expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 03 September 2016

Epologi : (Buku : MENGAYUH NEGERI DENGAN CINTA) "MELAYANI ATAS NAMA ALLAH"

Ada 99 nama indah yang digunakan oleh Tuhan untuk mencipta, memelihara dan mengembangkan semesta. Tinggal satu nama yang tidak diajarkan kepada mereka, yang harus kita temukan sendiri lewat pengabdian sepanjang hidup. Itulah sebutir mata tasbih yang terlepas dan untaiannya. Itulah ism al-a’zham, atau nama Tuhan yang keseratus, yang bila Allah dipanggil dengan nama tersebut, segala hajat akan ditunaikan.
Nama yang keseratus itu bukanlah sebuah objek di luar diri kita, melainkan subjek pencari itu sendiri.
Asma al-Husna yang berjumlah 99 itu adalah sifat-sifat manajerial Tuhan, sifat-sifat pengelolaan terhadap alam semesta. Asma Allah yang 99 ini ditawarkan kepada setiap individu sebab setiap individu dalam kondisi tertentu memiliki kebutuhan tertentu pula. Misalnya seseorang dalam keadaan membutuhkan rezeki dia berkepentingan dengan sifat Allah A1-Razzaq; seseorang dalam kehidupannya tidak adil, membutuhkan sifat Allah Al-Adl; orang lemah berkepentingan dengan Ya Qawiyyu (Yang mahaperkasa).
Apa yang dikehendaki manusia, Al-Quran jalan keluarnya:
panggillah Allah, tetapi dengan menyebut nama-nama Allah yang kontekstual dengan kebutuhannya. “Qul ud’u!laha awid’ur rahmaana ayyaam maa tad’uu falahul asmaul husna (Katakanlah, “serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru karena Dia mempunyai nama nama yang terbaik (Asma al-Husna)... (Al-Isra: 110).
Ada satu catatan penting ketika kita menyebut salah satu nama Asma al-Husna, yaitu kita tidak boleh menganggap bahwa nama yang kita sebut itu berdiri sendiri. Nama itu hanya salah satu dan sifat-sifat Allah. Misalnya, ada orang yang ingin keluar dan kehidupan penuh kekerasan dan menyeru Ya Lathif, nama ini hanyalah sifat yang menerangkan bahwa Allah Mahalembut, maka setelah nama ini disebutlah nama Ya Allah, kemudian kemukakan keinginan kita: perlakukan aku dengan lembut. Dengan cara ini kita tidak terjebak bahwa sifat Tuhan adalah 99.
99 Nama Tuhan dan Realisasi Din
Asma al-Husna di samping sebagai sandaran doa dan jalan keluar bagi orang beriman, juga menjadi acuan bagi setiap mukmin dalam menggarap dirinya sehingga nama-nama itu tertanam dalam diri dan mendorong kita ikut berperan mengurus alam semesta.
Kita seharusnya menggunakan 99 nama Allah untuk menemukan nama Allah yang ke-100. Kenapa kita harus menemukan nama Allah yang ke-100? Karena Allah telah mengenalkan 99 nama terindah-Nya, dan jumlah ini (99) adalah angka yang tidak selesai, nyaris selesai, yang meminta penyempurnaan. Inilah kewajiban setiap orang untuk mendapatkan melalui pengabdian kepada Allah.
Sebelum membicarakan makna 99 nama yang belum selesai, marilah kita bicarakan kehidupan ini. Kehidupan kita juga kehidupan yang belum selesai. Memang kita hidup di dunia yang “tampak” sudah selesai, semuanya sudah ada dan tinggal menikmatinya saja. Namun, bila kita hanya menikmatinya saja, itu artinya kita tidak berperan. Padahal, pada diri manusia ada potensi, ada keinginan untuk diakui oleh masyarakatnya, salah satunya dengan cara menunjukkan peran khasnya di tengah masyarakat.
Sebelum seseorang menunjukkan perannya, ia tidak akan memiliki pengakuan eksistensi dan lingkungannya. Saat itu, akan muncul kegelisahan karena hati ini menyimpan duka, tuntutan untuk muncul, kesangsian akan kemampuan diri, pokoknya kita tidak tenteram sebelum ikut serta berperan. Agar bisa eksis, kita harus menemukan peran dirinya menyelesaikan estafet sejarah kehidupan dengan cara berkarya di bidang yang dia kuasai.
99 nama Tuhan pun demikian, ini adalah nama yang mengundang kita untuk menyelesaikannya. Dunia ini belum sempurna, orang berimanlah yang harus menyempurnakannya. Kasih dan kuasa Allah pastilah sempurna, yaitu melalui bukti tersebarlah kasih sayang Allah itu ke semua makhluk. Kasih sayang itu di antaranya muncul melalui diri orang beriman.
Caranya adalah dengan mendorong diri menjadi saksi.
Menjadi Saksi bahwa Tuhan itu Ada
Seorang mukmin adalah orang yang telah bersedia menjadi saksi bahwa Allah itu ada. Seorang mukmin telah menegaskan kepada dirinya “saya bersedia menjadi saksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Tapi bukan saksi kata-kata. Saksi itu harus terbukti, buktinya adalah menunjukkan bahwa kita benar-benar hanya mengabdi kepada-Nya dalam seluruh aspek kehidupan; buktinya adalah memikul tanggung jawab, mengungkapkan nilai-nilai yang bisa dinikmati pihak lain.
Maka jangan sampai kita mendengar ada orang sakit, akhirnya mati sebelum terobati; ada orang lapar akhirnya harus mencuri, ada orang teraniaya mati sebelum tentolong. Kita berdosa. Sebab setiap orang yang sedang menderita, sakit, lapar, atau teraniaya pasti dia berharap, berdoa dan jika harapannya tidak terkabul saat itu biasanya dia akan berprasangka sangka,
“Tuhan ini ada apa nggak sih? Saya merintih, tapi Dia tidak mengutus hamba-hamba-Nya untuk menyelamatkan saya? Tuhan ini gimana sih, saya sudah menyebut nama-Nya berulang kali, tapi Dia tak menjawab. Apakah doa-doa yang tidak didengarkan-Nya, atau memang Tuhan itu tuli atau tidak ada.”
Bila kita telah benar bersyahadat, saat mendengar pender itaan orang lain hendaklah mengulurkan bantuan, memberikan solusi, merealisasikan harapan, dan doa-doanya. Dengan cara ini, kita telah dipakai Tuhan sebagai saksi bahwa Tuhan itu ada. Nah, saat kita melakukan sesuatu (menampilkan sifat/sikap) yang membuat orang semakin meyakini Tuhan itu ada, saat itulah kita telah menampilkan nama Tuhan yang ke-100.
ini ada sebuah kisah menarik.
“Guru, semaLam saya bermimpi berjumpa dengan Khidir. Beliau memberikan kepada saya nama baru Abdillah. Apa maksudnya guru, sedangkan saya seorang perempuan?”
“Bagaimana kamu bisa bermimpi sehebat itu? Apakah kamu telah mengamalkan sesuatu?”
“Saya cuma mengamalkan wirid yang guru ajarkan. Saya tidak banyak membaca wirid”
“0h bukan itu, wirid yang diucapkan hanyalah cara kita menggarap diri. Maksud saya, apakah kamu telah beramal (baik) kepada seseorang?”
Sejenak sang murid mengingat-ingat sesuatu, lalu bercerita:
“KaLau hal itu yang guru maksudkan, memang benar. Baru saja saya meminjamkan sejumlah uang kepada sesama teman dari Indonesia yang terancam akan terusir dan apartemennya karena masa kontraknya telah habis. Sebenarnya saya sendiri butuh uang itu. Suami saya sakit. Tapi entah mengapa saya tidak sampai hati menahan uang itu dan saya serahkan uang itu kepadanya. Meskipun sebenarnya, dia telah beberapa kati meminjam uang dan tak pernah mengembalikannya. Bahkan tak hanya itu, dia sering memfitnah saya. Namun begitulah, ketika dia butuh bantuan saya lagi, saya pun tidak tega melihatnya. Dalam hati saya waktu itu berharap: kali ini dia bisa mengembalikan uang saya, tetapi kalaupun kali ini dia juga tidak kuat membayar, saya pun mengikhlaskannya.”
Gurunya menjawab, “Hmm.... Abdillah artinya orang yang mengabdi kepada ALLah. Kau telah meLakukannya, muridku!”
Discover your basics goodness and radiates it to all sentient beings”, menemukan kebaikan dasar masing-masing, kemudian menularkannya kepada semua makhluk lainnya. Inilah tugas utama seorang manusia sejati. Semakin memasuki relung terdalam dirinya, manusia sejati akan semakin memancarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya, kepada alam raya.
Mari mengayuh negeri ini dengan cinta!
#inspirasikangdedi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar