Ada 99 nama indah yang digunakan oleh Tuhan untuk mencipta, memelihara
dan mengembangkan semesta. Tinggal satu nama yang tidak diajarkan kepada
mereka, yang harus kita temukan sendiri lewat pengabdian sepanjang
hidup. Itulah sebutir mata tasbih yang terlepas dan untaiannya. Itulah
ism al-a’zham, atau nama Tuhan yang keseratus, yang bila Allah dipanggil
dengan nama tersebut, segala hajat akan ditunaikan.
Nama yang keseratus itu bukanlah sebuah objek di luar diri kita, melainkan subjek pencari itu sendiri.
Asma al-Husna yang berjumlah 99 itu adalah sifat-sifat manajerial
Tuhan, sifat-sifat pengelolaan terhadap alam semesta. Asma Allah yang 99
ini ditawarkan kepada setiap individu sebab setiap individu dalam
kondisi tertentu memiliki kebutuhan tertentu pula. Misalnya seseorang
dalam keadaan membutuhkan rezeki dia berkepentingan dengan sifat Allah
A1-Razzaq; seseorang dalam kehidupannya tidak adil, membutuhkan sifat
Allah Al-Adl; orang lemah berkepentingan dengan Ya Qawiyyu (Yang
mahaperkasa).
Apa yang dikehendaki manusia, Al-Quran jalan keluarnya:
panggillah Allah, tetapi dengan menyebut nama-nama Allah yang
kontekstual dengan kebutuhannya. “Qul ud’u!laha awid’ur rahmaana ayyaam
maa tad’uu falahul asmaul husna (Katakanlah, “serulah Allah atau serulah
Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru karena Dia
mempunyai nama nama yang terbaik (Asma al-Husna)... (Al-Isra: 110).
Ada satu catatan penting ketika kita menyebut salah satu nama Asma
al-Husna, yaitu kita tidak boleh menganggap bahwa nama yang kita sebut
itu berdiri sendiri. Nama itu hanya salah satu dan sifat-sifat Allah.
Misalnya, ada orang yang ingin keluar dan kehidupan penuh kekerasan dan
menyeru Ya Lathif, nama ini hanyalah sifat yang menerangkan bahwa Allah
Mahalembut, maka setelah nama ini disebutlah nama Ya Allah, kemudian
kemukakan keinginan kita: perlakukan aku dengan lembut. Dengan cara ini
kita tidak terjebak bahwa sifat Tuhan adalah 99.
99 Nama Tuhan dan Realisasi Din
Asma al-Husna di samping sebagai sandaran doa dan jalan keluar bagi
orang beriman, juga menjadi acuan bagi setiap mukmin dalam menggarap
dirinya sehingga nama-nama itu tertanam dalam diri dan mendorong kita
ikut berperan mengurus alam semesta.
Kita seharusnya menggunakan 99
nama Allah untuk menemukan nama Allah yang ke-100. Kenapa kita harus
menemukan nama Allah yang ke-100? Karena Allah telah mengenalkan 99 nama
terindah-Nya, dan jumlah ini (99) adalah angka yang tidak selesai,
nyaris selesai, yang meminta penyempurnaan. Inilah kewajiban setiap
orang untuk mendapatkan melalui pengabdian kepada Allah.
Sebelum
membicarakan makna 99 nama yang belum selesai, marilah kita bicarakan
kehidupan ini. Kehidupan kita juga kehidupan yang belum selesai. Memang
kita hidup di dunia yang “tampak” sudah selesai, semuanya sudah ada dan
tinggal menikmatinya saja. Namun, bila kita hanya menikmatinya saja, itu
artinya kita tidak berperan. Padahal, pada diri manusia ada potensi,
ada keinginan untuk diakui oleh masyarakatnya, salah satunya dengan cara
menunjukkan peran khasnya di tengah masyarakat.
Sebelum seseorang
menunjukkan perannya, ia tidak akan memiliki pengakuan eksistensi dan
lingkungannya. Saat itu, akan muncul kegelisahan karena hati ini
menyimpan duka, tuntutan untuk muncul, kesangsian akan kemampuan diri,
pokoknya kita tidak tenteram sebelum ikut serta berperan. Agar bisa
eksis, kita harus menemukan peran dirinya menyelesaikan estafet sejarah
kehidupan dengan cara berkarya di bidang yang dia kuasai.
99 nama
Tuhan pun demikian, ini adalah nama yang mengundang kita untuk
menyelesaikannya. Dunia ini belum sempurna, orang berimanlah yang harus
menyempurnakannya. Kasih dan kuasa Allah pastilah sempurna, yaitu
melalui bukti tersebarlah kasih sayang Allah itu ke semua makhluk. Kasih
sayang itu di antaranya muncul melalui diri orang beriman.
Caranya adalah dengan mendorong diri menjadi saksi.
Menjadi Saksi bahwa Tuhan itu Ada
Seorang mukmin adalah orang yang telah bersedia menjadi saksi bahwa
Allah itu ada. Seorang mukmin telah menegaskan kepada dirinya “saya
bersedia menjadi saksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Tapi bukan
saksi kata-kata. Saksi itu harus terbukti, buktinya adalah menunjukkan
bahwa kita benar-benar hanya mengabdi kepada-Nya dalam seluruh aspek
kehidupan; buktinya adalah memikul tanggung jawab, mengungkapkan
nilai-nilai yang bisa dinikmati pihak lain.
Maka jangan sampai kita
mendengar ada orang sakit, akhirnya mati sebelum terobati; ada orang
lapar akhirnya harus mencuri, ada orang teraniaya mati sebelum
tentolong. Kita berdosa. Sebab setiap orang yang sedang menderita,
sakit, lapar, atau teraniaya pasti dia berharap, berdoa dan jika
harapannya tidak terkabul saat itu biasanya dia akan berprasangka
sangka,
“Tuhan ini ada apa nggak sih? Saya merintih, tapi Dia tidak
mengutus hamba-hamba-Nya untuk menyelamatkan saya? Tuhan ini gimana
sih, saya sudah menyebut nama-Nya berulang kali, tapi Dia tak menjawab.
Apakah doa-doa yang tidak didengarkan-Nya, atau memang Tuhan itu tuli
atau tidak ada.”
Bila kita telah benar bersyahadat, saat mendengar
pender itaan orang lain hendaklah mengulurkan bantuan, memberikan
solusi, merealisasikan harapan, dan doa-doanya. Dengan cara ini, kita
telah dipakai Tuhan sebagai saksi bahwa Tuhan itu ada. Nah, saat kita
melakukan sesuatu (menampilkan sifat/sikap) yang membuat orang semakin
meyakini Tuhan itu ada, saat itulah kita telah menampilkan nama Tuhan
yang ke-100.
ini ada sebuah kisah menarik.
“Guru, semaLam saya
bermimpi berjumpa dengan Khidir. Beliau memberikan kepada saya nama
baru Abdillah. Apa maksudnya guru, sedangkan saya seorang perempuan?”
“Bagaimana kamu bisa bermimpi sehebat itu? Apakah kamu telah mengamalkan sesuatu?”
“Saya cuma mengamalkan wirid yang guru ajarkan. Saya tidak banyak membaca wirid”
“0h bukan itu, wirid yang diucapkan hanyalah cara kita menggarap diri.
Maksud saya, apakah kamu telah beramal (baik) kepada seseorang?”
Sejenak sang murid mengingat-ingat sesuatu, lalu bercerita:
“KaLau hal itu yang guru maksudkan, memang benar. Baru saja saya
meminjamkan sejumlah uang kepada sesama teman dari Indonesia yang
terancam akan terusir dan apartemennya karena masa kontraknya telah
habis. Sebenarnya saya sendiri butuh uang itu. Suami saya sakit. Tapi
entah mengapa saya tidak sampai hati menahan uang itu dan saya serahkan
uang itu kepadanya. Meskipun sebenarnya, dia telah beberapa kati
meminjam uang dan tak pernah mengembalikannya. Bahkan tak hanya itu, dia
sering memfitnah saya. Namun begitulah, ketika dia butuh bantuan saya
lagi, saya pun tidak tega melihatnya. Dalam hati saya waktu itu
berharap: kali ini dia bisa mengembalikan uang saya, tetapi kalaupun
kali ini dia juga tidak kuat membayar, saya pun mengikhlaskannya.”
Gurunya menjawab, “Hmm.... Abdillah artinya orang yang mengabdi kepada ALLah. Kau telah meLakukannya, muridku!”
Discover your basics goodness and radiates it to all sentient beings”,
menemukan kebaikan dasar masing-masing, kemudian menularkannya kepada
semua makhluk lainnya. Inilah tugas utama seorang manusia sejati.
Semakin memasuki relung terdalam dirinya, manusia sejati akan semakin
memancarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya, kepada alam raya.
Mari mengayuh negeri ini dengan cinta!
#inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar