expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 19 April 2016

Buku Kang Dedi Mulyadi : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA
Pelajaran Pertama : "Samara Pawon Dapur Kreativitas Kehidupan"

Saya termasuk orang yang mudah memahami alam,gerak tubuh manusia, gamelan, dan gejala lainnya.
Saya pahami semuanya dari sisi spiritual. Ketika sayamemahami sesuatu dari sisi spiritual, akan muncullah suasanapenuh kekhidmatan, air mata, dan makna tertentu sampai bahkan
terhadap yang remeh sekalipun.Atas dasar pengalaman itu, seringkali saya Iebih memilih
mementingkan santapan spiritual ketimbang santapan material.pernah suatu ketika, istri saya meminta saya untuk memberimakan anak saya. Saya bilang, “Gampang makanan mah
biarkanlah anak itu merasakan kenikmatan spiritualalam ini, sehingga bisa membentuk karakter dirinya. Makan mahbisa di tunda, besok juga masih bisa. Tapi pengalaman spiritualyang terlambat akan membuat anak kehilangan dirinya sendiri”.Ketertarikan terhadap “apa yang ada di balik gejala” inilah
yang memmbuat saya sering berpikir menerobos ke luar wilayahumum, saya sangat meyakini ada sesuatu di balik sesuatu. Selalu
—5—
KANG DED1 MULYADI
hal. Kenyataan, dalam cara pandang saya, tidak pernah telanjang menceritakan dirinya, realitas adalah simbol atau seperti kereta yang membawa muatan tertentu. Mari kita membuat misal, bila kita melihat keretanya dan luar, tak ada yang menarik selain besi panj ang; pandangan indrawi membuat kita meremehkan sesuatu. Namun, cobalah untuk menunda penilaian indrawi dan mulai menerobos jauh ke dalam isi kereta itu, ada sesuatu di dalamnya.
Belajar dan Samara
Kali ini saya tersentak menemukan sebaris kalimat sederhana samara pawon atau bahasa Indonesianya bumbu dapur. Tapi samara pawon tak sama maknanya dengan bumbu dapur. Ada sesuatu yang disimpan dalam dua kata samara pawon, dan sesuatu itu melampaui deskripsi tentang sejumlah rempah yang menjadi bumbu masakah di dapur. Samara pawon lebih dari itu semua.
Kata samara merupakan gabungan dan kata sa dan mara. Kata “sa” dalam rasa bahasa Sunda mencerminkan kesatuan. “sa” itu mulanya banyak, kemudian diramu menjadi satu. Kalim at yang dihasilkan dari awalan “sa” itu adalah cermin kata yang dibangun dan berbagai nilai, contohnya: sareundeuk, saigeul, sabobot, sapthanean. Betapa indahnya bahasa Sunda.


ada maksud, tujuan atau makna tertentu dari munculnya suatu
Samara dalam tinjauan ini bisa berarti keanekaragaman yang dijadikan satu. Samara terdiri dari sejumlah buah-buahan, sayuran atau rempah-rempah yang disatukan. Mulanya terpisah pisah dengan ‘rasanya masing-masing, lalu dengan campur tangan kreativitas manusia keberbedaan itu menjadi satu dalam rasanya yang baru. Menariknya lagi adalah rasa baru itu tidak menghilangkan kekhasan dari masing-masing penyusunnya. Bayangkanlah samara dalam bentuk sambel, walaupun telah menjelma menjadi rasa baru, yakni sambel, tetap saja terasa pedasnya cabai, legitnya terasi, asinnya garam. Semuanya menyatu, namun tidak menghilang dalam kesatuan.
Ah, makna samara ini memberikan pelajaran berharga bagi saya. Sebagai bupati saya harus belajar banyak kepada pembuat samara, saya menghadapi banyak potensi, kekuatan dan
"Samara terdiri dari sejumlah buah buahan, sayuran atau rempah rempah yang disatukan. mulanya terpisah-pisah dengan rasanya
masing-masing, lalu dengan campur tangan kreativitas manusia keberbedaan itu menjadi satu dalam rasanya yang baru".
masalah yang berbeda-beda. semuanya harus saya olah, saya jadikan satu menjadi realitas baru yang memiliki rasa baru tanpa harus menghilangkan kekhasannya masing masing. Sebagai pembuat samara, saya tak diizinkan mengeluhkan pedasnya potensi cabai, saya justru harus mencarikan pasangan yang tepat bagi cabai serta menemukan fungsi yang tepat bagi cabai itu (Sebagai bumbu masakan apa? Berapa banyak yang harus disajikan?).
Tentu saja, membuat samara berbeda dengan mengatur masyarakat, Cabe hanya diam saja ketika direcah-recah dan dijadikan satu dengan unsur bumbu lainnya, sementara manusia penuh akfivitas, kreativitas, atau bahkan protes. Jadi memimpin tidaklah semudah membuat sambal. Walaupun begitu, pembuat samara mengajarkan kita satu hal, sebelum membuat bumbu kita harus tahu potensi dari masing-masing unsurnya; setelah tahu potensinya, seorang pembuat bumbu harus mampu membuat komposisi yang tepat. Kedua strategi tukang samara ini akan menghasilkan masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanyalah selembar rerumputan dari rawa.
Wah. kalau begitu, saya mau menjadi pemimpin “pembuat samara" dengan tetap mempertimbangkan dinamika kehidupan manusia dan kemanusiaan. Sayalah pemimpin “pembuat samara"
Belajar dan Pawon
Kemudian saya belajar dari kata pawon, bahasa Sunda untuk kata dapur. Para leluhur Sunda membuat arsitektur rumah yang memberi ruang lebih luas untuk dapur. Ruang dapur di samping untuk memasak, juga harus dapat mewadahi kebutuhan hidup, kebutuhan nutrisi dan gizi. Pada ruang dapur yang luas itu, orang Sunda harus menyediakan segala hal: bahan bakar, samara, bahan yang akan dimasak, beras, dan segala sesuatu yang membuat manusia dapat meneruskan kehidupan badaniahnya.
Jika ingin bertahan hidup, luaskan dapurmu lebih dari pada tepas (ruang bersantai dan menerima tamu), demikian kira-kira pesan leluhur Sunda. Pada pesan ini terdapat seruan “urusi dapurmu sendiri, maka kamu akan berbahagia!” Kenapa mesti dapur? Kenapa tidak diserukan untuk memperbaiki ruang tamu atau kamar tidur?
Di dapur ada orang yang membuat samara, begitu jawaban para leluhur. Di dapur terjadi kerja kreativitas. Mulanya terpisah pisah dan sibuk dengan fungsi (atau maknanya) sendiri-sendiri, di dapur semuanya disatukan menjadi bentuk (dan fungsi) baru yang khas. Meninggalkan dapur, berarti menafikan kreativitas. Bangsa yang kehilangan dapur adalah bangsa yang tidak menciptakan inovasi apapun, lalu menyerah sebagai bangsa yang gampang kagum dan mengadopsi hasil kreativitas bangsa lain.
Hari ini kenapa bangsa Indonesia ini, kenapa tidak mengalami kemajuan yang cepat?
Di antaranya karena semua orang melupakan dapur. Ingin makan enak, datang saja ke rumah makan. Ingin terlihat
" Para leluhur Sunda Membuat Arsitektur Rumah Yang Memberi Ruang Yang Lebih Luas Untuk Dapur, Ruang Dapur Disamping Untuk Memasak, Juga Harus Mewadahi Kebutuhan Hidup, Kebutuhan Nutrisi dan Gizi."
—8—
maju, apa saja makanan buatan luar negeri. Tidak hanya soal kuliner, bangsa ini telah melupakan dapurnya sendiri, dalam segala hal kita menjadi bangsa terus-menerus memakai dan membeli barang-barang hasil kreativItas orang lain.
Kini saya paham maksud dan pesan “urusi dapurmu sendiri,
maka kamu akan berbahagia!”. Kebahagiaan bergantung pada kreativitas,
bangsa yang kehilanan kreativitas akan bergantung bangsa lain (terjajah secara halus).
Ketika dapur dilupakan, semuanya ingin di tepas, semuanya ingin di muka, semua sibuk di televisi, ribut soal presiden, maunya duduk di depan, dan menafikan ruang kreativitas. Karena
kita tidak ada yang mau di dapur, dapur akan menjadi sumur; apabila jadi sumur, akan susah mencari makanan: kita pun kelaparan. Karena kita lupa aktivitas dapur (cara mengatur kompoposisi gizi pada nutrisi kita), muncullah penyakit busung lapar di atas bumi subur makmur.
Mari kembali ke dapur untuk berkreativitas: menciptakan samaea kehidupan.
Alam sebagai Sumber Kreativitas
Ihwal kreativitas saya teringat Tari Jaipongan, dan suatu ketika saya menangis tersedu-sedu menyaksikan Tari Jaipongan. kenapa saya menangis?
Saya menemukan tari yang kehilangan tariannya, lagu yang dilupakan nadanya. Tari tak sekadar gerakan lenggak-lenggok, ada pesan di dalamnya. Salah satu pesan yang sering saya tangkap adalah harmoni antara manusia dan alam. Tapi harmoni itu sudah tidak ada, jadilah tari yang kehilangan tariannya.
Sebenarnya orang Sunda, kalau bisa mengurus alamnya, ia tidak akan mengalami kesengsaraan seperti sekarang ini. Alam Padjadjaran ini dapat diibaratkan seperti bidadari cantik yang turun dari kahyangan. Gadis yang cantik seharusnya dengan senyumannya saja bisa menghasilkan uang, dengan berjalan saja bisa jadi model, pintar berdiplomasi saja bisa menjadi politisi
—9—
handal. Cantik itu sumber kebahagiaan, terutama bila dilengkapi dengan integritas, intelektual, moral dan spiritual.
Sayangnya, bidadari cantik itu diperkosa, diambil batunya sedemikian rupa, dikeruk potensinya tanpa dipelihara. Alam ini seperti sudah dilacurkan. Saat wanita cantik itu melacurkan diri, mahalnya itu cuma akan bertahan sesaat. Mulanya bisa jadi menghasilkan uang puluhan juta, lama-kelamaan —apalagi kalau sudah penyakitan—tidak berharga apa-apa, menjadi sampah.
Sebelum seluruh alam menjadi sampah yang menimbulkan penyakit bagi kehidupan manusia, ada baiknya kita kembali mencintai alam. Sebab, tanpa alam kegiatan dapur kreativitas tidak akan berlangsung. Pembuatan samara sangat bergantung pada sumbangan dan keanekaragaman hayati, pada alam. Alam yang rusak, akan menghasilkan samara yang rusak. Semuanya berujung pada satu kesimpulan: menurunnya kualitas kehidupan.
Ihwal dapur, samara, dan alam Sunda, saya memiliki keprihatinan yang mendalam ketika sejumlah anak muda berebut sauce pada saat bersantap Baso. Kenapa mereka lebih menyukai sauce —sambal luar—yang tanpa rasa selain pedas itu? Bukankah ada banyak sambal hasil dapur tradisional yang memiliki rasa bermacam-macam kelezatan? Mungkin, fenomena itu remeh bagi yang lain. Bagi saya, fenomena itu sudah cukup menggambarkan kelupaan kita pada alam.
Refleksi: Mengobati Penyakit Lupa
Lupa bukan masalah sepele. Bila lupa jarum, tinggal beli di warung. Namun bila lupa pada ibu dan kita jatuh cinta lalu berhasrat mengawininya, merupakan malapetaka. Inilah yang dikemukakan dalam kisah Sangkuriang yang mencintai ibunya dengan hasrat syahwat. Akhimya adalah kreativitas yang sia-sia.
Saya sangat mencintai ibu saya karena ibu telah mengajar— kan cinta pada saya. Demi cinta itulah saya melakukan banyak hal, saya terus-menerus membuat prestasi. Bagi saya, prestasi itu adalah monumen cinta saya pada ibu. Saya mencintai ibu, tetapi tidak seperti cinta Sangkuriang yang merusak dan penuh kemarahan.
Saya mencintai ibu seperti Guruminda, yang bersiap menjadi monyet
sekalipun asalkan menuruti perintah ibu untuk membantu yang terlintas (Purbasari).
kita mungkin lupa pada cinta ibu sehingga ingatan akan dapur kegiatan membuat sambal terlupakan. Ketika dapur dilupakan. saat itu kita akan terlempar pada ketidakkreatifan yang parah —seperti yang terjadi saat ini. Saya khawatir, kita dibuat lupa pada cinta suci kita pada ibu kandung
dan ibu pertiwi. Maka perbaharuilah cinta pada ibu agar kreativitas kita semakin melambung tinggi.
Tradisi Sunda adalah tradisi yang mengajarkan cinta pada ibu sebagai prasyarat cinta lainnya. Tradisi Sunda seperti hendak menyatakan cintailah ibumu, barulah dari sana muncul cinta cinta baru pada makhluk dan kehidupan ini.
Tanpa cinta yang mulia terhadap ibu, apa pun perasaan kita tidak bisa disebut cinta, barabgkali hanya syahwat belaka yang akan menghasilkan petaka seperti Resi Wisrawa yang meIahirkan Rahwana.
Saya pikir semua orang terinspirasi oleh ibunya, jadi tesis saya tak begitu salah bahwa ibulah sumber kreativitas kita. Sayangnya kita telah dibuat lupa oleh percepatan kemajuan atau oleh cantiknya pacar/istri kita, sampai ibu dibiarkan terlantar. Maka kembalilah pada cinta ibu, seperti rasulullah telah berseru, “Ibumu... ibumu.... ibumu....!”
‪#‎inspirasikangdedi‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar