expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 19 Oktober 2016

Tangis Pak Subarna di Tengah Euphoria

Tulisan ini karya Kang Dedi Mulyadi, betapa puitisnya, bak tulisan seorang pujangga.


Oleh: Dedi Mulyadi
Pada suatu senja, saat berjalan menyusuri sudut kampung, rintik hujan terus mengiringi perjalananku. Angin berhembus seakan ingin mengekspresikan kegalauan alam melewati tahun tanpa musim.
Di ujung pematang langkahku terhenti. Kudapati lelaki tua basah kuyup memunguti sampah di sungai kecil di sudut kampung, seolah memberikan isyarat bahwa hari ini tak ada lagi yang peduli pada nasib sungai kecil yang turun menuju sungai besar.
Tumpukan sampah, tebing yang longsor, telah mengubur mimpi panjang perjalanan air. Aliran terbendung, memaksa air untuk menari penuh gundah, menerjang siapapun yang menghalangi perjalanan ritual menuju laut keabadian.
Banjir bandang menerpa, puluhan korban berjatuhan, rumah kokoh roboh, terpental mobil di sudut jalan dalam tari pilu sungai yang gelisah.
Lelaki tua itu bernama Subarna. Menghabiskan hari dalam lirih pekerjaan tak bermakna dari sudut mata kaum gedongan. Kaum yang tak perlu berpikir soal mata air karena sudah tersedia dalam kemasan. Kaum yang hidupnya tak perlu bergumul dengan lumpur sekedar mendapatkan segenggam beras karena nasi putih higienis telah tersaji di meja makan bersama daging panggang impor yang didapat tanpa harus berlegam tangan menjadi gembala di bawah terik matahari dan guyuran hujan tanpa payung.
Semua dibayar tanpa selembar uangpun dikeluarkan. Semua sudah terkoneksi dalam sistem pembayaran non tunai.
Hidup kaum ini terasa sempurna. Tinggal dalam sudut rumah tanpa jendela yang terbuka, dingin tanpa memerlukan angin, panas tanpa sapaan matahari, berfamili tak perlu berkunjung meski hanya sekedar mengantar makanan kepada tetangga atau menengok saudara yang sakit dengan melewati perjalanan panjang yang melelahkan.
Cukup dengan ‘klik’, tetangga bisa disapa. Bukan yang ada di dekat rumah, namun nun jauh di sana melewati laut dan belantara.
Riuh gemuruh penduduk menyampaikan pesan tanpa berteriak. Rentetan surat berantai, petisi, bahkan opini hadir dalam debat panjang tanpa batas di atas layar-layar sakti yang mempengaruhi pikiran dan perasaan manusia.
Bukan seribu orang satu suara, tetapi sebaliknya. Satu orang bisa berubah wujud menjadi beribu suara, bagai ilmu dasamuka dalam cerita pewayangan, satu manusia dengan sepuluh wajah.
Gagal dan berhasilnya seseorang diukur dalam satu sisi potret sudut layar grafis yang termodifikasi dalam bumbu sedap senyum sang peramah, tawa sang pecanda, atau tegas sang pemarah ala manusia kekinian. Menghentak, menggertak, menghebohkan dunia luas yang tampil dalam sudut sempit.
Kuraih tangan Pak Subarna, hanya sekedar ingin bertanya di mana dia tinggal. Wajah bingung penuh tanya seakan mewakili gemuruh dalam hatinya, mencari tahu tentang apa maksud permintaanku.
Kami berjalan berdua menuju gubuk kecil di pinggir kali. Dia mengajakku masuk ke dalam ruang ukuran 2 x 3 meter dengan satu pintu dan satu jendela. Aku duduk di sudut pintu, menatap sekeliling ruangan di mana Pak Subarna tinggal bersama 4 orang anggota keluarganya.
Mereka hidup dalam ruang sempit tanpa dapur dan tanpa kamar mandi. Air mataku terjatuh, kupeluk Pak Subarna sambil berkata, “Maafkan aku, yang hanya melihat dunia dalam sudut layar digital, dimana Bapak tak mampu menjangkaunya.”
#inspirasikangdedi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar