual gorengan, hingga
berdagang beras. Karena itulah ia mudah berempati dengan rakyat.


Ia juga ingin kedua anaknya Maulana Akbar Ahmad Habibie (15) dan
Yudistira Manunggaling Rahmaning Hurip (12) untuk tetap rendah hati.
“Saya selalu mengajarkan pada mereka, kalian bukan siapa-siapa dan harus
luwes bergaul dengan siapapun,”ujarnya. Ia dan Anne, juga berusaha
menularkan kecintaan pada budaya Sunda pada anak-anaknya lewat bahasa
daerah. “Mereka bisa bahasa Indonesia saat masuk SD. Kecintaan terhadap
budaya Sunda terutama wayang, kini turun kepada si bungsu. Kini Maulana
sudah menjadi dalang,” ujarnya bangga.

Nuri Fajriati
Foto: Icha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar