expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 21 Juni 2017

Buku Kang Dedi Mulyadi : CING CARINGCING PAGEUH KANCING SET SARINGSEUT PAGEUH IKET




Bab :Telaah Penerapan Bahasa Cing caringcing pageuh jancing set saringset pageuh iket
31. Peribahasa CCPKSSPI dan Politik

Ilustrasi sejarah
Setelah tentara Jepang menguasai Pulau Jawa, dalam rangka menanamkan kekuasaannya, Panglima Tentara Ke-1 mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1942. Undang undang itu merupakan induk peraturan tentang tata negara vaitu mengatur berbagai hal, antara lain:
Pasal 1: Bala tentara Nippon melangsungkan pemerintahan ini sementara di daerah yang telah diduduki agar mendatangkan.k eamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2: Pembesar bala tentara Nippon memegang kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubemur jenderal.
Pasal 3: Semua badan pemerintah, kekuasaan hukum, dan undang undang dan pemenintah yang dahulu tetap diakui untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan pemerintah militer.
Pasal 4: Bahwa bala tentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia kepada Jepang.
Berdasarkan undang-undang itu, di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan militer Jepang. Pemerintahan tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan pemerintahan di daerah dinamakan Gunseibu (setara dengan provinsi pada masa Hindia Belanda). Di Jawa Barat, pemerintahan gunseibu berpusat di Kota Bandung, dipimpin oleh Kolonel Matsui —komandan pasukan yang merebut Bandung dan kekuasaan Belanda— selaku gunseiku (gubernur). Ia dibantu oleh seorang wakil (orang Indonesia) yaitu R. T. Pandu Suriadiningrat dan Atik Suardi sebagai pembantu wakil gunseiku. Hal itu berarti Karawang merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan pemerintahan gunseihu. Secara tidak langsung, Kabupaten Karawang berada di bawah kekuasaan Kolonel Matsui. Untuk kepentingan pemerintahan, penguasa Jepang di Indonesia terlebih dahulu melakukan tindakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Seperti ditegaskan dalam Undang-Undang No. 1 Pasal 3, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dan pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah selama tidak bertentangan dengan aturan pemenintah militer Jepang.
Dalam upaya membentuk pemerintahan daerah, pemerintah militer Jepang kekurangan tenaga staf karena kapal yang membawa pegawai-pegawai sipil Jepang yang sudah dipersiapkan, tenggelam di laut akibat serangan torpedo armada Sekutu. Oleh karena itu, terpaksa orang Indonesia diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan penting yang semula dipegang oleh orang Belanda, seperti residen, wali kota, kepala polisi, kepala jawatan, dan lain-lain. Jabatan bupati ke bawah pun tetap dipegang oleh orang Indonesia. Pada masa penduduk Jepang, Kabupaten Karawang dipimpin oleh Bupati R.T. Pandu Suriadiningrat.
Selain karena kekurangan tenaga staf, pernakaian orang orang Indonesia dalam pemerintahan Jepang juga mengandung tujuan politik, yaitu untuk mempercepat tertanamnya kekuasaan Jepang di kalangan masyarakat. Apabila semua jabatan dalam lembaga pemerintahan, terutama lembaga yang sering berhubungan langsung dengan rakyat dipegang oleh orang Jepang, tentu akan menimbulkan kesulitan. Peiabat-pejabat Jepang akan sulit berkomunjkasj dengan rakyat, dan mereka belum banyak mcngetahuj situasi dan kondisi daerah kekuasaannya.
Pemerintah militer Jepang segera mengeluarkan Undang-. Undang No. 2 (8 Maret 1942) tentang larangan bagi orang Indonesia melakukan kegiatan berkumpul dan rapat. Kemudian disusul oleh Undang-Undang No. 3(20 Maret 1942) yang melarang segala macam perbincangan, pergerakan dan anjuran atau propaganda mengenai aturan dan susunan organisasi negara. Pelanggaran terhadap aturan dalam undang-undang tersehut diancam dengan hukuman berat. Undang-undang itu menunjukkan bahwa sejak awal kekuasaaii.nya pemerintahan militer Jepang sudab mengekang kehidupan sosiai dan politik bangsa Indonesia dengan tindakan tegas. Hal itu berarti bangsa Indonesia tetap sebagai bangsa terjajah. Bahwa Jepang memang bermaksud menjajah bangsa Indonesia ditunjukkan lagi oleh Undang-Undang No. 4 tentang larangan mengibarkan bendera Merah-Putih dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Bendera yang boleh dikibarkan hanya bendera Jepang, Hinomaru. Lagu kebangsaan yang boleh dirtyanyikan hanya “Kimigayo”. Tanggal 1 April 1942 keluar lagi peraturan tentang pemberlakuan waktu Jepang. Mulai tanggal 24 April 1942 tarikh yang dipakai adalah tarikh Surnera dengan angka tahun 2602. Sejakitu, bangsa Indonesia tiap tahun wajib merayakan Tencosetsu, yaitu hari kelahiran Kaisar Jepang Hirohito.
Bertepatan dengan perayaan Tencosetsu, tanggal 29 April 1942 (2602) pemerintah militer Jepang membentuk organisasi umum berdasarkan konsepsi Hakko iciu (kekeluargaan bersama) dengan nama Gerakan Tiga A. Tujuan organisasi itu adalah untuk mempersatukan bangsa-hangsa Asia yang pro-Jepang, dengan mengakui “Nippon cahaya Asia”, “Nippon pelindung Asia”, dan
“Nippon pemimpin Asia”. Tujuan khususnya adalah untuk menyalurkan, menggunakan, dan mengontrol segala kegiatan rakyat Indonesia, terutama golongan pemuda.
Gerakan Tiga A dipimpin oleh H. Simitzu dan Mr. E. Syamsudin mantan ketua organisasi pemuda, Parindra. Ternyata, Gerakan Tiga A tidak berumur panjang karena Mr. E. Syamsudin tidak mendapat kepercayaan dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia. Hal itu menyadarkan pemerintah rniliter Jepang bahwa kegiatan politik bangsa Indonesia sulit dibendung. Surat kabar Sipafaizoenan (Sipatah u nan) memberita kan bahwa organisasi Pasundan di Purwakarta tetap melakukan kegiatan.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah militer Jepang membenahi bidang pemerintahan. Agustus 1942 keluar Undang Undang No. 27 dan 28 yang mengakhiri eksistensi gunseibu. Menurut Undang-Undang No. 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura terdiri atas gunsyirL’ikan yang membawahi syucokan (residen) dan dua kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi syico (wali kota) dan kenco (bupati). Secara hierarki pejabat di bawah kenco adalah gunco (wedana), sonco (camat), dan kuco (kepala desa). Dengan kata lain, wilayah administrafif Pulau Jawa dan Madura, kecuali daerah kesultanan (koti) dibagi atas syu (keresidenan), syi (geneenfe zaman Belanda), ken (kabupaten), gun (kewedanan), son (kecamatan), dan ku (desa).
Jabatan kenco ke bawah dipegang oleh orang Indonesia. Jabatan asisten residen dan controleur serta status afdeling dihapuskan. Hai tersehut mengandung arti bahwa sistem pemerintahan, khususnya pemerintahan kabupaten, pada dasamya tidak berubah, kecuali sebutannya dalam istilah Jepang. Waktu itu, Karawang SyilKen termasuk kedalam wilayah Jakarta Sij’u.72) Dengan demikian, status Purwakarta pun tetap sebagai ibu kota Karawang Ken, sekaligus sebagal gun (kewedanan/distrik). Purwakarta Gun terdini atas tiga son, yaitu Purwakarta Son mencakup 30 ku, Plered Son mencakup 21 ku, dan Wanayasa Son mencakup 17 kit. Karawang Ken diperintah oleh Kezzco R.A.A. Suriamiharja, kemudian diganti oleh R.T. Pandu Suriadiningrat (1942—1945).
Karena keinginan Jepang untuk menyalurkan, menggunakan, dan mengontrol kegiatan rakyat Indonesia melalui Gerakan Tiga A mengalami kegagalan, pemerintah militer Jepang kemudian membentuk organisasi-organisasi yang diharapkan dapat menarik simpati rakyat. Tanggal I Maret 1943 (2603) berdiri Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin oleh “Enipat Serangkai”, Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Ternyata, eksistensi Putera tidak berlangsung lama. Organisasi itu terpaksa dibubarkan setelah pemerintah militer Jepang mengetahui kegiatan organisasi itu besifat gerakan nasional.
Sementara itu, kekuatan pasukan Jepang di medan perang makin Iemah. Hal itu terutama terjadi setelah armada Jepang dihancurkan oleh pihak Sekutu di Laut Karang (7 Mei 1942). Kondisi itu mendorong pemerintah militer Jepang di Indonesia melakukan berbagai cara menarik simpati rakyat agar mereka mau membantu pihak Jepang melalui organisasi bentukan Jepang, khususnya organisasi pemuda.
Tanggal 29 April 1943 (2603) dibentuk organisasi serbaguna, yaitu Seinendan. Tidak lama kemudian dibentuk pula Keibodan, yaitu barisan pemuda semi militer untuk membantu tugas-tugas kepolisian. Keibodan dibentuk di setiap wilayah administratif. Di tingkat desa, kepala desa/kampung secara otomatis menjadi pemimpin/komandan Keibodan daerah setempat. Dengan demikian, di Kecamatan Purwakarta dan desa desa di lingkungan kecamatan itu terdapat barisan pemuda dalam kesatuan Keibodan. Pemerintah militer Jepang juga membentuk barisan pemuda yang dilatih secara muliter, yaitu Heiho. Barisan ini merupakan bagian dan pasukan tentara Jepang, bahkan dimasukkan ke dalam kesatuan perang. Untuk menarik simpati rakyat Indonesia —yang mayoritas beragama Islam— terhadap Jepang, tanggal 13 Juli 1943 (2603) MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) —yang pernah berdiri pada awal pendudukan Jepang— dihidupkan kembali. Tidak lama kemudian, organisasi itu diubah menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Barisan pemuda yang benar-benar dilatih secara militer adalah Peta (Pembela Tanah Air) karena barisan ini dimaksudkan untuk membantu secara langsung pasukan Jepang di medan perang. Pembentukan barisan ini didasarkan atas usul beberapa tokoh pergerakan nasional dengan tokoh utama R. Gatot Mangkupraja. Pembentukan Peta diresmikan tanggal 3 Oktober 1943 (2603).
Walaupun latihan anggota Peta sangat berat, bahkan berlaku disiplin mati yang pantang dilanggar, para pemuda berjiwa militan berhondong-bondong memasuki organisasi Peta. Alasan atau pertimbangannya adalah agar mereka menjadi pemuda yang tabah dan tangguh, serta keterampilan militer akan sangat berguna bagi perjuangan mencapai kemerdekaan yang telah lama dicita-citakan.
Dalam pembentukan Peta di daerah Karawang, pelatihan anggota Peta tidak hanya dilakukan di kota Karawang, tetapi berlangsung pula di Purwakarta dan Cikampek. Sebagai pengganti Putera, tanggal 1 Maret 1944 (2604) dibentuk Jawa Hookookai (Gerakan kebaktian rakyat Jawa kepada pemerintah Jepang), dipimpin oleh “Empat Serangkai” dengan orang-orang yang sama. Pemerintah militer Jepang menegaskan bahwa Jawa Hookookai berada di bawah institusi pcmerintah. Oleb karena itu, cabang organisasi tersebut wajib dibentuk di setiap keresidenan, kabupaten, kotapraja, kewedanan, kecamatan, dan desa. Hal itu berarti di setiap wilayah administratif di lingkungan Kabupaten Karawang pun, termasuk di Kecamatan Purwakarta, berdiri Cabang Jawa Hookookai. Pembentukan Cahang Jawa Hookookal di Kabupaten Karawang diawali oleh rapat di pendopo kabupaten (di Kota Purwakarta). Rapat dihadiri oleh sejumlah pangrehpraja dan tokoh masyarakat. Rapat pembentukan organisasi itu juga berlangsung di setiap kewedanaan. Melalui organisasi itu, tanggal 25 September 1944 (2604) pemerintah 1-linomaru militer Jepang membentuk barisan sukarela khusus yang disebut Barisan Pelopor, kemudian disusul oleh pembentukan barisaji sukarela Islam, yaitu Barisan Hishullah. Barisan-harisan lain yang dibentuk adalah Kagu total (barisan pelajar sekolah menengah), Fujinkai (Barisan Wanita), dan lain-lain.
Barisan-barisan itu pun diberi latihan militer secara sederhana. Pemerintah militer Jepang juga membentuk barisan belakang untuk mendukung pasukan di garis depan. Pada awal tahun 1944 dibentuk organisasi sosial baru yang diorganisasi oleh pemerintah desa. Organisasi dimaksud adalah Tonarigumi (identik dengan RT/rukun tetangga sekarang). Karena Purwakarta diduduki oleh tentara Jepang, Tonariguini dibentuk di setiap desa di wilayah kewedanan/kecamatan Purwakarta.
Setiap Tonariçumi rata-rata terdiri atas 25 keluarga, dipimpin oleh seorang ketua dengan sebutan Kumico yang dipilih oleh warga masyarakat setempat. Dalam menjalankan tugasnya, Kumico dibantu oleh seorang sekretaris, seorang bend ahara, tiga orang ketua seksi dan beberapa orang penasihat. Seksi dimaksud adalah Seksi Keamanari,, Seksi Kewanitaan, dan Seksi Kesehatan. Selain Tonariguni! dihentuk pula organisasi yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu Azajokai (rukun kampung) dipimpin oleh Azaco (kepala kampung). Azajokai dibentuk di setiap kota kahupaten, tentu termasuk di Kota Purwakarta. Di setiap desa dihentuk rukun somah terdiri atas 5—20 somah (keluarga). Himpunan ketua-ketua rukun somah disebut rukun desa.
Pembentukan lembaga-lembaga tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah militer Jepang untuk menguasai rakyat. Pembentukan Tonariguini selain mengandung tujuan politik, yakni pengerahan rakyat sebagai barisan belakang, secara teori memiliki maksud yang bersifat sosial, yaitu untuk:
a) Mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
b) Memperkokoh dan memperbesar persaudaraan.
c) Meningkatkan semangat gotong-royong.
Dalam kenyataannya, ketiga maksud ini sesungguhnya diarahkan untuk mendukung kepentingan militer Jepang. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh tugas utama Tonarigu nil, yakni membantu pemerintah militer Jepang dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban. Sehubungan dengan hal itu, pengurus dan anggota Tonarigumi wajib mengikuti latihan menghadapi
bahaya udara dan kebakaran, pertolongan kecelakaan, melaksanakan ronda malam, dan lain-lain.
Seminggu sekali (tiap han Senin), barisan pemuda dan anak-anak sekolah harus mengikuti apel bendera. Mereka berbaris menghadap ke arah timur dan menundukkan kepala (untuk menghormat Tenno-Heika). Hal itu merupakan bagian dan upaya pemerintah militer Jepang dalam program “Japanisasi” (“menjepangkan”) rakyat Indonesia.
Sementara itu, pemerintah militer Jepang juga membentuk barisan pekerja yang disebut romusa. Semula barisan itu hanya dimaksudkan sebagai pekerja kasar atau kuli. Setelah kedudukan Jepang semakin terancam oleh pasukan Sekutu, pekerjaan romusa makin berat dan bersifat paksaan, sehingga barisan itu menjadi “prajurit pekerja paksa”. Tonarigumi digunakan oleh pemerintah militer Jepang untuk menjaring tenaga rakyat bagi kegiatan romusa (kerja paksa) membuat benteng pertahanan, jalan, dan pekerjaan berat lainnya. Banyak tenaga romusa dan Subang dikirim ke luar negeri, antara lain ke Burma. Akibatnya, di Subang timbul perlawanan rakyat terhadap Jepang.
Catatan
Politik dibangun atas dasar keberagaman kepentingan, kemampuan, kesiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan hasil yang mengacu pada tujuan Ia berpolitik. Politik terjadi karena hubungan sosial yang merupakan bentuk pergaulan antar sesama.
Politik mendasari hubungan antar individu, bangsa, dan negara. Maka, hubungan politik yang dilakukan semata-mata untuk mencari keselamatan dan berusaha saling menjaga antar individu dalam sebuah pergaulan. Pergaulan yang baik akan melahirkan politik yang baik, dan pergaulan yang kurang baik akan melahirkan politik yang kurang baik.
Berdasarkan hal tersebut, peribahasa CCPKSSPI menunjukkan sebentuk kebijakan dan keadilan semata-mata untuk memahami siapa lawan siapa kawan, dan mempersiapkan pemecahan yang kemudian terjadi akibat hubungan antar kawan tersebut.
#kdmj1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar