Tulisan ini karya Kang Dedi Mulyadi, betapa puitisnya, bak tulisan seorang pujangga.
Oleh: Dedi Mulyadi
Pada suatu senja, saat berjalan menyusuri sudut kampung, rintik hujan
terus mengiringi perjalananku. Angin berhembus seakan ingin
mengekspresikan kegalauan alam melewati tahun tanpa musim.
Di ujung
pematang langkahku terhenti. Kudapati lelaki tua basah kuyup memunguti
sampah di sungai kecil di sudut kampung, seolah memberikan isyarat bahwa
hari ini tak ada lagi yang peduli pada nasib sungai kecil yang turun
menuju sungai besar.
Tumpukan sampah, tebing yang longsor, telah
mengubur mimpi panjang perjalanan air. Aliran terbendung, memaksa air
untuk menari penuh gundah, menerjang siapapun yang menghalangi
perjalanan ritual menuju laut keabadian.
Banjir bandang menerpa,
puluhan korban berjatuhan, rumah kokoh roboh, terpental mobil di sudut
jalan dalam tari pilu sungai yang gelisah.
Lelaki tua itu bernama
Subarna. Menghabiskan hari dalam lirih pekerjaan tak bermakna dari sudut
mata kaum gedongan. Kaum yang tak perlu berpikir soal mata air karena
sudah tersedia dalam kemasan. Kaum yang hidupnya tak perlu bergumul
dengan lumpur sekedar mendapatkan segenggam beras karena nasi putih
higienis telah tersaji di meja makan bersama daging panggang impor yang
didapat tanpa harus berlegam tangan menjadi gembala di bawah terik
matahari dan guyuran hujan tanpa payung.
Semua dibayar tanpa selembar uangpun dikeluarkan. Semua sudah terkoneksi dalam sistem pembayaran non tunai.
Hidup kaum ini terasa sempurna. Tinggal dalam sudut rumah tanpa jendela
yang terbuka, dingin tanpa memerlukan angin, panas tanpa sapaan
matahari, berfamili tak perlu berkunjung meski hanya sekedar mengantar
makanan kepada tetangga atau menengok saudara yang sakit dengan melewati
perjalanan panjang yang melelahkan.
Cukup dengan ‘klik’, tetangga bisa disapa. Bukan yang ada di dekat rumah, namun nun jauh di sana melewati laut dan belantara.
Riuh gemuruh penduduk menyampaikan pesan tanpa berteriak. Rentetan
surat berantai, petisi, bahkan opini hadir dalam debat panjang tanpa
batas di atas layar-layar sakti yang mempengaruhi pikiran dan perasaan
manusia.
Bukan seribu orang satu suara, tetapi sebaliknya. Satu
orang bisa berubah wujud menjadi beribu suara, bagai ilmu dasamuka dalam
cerita pewayangan, satu manusia dengan sepuluh wajah.
Gagal dan
berhasilnya seseorang diukur dalam satu sisi potret sudut layar grafis
yang termodifikasi dalam bumbu sedap senyum sang peramah, tawa sang
pecanda, atau tegas sang pemarah ala manusia kekinian. Menghentak,
menggertak, menghebohkan dunia luas yang tampil dalam sudut sempit.
Kuraih tangan Pak Subarna, hanya sekedar ingin bertanya di mana dia
tinggal. Wajah bingung penuh tanya seakan mewakili gemuruh dalam
hatinya, mencari tahu tentang apa maksud permintaanku.
Kami berjalan
berdua menuju gubuk kecil di pinggir kali. Dia mengajakku masuk ke
dalam ruang ukuran 2 x 3 meter dengan satu pintu dan satu jendela. Aku
duduk di sudut pintu, menatap sekeliling ruangan di mana Pak Subarna
tinggal bersama 4 orang anggota keluarganya.
Mereka hidup dalam
ruang sempit tanpa dapur dan tanpa kamar mandi. Air mataku terjatuh,
kupeluk Pak Subarna sambil berkata, “Maafkan aku, yang hanya melihat
dunia dalam sudut layar digital, dimana Bapak tak mampu menjangkaunya.”
#inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar