POJOKSATU.id, PURWAKARTA – Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menjadi
pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Aksi 112 dan Kuda Troya
Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemilih Indonesia atau LPI
bertempat di Cikini, Jakarta, Rabu (8/2).
Dalam paparannya, pria
yang akrab disapa Kang Dedi tersebut mengajak agar publik melihat
Indonesia dalam spektrum kebangsaan dan keragaman tradisi juga kultur. Sehingga menurutnya, pluralisme dan keberagaman tidak hanya diletakan dalam konteks Pilgub Jakarta 2017.
“Indonesia itu bukan hanya Jakarta. Publik harus faham bahwa
pertarungan mempertahankan Keindonesiaan kita itu ada dari Sabang sampai
Merauke,” ujar Dedi Mulyadi.
Selain sebagai bupati, Dedi yang
dikenal sebagai budayawan Sunda ini menuturkan bahwa kebudayaan harus
dirawat oleh segenap elemen bangsa.
Menurut Dedi, jika sebuah
komunitas kehilangan akar budayanya, maka pada saat yang sama, mereka
akan kehilangan lingkungan tempat bernaung.
“Kita ini terlalu mudah
menerima paham baru, sampai pandangan dan keyakinan diri gampang sekali
mengikuti trend, kalau trend-nya A, maka dia ikut A, kalau trend-nya B,
maka dia ikut B, ini berbahaya sebab ia tidak punya pegangan nilai
moral,” tutur Dedi.
Visi pembangunan Presiden Joko Widodo menurutnya
sudah sangat tepat, Nawa Cita memiliki cakupan pandangan dan cakrawala
yang lebih luas tentang penjagaan terhadap nilai moral kebangsaan.
“Pemahaman kebudayaan Pak Jokowi sangat tinggi, cakupannya luas, berisi
keberagaman, tata nilai kebangsaan terus dikuatkan, pembangunan di
pelosok negeri terus dilakukan,” ujarnya.
Dalam konteks pegangan
nilai pluralisme, masih menurut Dedi, Indonesia tidak boleh hanya
sekedar melihat Jakarta. Sebaliknya, ia menilai bahwa Pilkada DKI
Jakarta hanya bagian kecil dari proses pendewasaan demokrasi, sehingga
tidak perlu menghabiskan energi bangsa terlalu besar.
“Saya
tegaskan, Indonesia tidak hanya Jakarta, Indonesia itu ada di
Purwakarta, Indonesia itu ada di Bojonegoro, Indonesia itu ada di
Banyuwangi, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTT, dan sebagainya,”
pungkasnya.
Sementara itu, aktivis Nahdlatul Ulama, Syafiq Alielha
yang juga menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut, menduga rencana
aksi yang akan dilakukan pada 11 Februari 2017 atau aksi 112 oleh
kelompok-kelompok mengatasnamakan umat Islam merupakan sebuah upaya
memelihara sentimen sektarian.
“Saya mencurigai aksi ini untuk
memelihara sentimen. Ada banyak kelompok dalam aksi ini yang mengidap
sentimen sektarian,” ujar Syafiq.
Aksi damai 112 akan dilaksana
sehari menjelang masa tenang pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satu
tuntutan yang akan disuarakan dalam aksi 112 yakni mendesak agar
Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera
ditahan terkait kasus dugaan penistaan agama.
(*/one/pojoksatu) #inspirasikangdedi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar