A. Telaah Penerapan Peribahasa CCPKSSPI dan Sejarah
Peribahasa lahir tidak berdasar pada pemikiran secara langsung yang
dimiliki oleh seorang individu (kekuatan berpikir), melainkan
berdasarkan pada konvensi budaya individu sebagai anggota kelompok
sosial masyarakat terhadap gejolak yang terjadi pada masyarakat itu
sendiri. Gejolak sosial memicu terjadinya peribahasa (kesantunan
berbahasa) dan berproses melalui pikiran dengan asumsi bahwa pemikiran
inilah yang mengacu pada dasar-dasar filsafat bahasa. Hal mi terjadi
karena tujuan hidup dengan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh
setiap orang, tidak sepenuhnya merata dikuasai oleh setiap individu
tersebut. Ketidakmerataan dalam memahami sebuah konteks kehidupan, maka
lahirlah peribahasa yang berusaha mengembangkan sebuah kebijakan dalam
melakukan proses kegiatan yang semestinya dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Peribahasa CCPKSSPI sebagai buah kebudayaan yang
dikonsepkan melalui tahapan filsafat. Ketika individu melakukan proses
berpikir, pikiran akan mencari celah kebijakan (disesuaikan dengan
rasa), kewaspadaan (proses pengalaman dan perkiraan sebuah kejadian dan
rasa takut), kehati-hatian (proses pengalaman pahit dan kecerobohan yang
pernah dilakoni secara langsung atau tidak langsung), penghargaan
terhadap perbedaan jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), perbedaan
pekerjaan yang dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda (tugas
pokok perempuan dan laki-laki), tugas keilmuan (pemikir budaya dan
sosial), tugas ketokohan (pejabat/pemerintahan dan masyarakat sosial).
Bagi individu yang berusaha melakukan proses mencari keadilan,
kebijakan, kewaspadaan, dan kehati-hatian, ia akan memilih ragam bahasa
yang disesuaikan dengan ragam budaya (adat istiadat), dan ragam sosial
dan kemajuan sosial (proses kehidupan).
Filsafat menjadi dasar ilmu
pengetahuan berproses sehingga pengalaman menghasilkan pengetahuan dan
kemudian menjadi ilmu pengetahuan. Pada konteks pengalaman inilah
beragam kejadian dan permasalahan terjadi. Permasalahan ringan dalam
kehidupan sehari-hari menghasilkan instrumen (teknik) ilmu pengetahuan,
pengalaman sedang menghasilkan strategi ilmu pengetahuan, dan pengalaman
berat
menghasilkan pendekatan ilmu pengetahuan. Namun, ketiga
corak mi menjadi ragam solusi dalam memecahkan permasalahan. Ragam
permasalahan membentuk metode, model, yang berujung pada pendekatan yang
digunakan dalam memecahkan permasalahan. Sementara, keduduian
peribahasa merupakan cara berpikir sederhana, ketika konsep kehidupan
yang kompleks memerlukan pemecahan masalah. Peribahasa merupakan tahapan
kemampuan berbahasa yang menjangkau pemahaman individu dalam
melaksanakan instrumen filsafat itu sendiri.
Langkah-langkah telaah penerapan peribahasa CCPKSSPI dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada bagan di bawah mi:
Telaah peribahasa CCPKSSPI agar terlihat nyata dan tidak lepas dan
konteks kehidupan sehari-hari, maka penulis akan menjadikan sampel pada
tulisan mi adalah kehidupan manusia sunda dan sejarahnya dengan
mengambil kasus kesejarahan di kabupaten Purwakarta. Semata-mata bukan
menyudutkan dan atau ingin membentuk opini dalam tulisan ini, karena
bahasan yang berusaha comprehensive maka contoh Kabupaten Purwakarata
sebagai telaah peribahasa CCPKSSPI akan dapat menepis berbagai anggapan
negative dan atau kesalahan tafsir penulis terhadap penerapan peribahasa
CCPKSSPI dan unsur sejarah Purwakarta itu sendiri.
Sebagai bagian
dan konvensi budaya Sunda, masyarakat Purwakarta memiliki tingkat
keterpengaruhan yang sangat besar dan perkembangan budaya Sunda.
Masyarakat Purwakarta menggunakan pola pikir dan pola rasa sesuai dengan
perkembangan budaya Sunda itu sendiri. Wajar, jika apa yang berkembang
di tatar Sunda berkembang pula di Purwakarta.
Pada tataran
kesundaan, Purwakarata tidak dapat dilepaskan dan budaya sunda dan rasa
kesundaan. Beberapa pola kehidupan sebagai manusia sunda (budaya)
tingkat persamaan sosial masyarakat yang berkembang juga di masyarakat
Purwakarta antara lain;
- Pola kewaspadaan/kehati-hatian
- Pola keadilan
- Pola ketahanan
- Pola seni budaya
- Pola pikir
- Pola rasa
- Pola bahasa
- Pola pemenuhan kebutuhan hidup
Peribahasa CCPKSSPI menjadi patokan dasar kehidupan masyarakat,
nilai-nilai kesundaan yang terus berkembang memenuhi bidang, ideologi?
sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Peribahasa ini pun berkembang sesuai dengan zaman dan budaya sebelumnya,
sekarang, dan Peribahasa CCPKSSPI menjadi pola bahasa dengan proyeksi
masa yang akan datang di daérah Purwakarta.
Sebagai bahan
perbandingan, pada bagian telaah peribahasa CCPKSSPI dan kesejarahan
penerapan peribahasa pada suatu tempat yang lahir berdasarkan konvensi
budaya, beberapa catatan ahli sejarah seperti Dr. A. Sobana
Hardjasaputra, S.S.,M.A. yang terdapat dalam buku Sejarah Purwakarta
(2003) dapat dijadikan pandangan sebagai langkah kehidupan memahami diri
sendiri dan kesejarahan wilayah yang bijaksana, ulah jati ka silih ku
junti. Tulisan Hardjasaputra ditulis ulang pada bagian ini kemudian
ditelaah setiap bagian paragraf yang memiliki celah dan makna yang
menggambarkan keselarasan dengan peribahasa CCPKSSPI, baik dan sisi,
ekonomi, budaya, pertahanan,
kewaspadaan, keadilan, pemerataan
kesejahteraan masyarakat, dan kehati-hatian. Peribahasa CCPKSSPI sengaja
dimasukkan sehingga dapat memperjelas bentangan peribahasa ini dalam
sejarah budaya bangsa yang kemudian ditelaah penggunaannya dalam
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Tulisan Dr.A. Sobana
Hardjasaputra,S.S,M.A pada bab ini akan ada kesan dipotong-potong dalam
membahasnya, semata-mata bukan untuk menulis ulang sejarah Purwakarta,
melainkan Purwakarta sebagai sebuah bahasan dalam menempatkan peribahasa
CCPKSSPI pada suatu wilayah yang menjadi bahan telaah penerapan
peribahasa CCPKSSPL Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan pada bagian
sejarah Purwakarta ini sepenuhnya berdasarkan pada tulisan Dr.A.Sobana
Hardjasaputra,S.S,M.A yang terdapat dalam buku sejarah Purwakarta
(2003). yang kemudian dikemas berdasarkan kepentingan dan kesesuaian
peribahasa CCPKSSPI. Kepada penulis terkait terlebth dahulu, melalui
tulisan pada susunan buku mi, penulis mohon maaf, dan semata-mata
tulisan saudara, memenuhi segala unsur peribahasa CCPKSSPI yang penulis
kembangkan. Selain permohonan maaf juga melalui tulisan mi,
penuli&meminta ijin kepadanya dan hal mi terjadi berdasarkan pada
kaidah keilmuan, dengan mencantumkan segala ketentuan untuk berlaku
sebagai tindak resmi sebuah susunan karya tulis yang menjungjung tinggi
hak cipta dan pengetahuan.
Beberapa telaah yang dilakukan penulis pada bagian peribahasa CCPKSSPI dan sejarah adalah sebagai berikut:
1) Telaah etimologi unsur wilayah Puwakarta
Telaah etimologi pada bagian ini, penulis memandang perlu bahwa bahasa
sangat penting artinya karena merupakan sistem yang secara terstruktur
dan terpola dalam menyatukan kehidupan sosial masyarakat yang juga
melahirkan peribahasa CCPKSSPI. Telaah etimologi menjadi bahan
introspeksi, nganyahokeun kana diri, asal ti mana jeung bakal balik
kamana?.
Purwakarta tidak hanya sebagai bentangan wilayah yang
lahir karena perbedaan, tetapi lahir karena kesamaan persepsi dan budaya
yang berkembang pada wilayah dengan tujuan untuk lebih menyejahterakan
masyarakat yang merupakan bagian sosial masyarakat Sunda. Jargon-jargon
kebangsaan, kesamaan kepentingan, kesamaan wilayah-daerah, maka
persepsi yang muncul karena jargon kebahasaan patut dikembangkan,
disosialisasikan agar masyarakat memiliki kesamaan pandangan dalam
mengembangkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesamaan kebutuhan
tersebut dimulai dengan jargon yang menjadi visi misi masyarakat yang
menempati wilayah yang kemudian dinamakan Purwakarta yakni, purwa yang
artinya permulaan (azval-mimiti) dan karta yang artinya ramai atau hidup
(loba batur salembur, loba baraya sadésa, loba pan gabutuh sarnérnéh
tunduh). Melalui telaah etimologi nama Puwakarta tidak lepas dan bahasa
yang digunakan dan merupakan kewaspadaan, kehatihatian, dan keadilan
bahwa masyarakat Purwakarta harus bersama-sama dalam meningkatkan
kesejahteraan dan pemenuhan kehituhan hidupnya.
Telaah CCPKSSPI
terhadap unsur etimologi nama Purwakarta adalah setiap orang dalam
memberi nama, sebutan, panggilan, dan lain sebagainya berkaitan dengan
nama orang dan nama tempat, harus memperhatikan maksud dan tujuan nama
itu diberikan kepada seseorang. Nama adalah doa, dan doa adalah ibadah.
Maka ketika memberikan nama harus hati-hati dan mewaspadai berbagai
kemungkirian yang akan terjadi dan sebutan dan pemberian nama tersebut.
Kesamaan pandangan dalam memberikan nama, akan memicu kebersamaan,
gotong royong, dan pola tindak dalam membangun dan mengembangkan suatu
wilayah dengan atas nama panggilannya, dan seseorang atas nama panggilan
orang tersebut.
2) Telaah peribahasa CCPKSSPI dan asal usul wilayah
Wilayah merupakan tempat konvensi budaya berkembang, sangat memengaruhi
makna, nilai, etika, dan estetika proses berpikir dan rasa penduduk
yang menempati wilayah terkait.
Purwakarta dengan masyarakat yang
memiliki pengaruh Islam pada abad XV Masehi pada awalnya merupakan
bagian dan wilayah Karawang yang dibawa oleh ulama besar Syeikh
Hasanudin bin Yusup Idofi dan Champa (dikenal dengan sebutan Syeikh
Quro). Pada masa itu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan
hutan belantara dan berawa rawa. Maka, bahasa pun berkembang sesuai
dengan keyakirian beragama yakni Islam. Namun, bahasa dengan dasar
keyakinan beragama ini pun berkembang sesuai dengan wilayah hutan
belantara dan rawa-rawa.
Kosakata dan kalimat yang lahir
berdasarkan wilayah tersebut, yakni berdasarkan ketahanan hidup dan
pergunungan dan rawa, memenuhi kebutuhan hidup di sekitar gunung dan
rawa, munjung ulah ka gunung muja ulah ka sagara- munjung ka indung muja
ka bapa (keyakinan), tunggul dirurud catang dirumapak (kehidupan
sosial), ka gunung néang keur wudu ka leuwi néang keur mandi (ekonomi),
ka gunung tong sieun ku maung ka leuwi loba mantri (pertahanan), di
rnumunggang caang di sedong gorowong (mencari ilmu).
Wilayah dengan
kemampuan berpikir dan rasa menimbulkan konvensi budaya, menumbuhkan
kreativitas dalam menggunakan bahasa. Maka, bahasa menjadi penting untuk
menyamakan persepsi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat yang
menempati wilayah tersebut.
Purwakarta pada mulanya merupakan
bagian dan Karawang yang telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang
berpusat di daerah Bogor. Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu
lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran
dengan Galuh Pakuan yang berpusat di daerah Ciamis. Maka, bahasa yang
berkembang merupakan bahasa pergaulan antar wilayah dengan tingkat
kekentalan bahasa sebagai pengaruh dan pergaulan tersebut. Pergaulan
tidak hanya berpenganth yang baik-baik saja. Pengaruh buruk pun lahir
sebagai bagian dan kehiduan pergaulan yang kemudian memunculkan budaya
tersendiri, jaksi sajantung (mellhat betis perempuan yang bagus dan
pergaulan sehari-hari ketika memuji perempuan dengan betis yang
menarik), irung kuwung-kuwungan halis ngajelér paéh, tara téjamantrangan
(kekaguman), awak sembada léngkah tenangan sakali ngajorowok poho
nyomot (kekuatan).
Wilayah Karawang sebagai tempat pergaulan telah
melahirkan budaya berbahasa dengan berbagai perumpamaan yang lembut
sebagai sebuah kesantunan berbahasa.
3) Telaah peribahasa CCPKSSPI dan wilayah pengaruh berbahasa
Bahasa dan peribahasa CCPKSSPI sebagai peribahasa yang mengutamakan
ketahanan, kewaspadaan yang berdasarkan pikiran dan rasa yang
berkesinambungan juga dapat memperkirakan langkah-langkah yang hams
disiapkan oleh perempuan dan laki-laki. Maka, dengan keyakinan
terhadap pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa
CCPKSSPI, tidak menghiraukan perubahan kepemimpinan pada suatu wilayah.
Perubahan demi perubahan terjadi, yakrii setelah Kerajaan Pajajaran
runtuh pada tahun 1579 Masehi. Pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan
Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu
Geusan Ulun. Pusat pemerintahan Kerajaan Islam Sumedanglarang berada di
Dayeuh luhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta, dan
Karawang.
Kekuasaan yang mengalami perubahan ini terlihat dari
peribahasa yang berkembang saat itu yakni papayung agung ngitung
tungtung-nu bareukah diamparan.
Pada tahun 1608, Prabu Geusan Ulun
wafat dan digantikan oleh putranya, Ranggagempol Kusumahdinata. Pada
masa itu di Jawa Tengah telah berdiri Kerajaan Mataram dengan Rajanya
Sultan Agung (1613-1645). Salah satu cita-cita Sultan Agung pada masa
pemerintahannya adalah dapat menguasai Pulau Jawa dan mengusir kompeni
(Belanda) dan Batavia.
Peribahasa yang lahir dengan pergantian kepemimpinan mi adalah panon poe hamo salah datang.
Selanjutnya penguasa ditetapkan, Ranggagempol Kusumahdinata yang masth
merupakan kerabat keluarga Sultan Agung mengakui kekuasaan Mataram.
Maka, pada tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram
dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan
Mataram. Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi
bupati (wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah di sebelah
timur Kali Cipamali, di sebelah barat Kali Cisadane, di sebelah utara
Laut Jawa, dan di sebelah selatan Laut Kidul.
Pada tahun 1624
Ranggagempol Kusumahdinata wafat dan sebagal penggantinya Sultan Agung
mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun. Ranggagempol II, putra
Ranggagempol Kusumahdinata yang semestinya menerima takhta kerajaan
merasa disisihkan dan sakit hati. Kemudian, Beliau berangkat ke Banten
untuk meminta bantuan Sultan Banten agar dapat menaklukkan Kerajaan
Sumedanglarang dengan imbalan apabila berhasil, seluruh wilayah
kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada Banten.
Sejak itu
banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang, terutama di sepanjang
Sungai Citarum di bawah pimpinan Sultan Banten. ini bukan saja untuk
memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten
untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali pelabuhan
Banten yang telah dikuasai oleh kompeni (Belanda), yaitu Pelabuhan Sunda
Kelapa.
Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai
ke Mataram. Pada tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria
Wirasaba) dan Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan
membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya dan Mataram melalui Banyumas
dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dan pengaruh Banten,
mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras, dan
meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan
mendirikan tiga desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi
(di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur)
dan Desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan
pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan
Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang
dilaksanakannya kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung
memiiki anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal
dilaksanakari.
Demi menjaga keselamatan wilayah Kerajaan Mataram
sebelah barat, pada tahun 1628 dan 1629, bala tentara Kerajaan Mataram
diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC
(Belanda) di Batavia. Namun, serangan ini gagal disebabkan keadaan medan
yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan daerah Karawang
sebagai pusat logistik yang harus memiliki pemerintahan sendiri dan
langsung berada di bawah pengawasari Mataram serta harus dipimpin oleh
seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang sehingga mampu menggerakkan
masyarakat untuk membangun persawahan guna mendukung pengadaan logistik
dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Peribahasa yang lahir pada saat itu adalah, “ka nagri babakti ka
rahayat ulah codéka-tungguan munding bulé ngabaladah sawah “ lahir dan
sebuah kewaspadaan yakni mampu bertindak adil dan menempatkan diri yang
semestinya harus dilakukan dengan perubahan kekuasaan. Peribahasa
CCPKSSPI memberikan petunjuk bahwa kita harus bijaksana dalam setiap
gerak langkah dan ketika berpikir dan menempat diri atas berbagai
perubahan yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar