Purwakarta - Selain mengundang Tajudin (42), Bupati Purwakarta Dedi
Mulyadi juga mengundang makan malam dua anak yang disebut 'dijual' dalam
dugaan kasus trafficking, yakni Dendi Darmawan (15) dan Cepi Nurjaman
(16).
Dua anak tersebut sebelumnya disangkakan menjadi korban
trafficking oleh Tajudin karena diduga disuruh menjual cobek. Padahal
dalam berjualan cobek tersebut tidak ada unsur paksaan apa pun. Sehingga
setelah ditahan selama sembilan bulan dalam rangka mengikuti sidang
akhirnya majelis hakim mevonis bebas Tajudin.
Ditemui di sela-sela
acara makan malam, Dedi dan Cepi kompak menyatakan jika keduanya memang
ingin berjualan bukan karena paksaan tapi keinginan diri sendiri untuk
mencari uang. Bahkan keduanya tidak mau lagi bersekolah dan memilih
untuk ikut berjualan cobek.
"Teu sakola, teu diteruskeun. Hoream,
hayang gawe weh. Jual coet ge hayang sorangan teu diajakan ku sasaha.
(Tidak sekolah, tidak diteruskan. Malas, pengin kerja saja. Jual cobek
juga pingin sendiri tidak diajak siapa-siapa)," ucap Dendi yang juga
keponakan Tajudin.
Dendi sebelumnya sempat mengenyam pendidikan
hingga lulus SD. Sementara Cepi yang merupakan anak paman Tajudin,
sempat meneruskan sekolahnya namun sebelum naik ke kelas dua SMP dia
memilih berhenti. Lagi-lagi keduanya beralasan kompak yakni ingin
mencari uang sendiri.
Dendi menuturkan, dalam sehari dia bisa
membawa delapan cobek ukuran kecil dengan bobot sekira 16 kg. Cobek
tersebut dia beli dengan harga Rp 5 ribu per buah, dan bisa dijualnya
hingga Rp 40-60 ribu per buah.
Meski memiliki tekad untuk
'berwirausaha' tinggi namun Dendi dan Cepi masih sadar diri dengan
fisiknya yang belum biasa mengangkat beban banyak dalam seharian.
Sehingga dalam satu minggu keduanya hanya keluar tiga kali untuk jualan
berkeliling jalan atau perumahan di sekitaran Tanggerang.
"Bawa
delapan juga paling laku hanya dua. Dapet untung Rp 80 ribu itu buat
makan, jajan, dan ditabung buat pulang ke rumah. Paling bawa ke rumah
itu Rp 500 ribu," katanya.
Pasca-'penyergapan' Tajudin, keduanya pun
mengaku merasa trauma. Sehingga mereka tak mau lagi berjualan dan
memilih untuk membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek di rumah.
"Sekarang nggak jualan tapi bikin coet. Dari bahan batu ditatah. Sehari
paling dapat Rp Rp 20-30 ribu," tuturnya.
Sementara dalam pertemuan
yang dibalut tawa canda itu, Bupati Dedi, terus merayu kedua anak
tersebut untuk mau meneruskan sekolah. Dari mulai mengikuti sekolah
kejar paket, iming-iming uang, terus Dedi lakukan demi kedua anak
tersebut kembali sekolah.
Namum keduanya keukeuh ingin terus bekerja
membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek. Hingga akhirnya Dedi pun
menanyakan selain menjadi tukang cobek apa cita-cita kedua anak
tersebut. Dan terjawab jika keduanya hobi bermain bola dan ingin menjadi
pemain profesional.
Akhirnya setelah pergumulan yang cukup alot
Dendi dan Cepi akan ditampung di SMPN 6 Purwakarta yang merupakan
satu-satunya sekolah yang menjadi tempat pembibitan pemain bola Asli
Sepakbola Asal Desa (ASAD) 313 Jaya Perkasa yang sudah sering menjuarai
berbagai kompetisi di tingkat nasional mau pun internasional.
Di
sekolah tersebut nantinya Cepi dan Dendi akan tinggal di asrama dan
mendapatkan pelajaran seperti pada umumnya. Bedanya di sekolah tersebut
anak-anak lebih ditekankan untuk belajar sepakbola, mengaji, dan bahasa
inggris.
"Ya sudah mulai besok saya daftarkan di SMPN 6. Kalau
memang tetap ingin cari uang dari bikin cobek silahkan, nanti bahannya
bawa dari rumah pahat setelah beres latihan bola dan sekolah," jelas
Dedi.
Dedi meminta ilmu membuat cobek yang dimiliki oleh Cepi dan
Dendi pun agar 'ditularkan' pada temannya yang lain dan dikembangkan.
"Kalau perlu dan memang berbakat saya khusus akan panggil guru pahat.
Dan kalau memang bakat kalian di pahat-memahat, saya sekolahkan ke
Bali," jelas pria yang juga Ketua DPD I Golkar Jabar itu.
Ditemui
usai makan malam Dedi pun mengatakan, jika keinginannya untuk
menyekolahkan Dendi dan Cepi bukan tanpa alasan. Pasalnya pasca-kasus
hukum yang menimpa Tajudin tidak ada kejelasan terhadap kedua anak yang
disebut 'korban' trafficking.
"Malah dari pada dagang saya rasa
lebih berat membuat cobeknya. Dan dari segi uang yang didapat kedua anak
itu juga lebih kecil membuat dari pada menjual. Saya tidak mau
mengurusi urusan hukumnya. Terpenting saya ingin membantu hidup Pak
Tajudin dan dua anak tadi agar mau sekolah," katanya.
Bagi Dedi,
keinginan Cepi dan Dendi untuk mencari uang sendiri adalah sebuah hal
yang wajar terlebih melihat status dan kehidupan mereka di rumahnya.
Bahkan Dedi pun menyebut saat masih kecil dirinya tak jauh berbeda
dengan Cepi dan Dendi. Saat masih sekolah, Dedi pernah merasakan menjadi
pedagang es, penjual layangan, tukang foto keliling, hingga menjadi
kenek angkutan umum. "Bedanya saya waktu itu masih tetap sekolah,"
ucapnya.
Bahkan Purwakarta yang mengusung pendidikan berbasis
karakter berbudaya, beberapa bulan lalu pun membuat program sekolah
vokasional di mana para pelajar setiap dua minggu sekali diharuskan
mengikuti pekerjaan orang tuanya. Tujuannya tak lain agar pelajar tahu
bagaimana sulitnya orang tua bekerja dan juga sebagai terjemahan
pendidikan pancasila yang lebih aplikatif dan produktif.