Loyalitas dari seorang sahabat untuk membuat,menampung opini, menyebarkan berita, video, slogan maupun propaganda semata mata untuk : MENGANTARKAN H.DEDI MULYADI,SH.(DANGIANG KI SUNDA) BERKANTOR DI GEDUNG SATE
Jumat, 20 Januari 2017
DEDI MULYADI SANG MARHAEN YANG PEDULI NASIB PARA PETANI
"Padi mengajarkan kita pada sifat rendah hati, menunduk ketika berisi, bertani bukan untuk mencari untung karena harga beras diatur oleh Negara, sedangkan biaya produksi terus melambung tinggi.
Kebahagiaan kita di meja makan adalah hasil jerih payah keringat mereka, tubuh hitam terbakar matahari, setiap hari berlumur lumpur sawah, tak pernah berkeluh kesah apalagi sampai membentangkan spanduk pemberontakan.
Hidup adalah garis takdir yang harus disyukuri, seperti kisah Pak Opik, buruh tani dengan upah 10 Kg dari hasil satu kwintal hasil kotor.
Saatnya kita belajar pada kesabaran mereka dan saatnya kami para pemimpin merasa malu oleh ketabahan mereka".
.-Dedi Mulyadi
Yang kita bicarakan bukan para petani tuan tanah yang sawahnya upluk aplak hektaran, tapi para buruh tani yang nasibnya sejak zaman kolonial hingga saat ini tidak pernah berubah.
Bung Karno terinspirasi oleh sosok Marhaen sosok buruh tani miskin di Bandung selatan, sehingga jiwanya berontak tersentuh oleh keadaan dan realita bahwa setelah mendengar cerita Pak Marhaen, dapat diambil kesimpulan betapa miskinya kaum pribumi ini.
Saat ini Kang Dedi Murupakan pemimpin yang peduli dengan nasib para petani, ada beberapa kebijakannya yang pernah diambil seperti Kang Dedi mengeluarkan kebijakan Pemda Purwakarta mengasuransikan padi yang ditanam oleh para petani, ini adalah langkah cerdas yang moderat yang ada hanya di ada negara negara barat yang sudah maju. Kang Dedi dapat menyelami penderitaan para petani apabila gagal panen entah itu karena hama atau bencana.
Yang belum tersentuh itu para buruh taninya, mereka kerja tidak mengenal standarisasi upah seperti para buruh, apa yang dikisahkan Pak Opik kepada Kang Dedi ini memang merupakan realita nasib para buruh tani hampir diseluruh daerah di Indonesia, mereka menerima upah alakadarnya saja, bahkan tidak dibayar oleh uang. Semoga kedepannya Kang Dedi mampu menjadi pelopor dan penyambung lidah para buruh tani agar ada peraturan yang mengatur standarisasi upahnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar