expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 08 Maret 2017

Buku Kang Dedi Mulyadi CING CARINGCING PAGEUH KANCING SEUT SARINGSEUT PAGEUH IKEUT Bab : Telaah Penerapan Pribahasa Cing Caringcing Pageuh Kancing Set Saringset Pageuh Ikeut (CCPKSSPI)





A. Telaah Penerapan Peribahasa CCPKSSPI dan Sejarah
Peribahasa lahir tidak berdasar pada pemikiran secara langsung yang dimiliki oleh seorang individu (kekuatan berpikir), melainkan berdasarkan pada konvensi budaya individu sebagai anggota kelompok sosial masyarakat terhadap gejolak yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Gejolak sosial memicu terjadinya peribahasa (kesantunan berbahasa) dan berproses melalui pikiran dengan asumsi bahwa pemikiran inilah yang mengacu pada dasar-dasar filsafat bahasa. Hal mi terjadi karena tujuan hidup dengan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh setiap orang, tidak sepenuhnya merata dikuasai oleh setiap individu tersebut. Ketidakmerataan dalam memahami sebuah konteks kehidupan, maka lahirlah peribahasa yang berusaha mengembangkan sebuah kebijakan dalam melakukan proses kegiatan yang semestinya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Peribahasa CCPKSSPI sebagai buah kebudayaan yang dikonsepkan melalui tahapan filsafat. Ketika individu melakukan proses berpikir, pikiran akan mencari celah kebijakan (disesuaikan dengan rasa), kewaspadaan (proses pengalaman dan perkiraan sebuah kejadian dan rasa takut), kehati-hatian (proses pengalaman pahit dan kecerobohan yang pernah dilakoni secara langsung atau tidak langsung), penghargaan terhadap perbedaan jenis kelamin (perempuan dan laki-laki), perbedaan pekerjaan yang dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda (tugas pokok perempuan dan laki-laki), tugas keilmuan (pemikir budaya dan sosial), tugas ketokohan (pejabat/pemerintahan dan masyarakat sosial).
Bagi individu yang berusaha melakukan proses mencari keadilan, kebijakan, kewaspadaan, dan kehati-hatian, ia akan memilih ragam bahasa yang disesuaikan dengan ragam budaya (adat istiadat), dan ragam sosial dan kemajuan sosial (proses kehidupan).
Filsafat menjadi dasar ilmu pengetahuan berproses sehingga pengalaman menghasilkan pengetahuan dan kemudian menjadi ilmu pengetahuan. Pada konteks pengalaman inilah beragam kejadian dan permasalahan terjadi. Permasalahan ringan dalam kehidupan sehari-hari menghasilkan instrumen (teknik) ilmu pengetahuan, pengalaman sedang menghasilkan strategi ilmu pengetahuan, dan pengalaman berat
menghasilkan pendekatan ilmu pengetahuan. Namun, ketiga corak mi menjadi ragam solusi dalam memecahkan permasalahan. Ragam permasalahan membentuk metode, model, yang berujung pada pendekatan yang digunakan dalam memecahkan permasalahan. Sementara, keduduian peribahasa merupakan cara berpikir sederhana, ketika konsep kehidupan yang kompleks memerlukan pemecahan masalah. Peribahasa merupakan tahapan kemampuan berbahasa yang menjangkau pemahaman individu dalam melaksanakan instrumen filsafat itu sendiri.
Langkah-langkah telaah penerapan peribahasa CCPKSSPI dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada bagan di bawah mi:
Telaah peribahasa CCPKSSPI agar terlihat nyata dan tidak lepas dan konteks kehidupan sehari-hari, maka penulis akan menjadikan sampel pada tulisan mi adalah kehidupan manusia sunda dan sejarahnya dengan mengambil kasus kesejarahan di kabupaten Purwakarta. Semata-mata bukan menyudutkan dan atau ingin membentuk opini dalam tulisan ini, karena bahasan yang berusaha comprehensive maka contoh Kabupaten Purwakarata sebagai telaah peribahasa CCPKSSPI akan dapat menepis berbagai anggapan negative dan atau kesalahan tafsir penulis terhadap penerapan peribahasa CCPKSSPI dan unsur sejarah Purwakarta itu sendiri.
Sebagai bagian dan konvensi budaya Sunda, masyarakat Purwakarta memiliki tingkat keterpengaruhan yang sangat besar dan perkembangan budaya Sunda. Masyarakat Purwakarta menggunakan pola pikir dan pola rasa sesuai dengan perkembangan budaya Sunda itu sendiri. Wajar, jika apa yang berkembang di tatar Sunda berkembang pula di Purwakarta.
Pada tataran kesundaan, Purwakarata tidak dapat dilepaskan dan budaya sunda dan rasa kesundaan. Beberapa pola kehidupan sebagai manusia sunda (budaya) tingkat persamaan sosial masyarakat yang berkembang juga di masyarakat Purwakarta antara lain;
- Pola kewaspadaan/kehati-hatian
- Pola keadilan
- Pola ketahanan
- Pola seni budaya
- Pola pikir
- Pola rasa
- Pola bahasa
- Pola pemenuhan kebutuhan hidup
Peribahasa CCPKSSPI menjadi patokan dasar kehidupan masyarakat, nilai-nilai kesundaan yang terus berkembang memenuhi bidang, ideologi? sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Peribahasa ini pun berkembang sesuai dengan zaman dan budaya sebelumnya, sekarang, dan Peribahasa CCPKSSPI menjadi pola bahasa dengan proyeksi masa yang akan datang di daérah Purwakarta.
Sebagai bahan perbandingan, pada bagian telaah peribahasa CCPKSSPI dan kesejarahan penerapan peribahasa pada suatu tempat yang lahir berdasarkan konvensi budaya, beberapa catatan ahli sejarah seperti Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S.,M.A. yang terdapat dalam buku Sejarah Purwakarta (2003) dapat dijadikan pandangan sebagai langkah kehidupan memahami diri sendiri dan kesejarahan wilayah yang bijaksana, ulah jati ka silih ku junti. Tulisan Hardjasaputra ditulis ulang pada bagian ini kemudian ditelaah setiap bagian paragraf yang memiliki celah dan makna yang menggambarkan keselarasan dengan peribahasa CCPKSSPI, baik dan sisi, ekonomi, budaya, pertahanan,
kewaspadaan, keadilan, pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan kehati-hatian. Peribahasa CCPKSSPI sengaja dimasukkan sehingga dapat memperjelas bentangan peribahasa ini dalam sejarah budaya bangsa yang kemudian ditelaah penggunaannya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Tulisan Dr.A. Sobana Hardjasaputra,S.S,M.A pada bab ini akan ada kesan dipotong-potong dalam membahasnya, semata-mata bukan untuk menulis ulang sejarah Purwakarta, melainkan Purwakarta sebagai sebuah bahasan dalam menempatkan peribahasa CCPKSSPI pada suatu wilayah yang menjadi bahan telaah penerapan peribahasa CCPKSSPL Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan pada bagian sejarah Purwakarta ini sepenuhnya berdasarkan pada tulisan Dr.A.Sobana Hardjasaputra,S.S,M.A yang terdapat dalam buku sejarah Purwakarta (2003). yang kemudian dikemas berdasarkan kepentingan dan kesesuaian peribahasa CCPKSSPI. Kepada penulis terkait terlebth dahulu, melalui tulisan pada susunan buku mi, penulis mohon maaf, dan semata-mata tulisan saudara, memenuhi segala unsur peribahasa CCPKSSPI yang penulis kembangkan. Selain permohonan maaf juga melalui tulisan mi, penuli&meminta ijin kepadanya dan hal mi terjadi berdasarkan pada kaidah keilmuan, dengan mencantumkan segala ketentuan untuk berlaku sebagai tindak resmi sebuah susunan karya tulis yang menjungjung tinggi hak cipta dan pengetahuan.
Beberapa telaah yang dilakukan penulis pada bagian peribahasa CCPKSSPI dan sejarah adalah sebagai berikut:
1) Telaah etimologi unsur wilayah Puwakarta
Telaah etimologi pada bagian ini, penulis memandang perlu bahwa bahasa sangat penting artinya karena merupakan sistem yang secara terstruktur dan terpola dalam menyatukan kehidupan sosial masyarakat yang juga melahirkan peribahasa CCPKSSPI. Telaah etimologi menjadi bahan introspeksi, nganyahokeun kana diri, asal ti mana jeung bakal balik kamana?.
Purwakarta tidak hanya sebagai bentangan wilayah yang lahir karena perbedaan, tetapi lahir karena kesamaan persepsi dan budaya yang berkembang pada wilayah dengan tujuan untuk lebih menyejahterakan masyarakat yang merupakan bagian sosial masyarakat Sunda. Jargon-jargon kebangsaan, kesamaan kepentingan, kesamaan wilayah-daerah, maka
persepsi yang muncul karena jargon kebahasaan patut dikembangkan, disosialisasikan agar masyarakat memiliki kesamaan pandangan dalam mengembangkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesamaan kebutuhan tersebut dimulai dengan jargon yang menjadi visi misi masyarakat yang menempati wilayah yang kemudian dinamakan Purwakarta yakni, purwa yang artinya permulaan (azval-mimiti) dan karta yang artinya ramai atau hidup (loba batur salembur, loba baraya sadésa, loba pan gabutuh sarnérnéh tunduh). Melalui telaah etimologi nama Puwakarta tidak lepas dan bahasa yang digunakan dan merupakan kewaspadaan, kehatihatian, dan keadilan bahwa masyarakat Purwakarta harus bersama-sama dalam meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kehituhan hidupnya.
Telaah CCPKSSPI terhadap unsur etimologi nama Purwakarta adalah setiap orang dalam memberi nama, sebutan, panggilan, dan lain sebagainya berkaitan dengan nama orang dan nama tempat, harus memperhatikan maksud dan tujuan nama itu diberikan kepada seseorang. Nama adalah doa, dan doa adalah ibadah. Maka ketika memberikan nama harus hati-hati dan mewaspadai berbagai kemungkirian yang akan terjadi dan sebutan dan pemberian nama tersebut.
Kesamaan pandangan dalam memberikan nama, akan memicu kebersamaan, gotong royong, dan pola tindak dalam membangun dan mengembangkan suatu wilayah dengan atas nama panggilannya, dan seseorang atas nama panggilan orang tersebut.
2) Telaah peribahasa CCPKSSPI dan asal usul wilayah
Wilayah merupakan tempat konvensi budaya berkembang, sangat memengaruhi makna, nilai, etika, dan estetika proses berpikir dan rasa penduduk yang menempati wilayah terkait.
Purwakarta dengan masyarakat yang memiliki pengaruh Islam pada abad XV Masehi pada awalnya merupakan bagian dan wilayah Karawang yang dibawa oleh ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dan Champa (dikenal dengan sebutan Syeikh Quro). Pada masa itu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan belantara dan berawa rawa. Maka, bahasa pun berkembang sesuai dengan keyakirian beragama yakni Islam. Namun, bahasa dengan dasar keyakinan beragama ini pun berkembang sesuai dengan wilayah hutan belantara dan rawa-rawa.
Kosakata dan kalimat yang lahir berdasarkan wilayah tersebut, yakni berdasarkan ketahanan hidup dan pergunungan dan rawa, memenuhi kebutuhan hidup di sekitar gunung dan rawa, munjung ulah ka gunung muja ulah ka sagara- munjung ka indung muja ka bapa (keyakinan), tunggul dirurud catang dirumapak (kehidupan sosial), ka gunung néang keur wudu ka leuwi néang keur mandi (ekonomi), ka gunung tong sieun ku maung ka leuwi loba mantri (pertahanan), di rnumunggang caang di sedong gorowong (mencari ilmu).
Wilayah dengan kemampuan berpikir dan rasa menimbulkan konvensi budaya, menumbuhkan kreativitas dalam menggunakan bahasa. Maka, bahasa menjadi penting untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat yang menempati wilayah tersebut.
Purwakarta pada mulanya merupakan bagian dan Karawang yang telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di daerah Bogor. Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di daerah Ciamis. Maka, bahasa yang berkembang merupakan bahasa pergaulan antar wilayah dengan tingkat kekentalan bahasa sebagai pengaruh dan pergaulan tersebut. Pergaulan tidak hanya berpenganth yang baik-baik saja. Pengaruh buruk pun lahir sebagai bagian dan kehiduan pergaulan yang kemudian memunculkan budaya tersendiri, jaksi sajantung (mellhat betis perempuan yang bagus dan pergaulan sehari-hari ketika memuji perempuan dengan betis yang menarik), irung kuwung-kuwungan halis ngajelér paéh, tara téjamantrangan (kekaguman), awak sembada léngkah tenangan sakali ngajorowok poho nyomot (kekuatan).
Wilayah Karawang sebagai tempat pergaulan telah melahirkan budaya berbahasa dengan berbagai perumpamaan yang lembut sebagai sebuah kesantunan berbahasa.
3) Telaah peribahasa CCPKSSPI dan wilayah pengaruh berbahasa
Bahasa dan peribahasa CCPKSSPI sebagai peribahasa yang mengutamakan ketahanan, kewaspadaan yang berdasarkan pikiran dan rasa yang berkesinambungan juga dapat memperkirakan langkah-langkah yang hams disiapkan oleh perempuan dan laki-laki. Maka, dengan keyakinan
terhadap pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa CCPKSSPI, tidak menghiraukan perubahan kepemimpinan pada suatu wilayah.
Perubahan demi perubahan terjadi, yakrii setelah Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi. Pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun. Pusat pemerintahan Kerajaan Islam Sumedanglarang berada di Dayeuh luhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta, dan Karawang.
Kekuasaan yang mengalami perubahan ini terlihat dari peribahasa yang berkembang saat itu yakni papayung agung ngitung tungtung-nu bareukah diamparan.
Pada tahun 1608, Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya, Ranggagempol Kusumahdinata. Pada masa itu di Jawa Tengah telah berdiri Kerajaan Mataram dengan Rajanya Sultan Agung (1613-1645). Salah satu cita-cita Sultan Agung pada masa pemerintahannya adalah dapat menguasai Pulau Jawa dan mengusir kompeni (Belanda) dan Batavia.
Peribahasa yang lahir dengan pergantian kepemimpinan mi adalah panon poe hamo salah datang.
Selanjutnya penguasa ditetapkan, Ranggagempol Kusumahdinata yang masth merupakan kerabat keluarga Sultan Agung mengakui kekuasaan Mataram. Maka, pada tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram. Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi bupati (wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah di sebelah timur Kali Cipamali, di sebelah barat Kali Cisadane, di sebelah utara Laut Jawa, dan di sebelah selatan Laut Kidul.
Pada tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat dan sebagal penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun. Ranggagempol II, putra Ranggagempol Kusumahdinata yang semestinya menerima takhta kerajaan merasa disisihkan dan sakit hati. Kemudian, Beliau berangkat ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Banten agar dapat menaklukkan Kerajaan Sumedanglarang dengan imbalan apabila berhasil, seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada Banten.
Sejak itu banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang, terutama di sepanjang Sungai Citarum di bawah pimpinan Sultan Banten. ini bukan saja untuk memenuhi permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai Karawang sebagai persiapan merebut kembali pelabuhan Banten yang telah dikuasai oleh kompeni (Belanda), yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.
Masuknya tentara Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram. Pada tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dan Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya dan Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dan pengaruh Banten, mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras, dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan
mendirikan tiga desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan
Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakannya kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung memiiki anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakari.
Demi menjaga keselamatan wilayah Kerajaan Mataram sebelah barat, pada tahun 1628 dan 1629, bala tentara Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun, serangan ini gagal disebabkan keadaan medan yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan daerah Karawang sebagai pusat logistik yang harus memiliki pemerintahan sendiri dan langsung berada di bawah pengawasari Mataram serta harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang sehingga mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun persawahan guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Peribahasa yang lahir pada saat itu adalah, “ka nagri babakti ka
rahayat ulah codéka-tungguan munding bulé ngabaladah sawah “ lahir dan sebuah kewaspadaan yakni mampu bertindak adil dan menempatkan diri yang semestinya harus dilakukan dengan perubahan kekuasaan. Peribahasa CCPKSSPI memberikan petunjuk bahwa kita harus bijaksana dalam setiap gerak langkah dan ketika berpikir dan menempat diri atas berbagai perubahan yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar