Bab :Telaah Penerapan Bahasa Cing caringcing pageuh jancing set saringset pageuh iket
31. Peribahasa CCPKSSPI dan Politik
Ilustrasi sejarah
Setelah tentara Jepang menguasai Pulau Jawa, dalam rangka menanamkan
kekuasaannya, Panglima Tentara Ke-1 mengeluarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1942. Undang undang itu merupakan induk peraturan tentang tata
negara vaitu mengatur berbagai hal, antara lain:
Pasal 1: Bala
tentara Nippon melangsungkan pemerintahan ini sementara di daerah yang
telah diduduki agar mendatangkan.k eamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2: Pembesar bala tentara Nippon memegang kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubemur jenderal.
Pasal 3: Semua badan pemerintah, kekuasaan hukum, dan undang undang dan
pemenintah yang dahulu tetap diakui untuk sementara waktu, asal tidak
bertentangan dengan pemerintah militer.
Pasal 4: Bahwa bala tentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia kepada Jepang.
Berdasarkan undang-undang itu, di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan
militer Jepang. Pemerintahan tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan
pemerintahan di daerah dinamakan Gunseibu (setara dengan provinsi pada
masa Hindia Belanda). Di Jawa Barat, pemerintahan gunseibu berpusat di
Kota Bandung, dipimpin oleh Kolonel Matsui —komandan pasukan yang
merebut Bandung dan kekuasaan Belanda— selaku gunseiku (gubernur). Ia
dibantu oleh seorang wakil (orang Indonesia) yaitu R. T. Pandu
Suriadiningrat dan Atik Suardi sebagai pembantu wakil gunseiku. Hal itu
berarti Karawang merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan
pemerintahan gunseihu. Secara tidak langsung, Kabupaten Karawang berada
di bawah kekuasaan Kolonel Matsui. Untuk kepentingan pemerintahan,
penguasa Jepang di Indonesia terlebih dahulu melakukan tindakan
pemulihan keamanan dan ketertiban. Seperti ditegaskan dalam
Undang-Undang No. 1 Pasal 3, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dan pemerintah Hindia Belanda untuk sementara
waktu tetap diakui sah selama tidak bertentangan dengan aturan
pemenintah militer Jepang.
Dalam upaya membentuk pemerintahan
daerah, pemerintah militer Jepang kekurangan tenaga staf karena kapal
yang membawa pegawai-pegawai sipil Jepang yang sudah dipersiapkan,
tenggelam di laut akibat serangan torpedo armada Sekutu. Oleh karena
itu, terpaksa orang Indonesia diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan
penting yang semula dipegang oleh orang Belanda, seperti residen, wali
kota, kepala polisi, kepala jawatan, dan lain-lain. Jabatan bupati ke
bawah pun tetap dipegang oleh orang Indonesia. Pada masa penduduk
Jepang, Kabupaten Karawang dipimpin oleh Bupati R.T. Pandu
Suriadiningrat.
Selain karena kekurangan tenaga staf, pernakaian
orang orang Indonesia dalam pemerintahan Jepang juga mengandung tujuan
politik, yaitu untuk mempercepat tertanamnya kekuasaan Jepang di
kalangan masyarakat. Apabila semua jabatan dalam lembaga pemerintahan,
terutama lembaga yang sering berhubungan langsung dengan rakyat dipegang
oleh orang Jepang, tentu akan menimbulkan kesulitan. Peiabat-pejabat
Jepang akan sulit berkomunjkasj dengan rakyat, dan mereka belum banyak
mcngetahuj situasi dan kondisi daerah kekuasaannya.
Pemerintah
militer Jepang segera mengeluarkan Undang-. Undang No. 2 (8 Maret 1942)
tentang larangan bagi orang Indonesia melakukan kegiatan berkumpul dan
rapat. Kemudian disusul oleh Undang-Undang No. 3(20 Maret 1942) yang
melarang segala macam perbincangan, pergerakan dan anjuran atau
propaganda mengenai aturan dan susunan organisasi negara. Pelanggaran
terhadap aturan dalam undang-undang tersehut diancam dengan hukuman
berat. Undang-undang itu menunjukkan bahwa sejak awal kekuasaaii.nya
pemerintahan militer Jepang sudab mengekang kehidupan sosiai dan politik
bangsa Indonesia dengan tindakan tegas. Hal itu berarti bangsa
Indonesia tetap sebagai bangsa terjajah. Bahwa Jepang memang bermaksud
menjajah bangsa Indonesia ditunjukkan lagi oleh Undang-Undang No. 4
tentang larangan mengibarkan bendera Merah-Putih dan menyanyikan lagu
“Indonesia Raya”. Bendera yang boleh dikibarkan hanya bendera Jepang,
Hinomaru. Lagu kebangsaan yang boleh dirtyanyikan hanya “Kimigayo”.
Tanggal 1 April 1942 keluar lagi peraturan tentang pemberlakuan waktu
Jepang. Mulai tanggal 24 April 1942 tarikh yang dipakai adalah tarikh
Surnera dengan angka tahun 2602. Sejakitu, bangsa Indonesia tiap tahun
wajib merayakan Tencosetsu, yaitu hari kelahiran Kaisar Jepang Hirohito.
Bertepatan dengan perayaan Tencosetsu, tanggal 29 April 1942
(2602) pemerintah militer Jepang membentuk organisasi umum berdasarkan
konsepsi Hakko iciu (kekeluargaan bersama) dengan nama Gerakan Tiga A.
Tujuan organisasi itu adalah untuk mempersatukan bangsa-hangsa Asia yang
pro-Jepang, dengan mengakui “Nippon cahaya Asia”, “Nippon pelindung
Asia”, dan
“Nippon pemimpin Asia”. Tujuan khususnya adalah untuk
menyalurkan, menggunakan, dan mengontrol segala kegiatan rakyat
Indonesia, terutama golongan pemuda.
Gerakan Tiga A dipimpin oleh
H. Simitzu dan Mr. E. Syamsudin mantan ketua organisasi pemuda,
Parindra. Ternyata, Gerakan Tiga A tidak berumur panjang karena Mr. E.
Syamsudin tidak mendapat kepercayaan dan tokoh-tokoh masyarakat
Indonesia. Hal itu menyadarkan pemerintah rniliter Jepang bahwa kegiatan
politik bangsa Indonesia sulit dibendung. Surat kabar Sipafaizoenan
(Sipatah u nan) memberita kan bahwa organisasi Pasundan di Purwakarta
tetap melakukan kegiatan.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah
militer Jepang membenahi bidang pemerintahan. Agustus 1942 keluar Undang
Undang No. 27 dan 28 yang mengakhiri eksistensi gunseibu. Menurut
Undang-Undang No. 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura
terdiri atas gunsyirL’ikan yang membawahi syucokan (residen) dan dua
kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi syico (wali kota)
dan kenco (bupati). Secara hierarki pejabat di bawah kenco adalah gunco
(wedana), sonco (camat), dan kuco (kepala desa). Dengan kata lain,
wilayah administrafif Pulau Jawa dan Madura, kecuali daerah kesultanan
(koti) dibagi atas syu (keresidenan), syi (geneenfe zaman Belanda), ken
(kabupaten), gun (kewedanan), son (kecamatan), dan ku (desa).
Jabatan kenco ke bawah dipegang oleh orang Indonesia. Jabatan asisten
residen dan controleur serta status afdeling dihapuskan. Hai tersehut
mengandung arti bahwa sistem pemerintahan, khususnya pemerintahan
kabupaten, pada dasamya tidak berubah, kecuali sebutannya dalam istilah
Jepang. Waktu itu, Karawang SyilKen termasuk kedalam wilayah Jakarta
Sij’u.72) Dengan demikian, status Purwakarta pun tetap sebagai ibu kota
Karawang Ken, sekaligus sebagal gun (kewedanan/distrik). Purwakarta Gun
terdini atas tiga son, yaitu Purwakarta Son mencakup 30 ku, Plered Son
mencakup 21 ku, dan Wanayasa Son mencakup 17 kit. Karawang Ken
diperintah oleh Kezzco R.A.A. Suriamiharja, kemudian diganti oleh R.T.
Pandu Suriadiningrat (1942—1945).
Karena keinginan Jepang untuk
menyalurkan, menggunakan, dan mengontrol kegiatan rakyat Indonesia
melalui Gerakan Tiga A mengalami kegagalan, pemerintah militer Jepang
kemudian membentuk organisasi-organisasi yang diharapkan dapat menarik
simpati rakyat. Tanggal I Maret 1943 (2603) berdiri Putera (Pusat Tenaga
Rakyat) dipimpin oleh “Enipat Serangkai”, Soekarno, Moh. Hatta, Ki
Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Ternyata, eksistensi Putera tidak
berlangsung lama. Organisasi itu terpaksa dibubarkan setelah pemerintah
militer Jepang mengetahui kegiatan organisasi itu besifat gerakan
nasional.
Sementara itu, kekuatan pasukan Jepang di medan perang
makin Iemah. Hal itu terutama terjadi setelah armada Jepang dihancurkan
oleh pihak Sekutu di Laut Karang (7 Mei 1942). Kondisi itu mendorong
pemerintah militer Jepang di Indonesia melakukan berbagai cara menarik
simpati rakyat agar mereka mau membantu pihak Jepang melalui organisasi
bentukan Jepang, khususnya organisasi pemuda.
Tanggal 29 April 1943
(2603) dibentuk organisasi serbaguna, yaitu Seinendan. Tidak lama
kemudian dibentuk pula Keibodan, yaitu barisan pemuda semi militer untuk
membantu tugas-tugas kepolisian. Keibodan dibentuk di setiap wilayah
administratif. Di tingkat desa, kepala desa/kampung secara otomatis
menjadi pemimpin/komandan Keibodan daerah setempat. Dengan demikian, di
Kecamatan Purwakarta dan desa desa di lingkungan kecamatan itu terdapat
barisan pemuda dalam kesatuan Keibodan. Pemerintah militer Jepang juga
membentuk barisan pemuda yang dilatih secara muliter, yaitu Heiho.
Barisan ini merupakan bagian dan pasukan tentara Jepang, bahkan
dimasukkan ke dalam kesatuan perang. Untuk menarik simpati rakyat
Indonesia —yang mayoritas beragama Islam— terhadap Jepang, tanggal 13
Juli 1943 (2603) MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) —yang pernah berdiri
pada awal pendudukan Jepang— dihidupkan kembali. Tidak lama kemudian,
organisasi itu diubah menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia).
Barisan pemuda yang benar-benar dilatih secara militer
adalah Peta (Pembela Tanah Air) karena barisan ini dimaksudkan untuk
membantu secara langsung pasukan Jepang di medan perang. Pembentukan
barisan ini didasarkan atas usul beberapa tokoh pergerakan nasional
dengan tokoh utama R. Gatot Mangkupraja. Pembentukan Peta diresmikan
tanggal 3 Oktober 1943 (2603).
Walaupun latihan anggota Peta sangat
berat, bahkan berlaku disiplin mati yang pantang dilanggar, para pemuda
berjiwa militan berhondong-bondong memasuki organisasi Peta. Alasan
atau pertimbangannya adalah agar mereka menjadi pemuda yang tabah dan
tangguh, serta keterampilan militer akan sangat berguna bagi perjuangan
mencapai kemerdekaan yang telah lama dicita-citakan.
Dalam
pembentukan Peta di daerah Karawang, pelatihan anggota Peta tidak hanya
dilakukan di kota Karawang, tetapi berlangsung pula di Purwakarta dan
Cikampek. Sebagai pengganti Putera, tanggal 1 Maret 1944 (2604) dibentuk
Jawa Hookookai (Gerakan kebaktian rakyat Jawa kepada pemerintah
Jepang), dipimpin oleh “Empat Serangkai” dengan orang-orang yang sama.
Pemerintah militer Jepang menegaskan bahwa Jawa Hookookai berada di
bawah institusi pcmerintah. Oleb karena itu, cabang organisasi tersebut
wajib dibentuk di setiap keresidenan, kabupaten, kotapraja, kewedanan,
kecamatan, dan desa. Hal itu berarti di setiap wilayah administratif di
lingkungan Kabupaten Karawang pun, termasuk di Kecamatan Purwakarta,
berdiri Cabang Jawa Hookookai. Pembentukan Cahang Jawa Hookookal di
Kabupaten Karawang diawali oleh rapat di pendopo kabupaten (di Kota
Purwakarta). Rapat dihadiri oleh sejumlah pangrehpraja dan tokoh
masyarakat. Rapat pembentukan organisasi itu juga berlangsung di setiap
kewedanaan. Melalui organisasi itu, tanggal 25 September 1944 (2604)
pemerintah 1-linomaru militer Jepang membentuk barisan sukarela khusus
yang disebut Barisan Pelopor, kemudian disusul oleh pembentukan barisaji
sukarela Islam, yaitu Barisan Hishullah. Barisan-harisan lain yang
dibentuk adalah Kagu total (barisan pelajar sekolah menengah), Fujinkai
(Barisan Wanita), dan lain-lain.
Barisan-barisan itu pun diberi
latihan militer secara sederhana. Pemerintah militer Jepang juga
membentuk barisan belakang untuk mendukung pasukan di garis depan. Pada
awal tahun 1944 dibentuk organisasi sosial baru yang diorganisasi oleh
pemerintah desa. Organisasi dimaksud adalah Tonarigumi (identik dengan
RT/rukun tetangga sekarang). Karena Purwakarta diduduki oleh tentara
Jepang, Tonariguini dibentuk di setiap desa di wilayah
kewedanan/kecamatan Purwakarta.
Setiap Tonariçumi rata-rata terdiri
atas 25 keluarga, dipimpin oleh seorang ketua dengan sebutan Kumico
yang dipilih oleh warga masyarakat setempat. Dalam menjalankan tugasnya,
Kumico dibantu oleh seorang sekretaris, seorang bend ahara, tiga orang
ketua seksi dan beberapa orang penasihat. Seksi dimaksud adalah Seksi
Keamanari,, Seksi Kewanitaan, dan Seksi Kesehatan. Selain Tonariguni!
dihentuk pula organisasi yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu Azajokai
(rukun kampung) dipimpin oleh Azaco (kepala kampung). Azajokai dibentuk
di setiap kota kahupaten, tentu termasuk di Kota Purwakarta. Di setiap
desa dihentuk rukun somah terdiri atas 5—20 somah (keluarga). Himpunan
ketua-ketua rukun somah disebut rukun desa.
Pembentukan
lembaga-lembaga tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana bagi
pemerintah militer Jepang untuk menguasai rakyat. Pembentukan
Tonariguini selain mengandung tujuan politik, yakni pengerahan rakyat
sebagai barisan belakang, secara teori memiliki maksud yang bersifat
sosial, yaitu untuk:
a) Mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
b) Memperkokoh dan memperbesar persaudaraan.
c) Meningkatkan semangat gotong-royong.
Dalam kenyataannya, ketiga maksud ini sesungguhnya diarahkan untuk
mendukung kepentingan militer Jepang. Hal itu antara lain ditunjukkan
oleh tugas utama Tonarigu nil, yakni membantu pemerintah militer Jepang
dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban. Sehubungan dengan hal
itu, pengurus dan anggota Tonarigumi wajib mengikuti latihan menghadapi
bahaya udara dan kebakaran, pertolongan kecelakaan, melaksanakan ronda malam, dan lain-lain.
Seminggu sekali (tiap han Senin), barisan pemuda dan anak-anak sekolah
harus mengikuti apel bendera. Mereka berbaris menghadap ke arah timur
dan menundukkan kepala (untuk menghormat Tenno-Heika). Hal itu merupakan
bagian dan upaya pemerintah militer Jepang dalam program “Japanisasi”
(“menjepangkan”) rakyat Indonesia.
Sementara itu, pemerintah
militer Jepang juga membentuk barisan pekerja yang disebut romusa.
Semula barisan itu hanya dimaksudkan sebagai pekerja kasar atau kuli.
Setelah kedudukan Jepang semakin terancam oleh pasukan Sekutu, pekerjaan
romusa makin berat dan bersifat paksaan, sehingga barisan itu menjadi
“prajurit pekerja paksa”. Tonarigumi digunakan oleh pemerintah militer
Jepang untuk menjaring tenaga rakyat bagi kegiatan romusa (kerja paksa)
membuat benteng pertahanan, jalan, dan pekerjaan berat lainnya. Banyak
tenaga romusa dan Subang dikirim ke luar negeri, antara lain ke Burma.
Akibatnya, di Subang timbul perlawanan rakyat terhadap Jepang.
Catatan
Politik dibangun atas dasar keberagaman kepentingan, kemampuan,
kesiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan hasil yang mengacu pada tujuan
Ia berpolitik. Politik terjadi karena hubungan sosial yang merupakan
bentuk pergaulan antar sesama.
Politik mendasari hubungan antar
individu, bangsa, dan negara. Maka, hubungan politik yang dilakukan
semata-mata untuk mencari keselamatan dan berusaha saling menjaga antar
individu dalam sebuah pergaulan. Pergaulan yang baik akan melahirkan
politik yang baik, dan pergaulan yang kurang baik akan melahirkan
politik yang kurang baik.
Berdasarkan hal tersebut, peribahasa
CCPKSSPI menunjukkan sebentuk kebijakan dan keadilan semata-mata untuk
memahami siapa lawan siapa kawan, dan mempersiapkan pemecahan yang
kemudian terjadi akibat hubungan antar kawan tersebut.
#kdmj1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar