expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 28 Juni 2017

Buku Kang Dedi Mulyadi :CING CARINGCING PAGEUH KANCING SET SARINGSEUT PAGEUH IKET Bab : Telaah Penerapan Bahasa CCPKSSPI 32. Peribahasa CCPKSSPI dan Kolonial Jepang




32. Peribahasa CCPKSSPI dan Kolonial Jepang
ilustrasi sejarah
Seperti telah dikemukakan, data yang menunjukkan situasi dan kondisi Purwakarta pada masa pendudukan Jepang, belum banyak ditemukan. Namun, kondisi sosial ekonomi di Purwakarta waktu itu secara garis besar tercakup dalam gambaran umum tentang kondisi Jawa Barat pada waktu yang sama.
Setelah tentara Jepang menduduki Indonesia, ternyata propaganda mereka, antara lain bahwa Jepang akan memberi “kemakmuran bersama di Asia Timur Raya”, hanyalah propaganda kosong. Sejak awal pendudukannya, pemerintah militer Jepang sudah mengekang bangsa Indonesia dalam kehidupan sosial, apalagi dalam kegiatan politik. Hal itu menunjukkan bahwa Jepang menduduki Indonesia bukan semata mata untuk membantu bangsa Indonesia lepas dan penjajahan Belanda, melainkan untuk mendapatkan berbagai potensi, yaitu tenaga manusia dan berbagai jenis material yang diperlukan dalam upaya memenangi Perang Asia Timur Raya. Oleh karena itu, bersamaan dengan tindakan menjaring tenaga manusia, pemeriritah militer Jepang di Jawa Barat melakukan tindakan tindakan untuk mengeruk hasil-hasil pertanian dan harta benda rakyat. Sandang sulit diperoleh dan rakyat kekurangan pangan. Pemerasan tenaga rakyat dijalankankan sangat intensif.
Sejalan dengan penyusunan aparat pemerintah dan pemulihan keamanan, pemerintah militer Jepang mengambil alih semua kegiatan dan pengawasan ekonomi. Untuk kepentingan tersebut dilakukan rehabilitasi prasarana perekoriomian, antara lain jalan, jembatan, dan sarana komunikasi. Dikeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol kegiatan ekonomi. Untuk mencegab timbulnya manipulasi secara setempat, dikeluarkan peraturan pengendalian harga disertai hukuman berat bagi pelanggarnya Harta peninggalan kolonial Belanda, terutama perkebunan, pabrik, bank dan perusahaan vital, disita menjadi milik pemerintah militer Jepang. Khusus untuk urusan perkebunan, dikeluarkan
Undang-Undang No. 22 tahun 1942. Undang-undang itu menegaskan bahwa perkebunan kopi, karet, teh, dan kina, berada di hawah pengawasan gunseikan. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh sebuah badan pengawas bernama Saibai Kiggo Kanrikoda,, (SKK). Sampai dengan tahun 1944, SKK juga berperan sehagai pemegang monopoli penjualan hasil perkebunan. Besar kemungkinan perkebunan-perkehunan di daerah Pamanukan, Ciasem, dan Purwakarta pun disita menjadi milik pemerintah militer Jepang karena Purwakarta sebagai ibu kota Kahupaten Karawang diduduki oleh tentara Jepang.
Dalam hidang pertanian, petani diwajibkan untuk meningkatkan produksi tanaman, terutama padi. Hal itu tentu terjadi pula di Karawang sebagai daerah produsen utama padi di Jawa Barat. Pada musim panen, tiga perempat padi hasil panen harus dijual kepada pemerintah dengan harga sangat rendah, bahkan ada kalanya hampir semua padi hasil jerih payah petani diambil langsung dan sawab oleh pihak Jepang. Pengumpulan dan penjualan padi diawasi secara ketat dengan melibatkan Pangrehpraja, Tonarigumi, dan Se’ineiidan daerah setempat. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa petani hanya memiliki kewajiban menggarap sawah, tetapi tidak memiliki hak untuk menikmati hasilnya. Memang, rakyat pernah mendapat beras pembagian dan pemerintah sebanyak 2 kilogram dua kali dalam seminggu. Akan tetapi, jatah itu jelas jauh dan mencukupi kebutuhan pangan. Oleh karena itu, banyak rakyat yang makanan utamanya hasil palawija, antara lain singkong, bahkan badogol cau (bagian dan batang pisang) terpaksa diolah menjadi makanan. Akibat kekurangan bahan pangan, banyak rakyat yang kekurangan gizi. Kelaparari terjadi di berbagai daerah. Kondisi itu diperparah lagi oleh timbulnya wabah penyakit, antara lain penyakit pes. Akibat dari semua itu, banyak rakyat yang meninggal.
Sementara itu, kain dan pakaian seolah-olah lenyap dan pasaran. Kalaupun ada, bahan sandang itu dijual secara semhunyi semhunyi dengan harga sangat mahal. Oleh karena itu, sejumlah
rakyat terpaksa menggunakan karung sebagai pakaian, bahkan ada pula yang menggunan lembaran karet sebagai pengganti kain. Untuk membantu penduduk yang tidak memiliki pakaian yang lumrah, Fujitzkai (Barisan Wanita) mengadakan “Gerakan Pekan Pengumpulan Pakaian Bekas”.
Untuk mengurangi penderitaan rakyat dalam segi ekonomi, beberapa organisasi pergerakan yang berperan sebagal lembaga sosial, antara lain Paguyuban Pasundan, mendirikan badan usaha atau koperasi sebagai penyalur barang-barang kebutuhan rakyat. Pada pertengahan tahun 1942 hingga tahun 1943 gerakan koperasi terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat, sehingga terbentuk
Gabungan Pusat Koperasi Indonesia (Gapki). Gerakan koperasi itu mendapat perhatian besar dan Moh. Hatta. Dalam perayaan Gapki di Kota Bandung, ia menyerukan agar koperasi hendaknya berusaha meringankan beban rakyat. Seruan itu mendapat sambutan baik dan masyarakat Jawa Barat sehingga badan usaha koperasi berdiri hampir di setiap kota di Jawa Barat, termasuk di Purwakarta dan Karawang.
Perkembangan koperasi di kalangan rakyat meresahkan pemerintah militer Jepang. OIeh karena itu, pemerintah militer Jepang membuat tandingan. Sejalan dengan politik swasembada pangan, pada awal tahun 1943 pemerintah militer Jepang membentuk badan usaha yaitu Komisi Perusahaan Tekstil dan Koperasi Hasil Bumi di Kota Bandung sebagai pusat Jawa Barat. Dalam waktu singkat, cabang Koperasi Hasil Bumi dibentuk di setiap ibu kota kabupaten. Cabang koperasi itu bertugas mengurus penjualan dan pengiriman hasil-hasil bumi.
Untuk mendorong para petani di tiap daerah memperbanyak hasil humi, pemerintah militer Jepang mengadakan kompetisi jumlah hasil bumi antar daerah. Di Iingkungan Keresidenan Jakarta, daerah yang mendapat pujian adalah Kabupaten Karawang, Kewedanaan Purwakarta, Kecamatan Wanayasa, dan Desa Bojong yang dipimpin oleh Nata Wikarya sebagai kepala desa. Upaya itu disusul oleh pembentukan Jakarta Syu Seiinagyoo Kutniai (Gabungan Perusahaan perusahaan
Penggilingan Padi di Keresidenan Jakarta), termasuk perusahaan penggilingan padi di Karawang dan Cikampek.
Upaya-upaya tersebut bukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, melainkan lebih dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah militer Jepang.
Memasuki tahun 1944, kekuatan militer Jepang di medan perang semakin lemah, terdesak oleh pasukan Sekutu. Sementara itu, pemerintah militer Jepang di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia umumnya, mengalami kesulitan bahan logistik, antara lain minyak tanah. Untuk mengatasi kesulitan itu, mulai bulan Maret 1944, rakyat di beberapa daerah Jawa Barat —mungkin termasuk rakyat di Purwakarta— termasuk para pelajar, dikerahkan untuk menanam pohon jarak dan kaliki. Buah tanaman itu diperlukan untuk membuat minyak lampu, pengganti minyak tanah dan minyak sereh.
Selain menyengsarakan rakyat, pemerintah militerJepang juga tidak menghormati kegiatan agama. Misalnya, ketika rakyat melaksanakan penanaman jarak dan kaliki, tentara Jepang yang mengawasi kegiatan itu tidak mengizinkan rakyat untuk melaksanakan ibadat, baik kepada orang Islam maupun kepada orang Kristen. Perayaan Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal pun dilarang karena perayaan itu dianggap mengurangi waktu kerja. Tindakan Jepang itu jelas makin menyakiti hati rakyat. Dengan demikian, di bawah kekuasaan Jepang,, rakyat menderita lahir-batin. Akan tetapi, dalam waktu-waktu tertentu, pendentaan rakyat sedikit terobati oleh penyelenggaraan hiburan. Hal itu dimungkinkan oleh kesadaran tokoh-tokoh bidang kesenian untuk membentuk lembaga-lembaga kesenian. Di Bandung misalnya, berdiri lembaga kesenian dengan nama Puseur Kabinangkitan Priangan. Dalam waktu-waktu tertentu dipertunjukkan kesenian kesenangan rakyat, antara lain wayang golek dan sandiwara.
Untuk menarik simpati masyarakat, pemerintah militer Jepang di Jawa Barat melalui pemerintah Keresidenan Priangan, membentuk lembaga bernama Priangansyucho Kurabu. Pemimpin umum lembaga itu adalah orang Jepang bernama Y. Aneha.
Lembaga tersebut bukan hanya melakukan kegiatan kesenian, melainkan juga kegiatan pengetahuan dan olah raga. Perlu dikemukakan dalam bidang olah raga, Purwakarta memiliki cabang olah raga yang cukup menonjol, yaitu sepak bola. Waktu itu, di Purwakarta terdapat persatuan sepak bola bernama Persipo dengan para pemain berkualitas Ketika bertanding melawan kesebejasan JOP Bandung, Persipo memang telak dengan skor 5-1. Oleb karena itu, Persipo merupan kebanggaan masyarakat Purwakarta
Catatan :
Anggapan kolonial yang dicantumkan pada tulisan di atas tidak hanya disebut satu negara dengan tujuan sebagai ilustrasi terhadap hangsa asing yang berusa merongrong dan mengeruk kekayaan bangsa dan negara.
Kolonia memiliki tujuan untuk mengambil, memanfaatkan kekayaan bukan untuk pribumi, melainkan untuk kesejahteraan negaranya Oleh karena itu, peribahasa CCPKSSpI menunjukkan bahwa ketika individu memiliki kesiapan mental, ía akan hati-hati dalam melakukan hubungan sosial dan hubungan antarnegara la harus hati-hati karena kepastian niat seseorang hanya ada pada orang yang bersangkutan Kewaspadaan akan menghasilkan persiapan mental untuk memelihara mencintai dan rnelestarikan baik budaya, alam, dan bangsanya itu sendiri.
#kdmj1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar