32. Peribahasa CCPKSSPI dan Kolonial Jepang
ilustrasi sejarah
Seperti telah dikemukakan, data yang menunjukkan situasi dan kondisi
Purwakarta pada masa pendudukan Jepang, belum banyak ditemukan. Namun,
kondisi sosial ekonomi di Purwakarta waktu itu secara garis besar
tercakup dalam gambaran umum tentang kondisi Jawa Barat pada waktu yang
sama.
Setelah tentara Jepang menduduki Indonesia, ternyata
propaganda mereka, antara lain bahwa Jepang akan memberi “kemakmuran
bersama di Asia Timur Raya”, hanyalah propaganda kosong. Sejak awal
pendudukannya, pemerintah militer Jepang sudah mengekang bangsa
Indonesia dalam kehidupan sosial, apalagi dalam kegiatan politik. Hal
itu menunjukkan bahwa Jepang menduduki Indonesia bukan semata mata untuk
membantu bangsa Indonesia lepas dan penjajahan Belanda, melainkan untuk
mendapatkan berbagai potensi, yaitu tenaga manusia dan berbagai jenis
material yang diperlukan dalam upaya memenangi Perang Asia Timur Raya.
Oleh karena itu, bersamaan dengan tindakan menjaring tenaga manusia,
pemeriritah militer Jepang di Jawa Barat melakukan tindakan tindakan
untuk mengeruk hasil-hasil pertanian dan harta benda rakyat. Sandang
sulit diperoleh dan rakyat kekurangan pangan. Pemerasan tenaga rakyat
dijalankankan sangat intensif.
Sejalan dengan penyusunan aparat
pemerintah dan pemulihan keamanan, pemerintah militer Jepang mengambil
alih semua kegiatan dan pengawasan ekonomi. Untuk kepentingan tersebut
dilakukan rehabilitasi prasarana perekoriomian, antara lain jalan,
jembatan, dan sarana komunikasi. Dikeluarkan berbagai peraturan untuk
mengontrol kegiatan ekonomi. Untuk mencegab timbulnya manipulasi secara
setempat, dikeluarkan peraturan pengendalian harga disertai hukuman
berat bagi pelanggarnya Harta peninggalan kolonial Belanda, terutama
perkebunan, pabrik, bank dan perusahaan vital, disita menjadi milik
pemerintah militer Jepang. Khusus untuk urusan perkebunan, dikeluarkan
Undang-Undang No. 22 tahun 1942. Undang-undang itu menegaskan bahwa
perkebunan kopi, karet, teh, dan kina, berada di hawah pengawasan
gunseikan. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh sebuah badan pengawas
bernama Saibai Kiggo Kanrikoda,, (SKK). Sampai dengan tahun 1944, SKK
juga berperan sehagai pemegang monopoli penjualan hasil perkebunan.
Besar kemungkinan perkebunan-perkehunan di daerah Pamanukan, Ciasem, dan
Purwakarta pun disita menjadi milik pemerintah militer Jepang karena
Purwakarta sebagai ibu kota Kahupaten Karawang diduduki oleh tentara
Jepang.
Dalam hidang pertanian, petani diwajibkan untuk
meningkatkan produksi tanaman, terutama padi. Hal itu tentu terjadi pula
di Karawang sebagai daerah produsen utama padi di Jawa Barat. Pada
musim panen, tiga perempat padi hasil panen harus dijual kepada
pemerintah dengan harga sangat rendah, bahkan ada kalanya hampir semua
padi hasil jerih payah petani diambil langsung dan sawab oleh pihak
Jepang. Pengumpulan dan penjualan padi diawasi secara ketat dengan
melibatkan Pangrehpraja, Tonarigumi, dan Se’ineiidan daerah setempat.
Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa petani hanya memiliki
kewajiban menggarap sawah, tetapi tidak memiliki hak untuk menikmati
hasilnya. Memang, rakyat pernah mendapat beras pembagian dan pemerintah
sebanyak 2 kilogram dua kali dalam seminggu. Akan tetapi, jatah itu
jelas jauh dan mencukupi kebutuhan pangan. Oleh karena itu, banyak
rakyat yang makanan utamanya hasil palawija, antara lain singkong,
bahkan badogol cau (bagian dan batang pisang) terpaksa diolah menjadi
makanan. Akibat kekurangan bahan pangan, banyak rakyat yang kekurangan
gizi. Kelaparari terjadi di berbagai daerah. Kondisi itu diperparah lagi
oleh timbulnya wabah penyakit, antara lain penyakit pes. Akibat dari
semua itu, banyak rakyat yang meninggal.
Sementara itu, kain dan
pakaian seolah-olah lenyap dan pasaran. Kalaupun ada, bahan sandang itu
dijual secara semhunyi semhunyi dengan harga sangat mahal. Oleh karena
itu, sejumlah
rakyat terpaksa menggunakan karung sebagai pakaian,
bahkan ada pula yang menggunan lembaran karet sebagai pengganti kain.
Untuk membantu penduduk yang tidak memiliki pakaian yang lumrah,
Fujitzkai (Barisan Wanita) mengadakan “Gerakan Pekan Pengumpulan Pakaian
Bekas”.
Untuk mengurangi penderitaan rakyat dalam segi ekonomi,
beberapa organisasi pergerakan yang berperan sebagal lembaga sosial,
antara lain Paguyuban Pasundan, mendirikan badan usaha atau koperasi
sebagai penyalur barang-barang kebutuhan rakyat. Pada pertengahan tahun
1942 hingga tahun 1943 gerakan koperasi terjadi di beberapa daerah di
Jawa Barat, sehingga terbentuk
Gabungan Pusat Koperasi Indonesia
(Gapki). Gerakan koperasi itu mendapat perhatian besar dan Moh. Hatta.
Dalam perayaan Gapki di Kota Bandung, ia menyerukan agar koperasi
hendaknya berusaha meringankan beban rakyat. Seruan itu mendapat
sambutan baik dan masyarakat Jawa Barat sehingga badan usaha koperasi
berdiri hampir di setiap kota di Jawa Barat, termasuk di Purwakarta dan
Karawang.
Perkembangan koperasi di kalangan rakyat meresahkan
pemerintah militer Jepang. OIeh karena itu, pemerintah militer Jepang
membuat tandingan. Sejalan dengan politik swasembada pangan, pada awal
tahun 1943 pemerintah militer Jepang membentuk badan usaha yaitu Komisi
Perusahaan Tekstil dan Koperasi Hasil Bumi di Kota Bandung sebagai pusat
Jawa Barat. Dalam waktu singkat, cabang Koperasi Hasil Bumi dibentuk di
setiap ibu kota kabupaten. Cabang koperasi itu bertugas mengurus
penjualan dan pengiriman hasil-hasil bumi.
Untuk mendorong para
petani di tiap daerah memperbanyak hasil humi, pemerintah militer Jepang
mengadakan kompetisi jumlah hasil bumi antar daerah. Di Iingkungan
Keresidenan Jakarta, daerah yang mendapat pujian adalah Kabupaten
Karawang, Kewedanaan Purwakarta, Kecamatan Wanayasa, dan Desa Bojong
yang dipimpin oleh Nata Wikarya sebagai kepala desa. Upaya itu disusul
oleh pembentukan Jakarta Syu Seiinagyoo Kutniai (Gabungan Perusahaan
perusahaan
Penggilingan Padi di Keresidenan Jakarta), termasuk perusahaan penggilingan padi di Karawang dan Cikampek.
Upaya-upaya tersebut bukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat,
melainkan lebih dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah militer Jepang.
Memasuki tahun 1944, kekuatan militer Jepang di medan perang
semakin lemah, terdesak oleh pasukan Sekutu. Sementara itu, pemerintah
militer Jepang di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia umumnya,
mengalami kesulitan bahan logistik, antara lain minyak tanah. Untuk
mengatasi kesulitan itu, mulai bulan Maret 1944, rakyat di beberapa
daerah Jawa Barat —mungkin termasuk rakyat di Purwakarta— termasuk para
pelajar, dikerahkan untuk menanam pohon jarak dan kaliki. Buah tanaman
itu diperlukan untuk membuat minyak lampu, pengganti minyak tanah dan
minyak sereh.
Selain menyengsarakan rakyat, pemerintah
militerJepang juga tidak menghormati kegiatan agama. Misalnya, ketika
rakyat melaksanakan penanaman jarak dan kaliki, tentara Jepang yang
mengawasi kegiatan itu tidak mengizinkan rakyat untuk melaksanakan
ibadat, baik kepada orang Islam maupun kepada orang Kristen. Perayaan
Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal pun dilarang karena perayaan itu
dianggap mengurangi waktu kerja. Tindakan Jepang itu jelas makin
menyakiti hati rakyat. Dengan demikian, di bawah kekuasaan Jepang,,
rakyat menderita lahir-batin. Akan tetapi, dalam waktu-waktu tertentu,
pendentaan rakyat sedikit terobati oleh penyelenggaraan hiburan. Hal itu
dimungkinkan oleh kesadaran tokoh-tokoh bidang kesenian untuk membentuk
lembaga-lembaga kesenian. Di Bandung misalnya, berdiri lembaga kesenian
dengan nama Puseur Kabinangkitan Priangan. Dalam waktu-waktu tertentu
dipertunjukkan kesenian kesenangan rakyat, antara lain wayang golek dan
sandiwara.
Untuk menarik simpati masyarakat, pemerintah militer
Jepang di Jawa Barat melalui pemerintah Keresidenan Priangan, membentuk
lembaga bernama Priangansyucho Kurabu. Pemimpin umum lembaga itu adalah
orang Jepang bernama Y. Aneha.
Lembaga tersebut bukan hanya
melakukan kegiatan kesenian, melainkan juga kegiatan pengetahuan dan
olah raga. Perlu dikemukakan dalam bidang olah raga, Purwakarta memiliki
cabang olah raga yang cukup menonjol, yaitu sepak bola. Waktu itu, di
Purwakarta terdapat persatuan sepak bola bernama Persipo dengan para
pemain berkualitas Ketika bertanding melawan kesebejasan JOP Bandung,
Persipo memang telak dengan skor 5-1. Oleb karena itu, Persipo merupan
kebanggaan masyarakat Purwakarta
Catatan :
Anggapan kolonial
yang dicantumkan pada tulisan di atas tidak hanya disebut satu negara
dengan tujuan sebagai ilustrasi terhadap hangsa asing yang berusa
merongrong dan mengeruk kekayaan bangsa dan negara.
Kolonia
memiliki tujuan untuk mengambil, memanfaatkan kekayaan bukan untuk
pribumi, melainkan untuk kesejahteraan negaranya Oleh karena itu,
peribahasa CCPKSSpI menunjukkan bahwa ketika individu memiliki kesiapan
mental, ía akan hati-hati dalam melakukan hubungan sosial dan hubungan
antarnegara la harus hati-hati karena kepastian niat seseorang hanya ada
pada orang yang bersangkutan Kewaspadaan akan menghasilkan persiapan
mental untuk memelihara mencintai dan rnelestarikan baik budaya, alam,
dan bangsanya itu sendiri.
#kdmj1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar