Loyalitas dari seorang sahabat untuk membuat,menampung opini, menyebarkan berita, video, slogan maupun propaganda semata mata untuk : MENGANTARKAN H.DEDI MULYADI,SH.(DANGIANG KI SUNDA) BERKANTOR DI GEDUNG SATE
Minggu, 25 Desember 2016
Buku : KANG DEDI MENYAPA JILID 2 Bab 32 : UBAH ORIENTASI TENTANG WANITA
"Kritikan tentang emansipasi yang semu"
Sebenarnya kalau bicara tentang pembaharuan wanita, di Indonesia itu bukan hanya ada ibu Kartini saja. Banyak tokoh-tokoh sejarah lain yang tidak tertulis dalam sejarah dan tidak dianggap sebagai pahlawan.
Di Jawa Barat ada Dewi Sartika yang makin lama makin hilang dari omongan orang dan malah nyaris tidak diperingati, termasuk oleh pemerintah daerah. Lalu ada anak seorang pemburu, namanya Raden Ayu Lasti Diningrat, meninggalnya di tahun 1946 dan dulu sudah berhasil mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan di Garut.
Jangan juga anggap wanita berkiprah di dunia politik sebagai hal yang baru. Di zaman kerajaan Sunda itu sudah ada tokoh Dewi Maya Sari Raja Putri yang memerintah bersama suaminya pada waktu zaman Tarumanegara, yang kedua adalah Dewi Munasih istrinya Raja Tabu Sumbawa yang mengubah kerajaan Kertanagara menjadi kerajaan Sunda.
Problemnya, Indonesia
adalah negara yang tidak memiliki latar belakang kualitas secara jelas. Di satu sisi kita sudah masuk dalam kerangka pemikiran yang sangat liberal bahwa wanita memiliki kebebasan yang luar biasa, tetapi di sisi lain kita _masih memiliki pemikiran yang . sangat tradisional.
Kita pun sekarang menganut ajaran Islam yang fiqihnya di pengaruhi oleh budaya Timur Tengah. Di satu sisi wanita sudah menjadi anggota DPR, menjadi menteri, presiden, tetapi ketika dia menikah maka tidak berhak menikahkan dirinya, karena yang berhak menikahkan adalah bapaknya. Perempuan tidak berhak menjadi saksi dan tidak berhak untuk menikahkan. Menikahkan itu dalam kaidah kita adalah perikatan, perikatan itu adalah satu sama mengikatkan diri. Ini tradisi, ini fiqih, yang dirasakan dan diyakini sebagai kebenaran yang tidak bias diubah sampai kapanpun itu. Di satu sisi memperjuangkan wanita agar
memilild hak apapun di republik ini tetapi di sisi lain kita tunduk terhadap budaya barat. Kita tunduk terhadap tradisi budaya yang sudah kita yakini lama, di mana kalau menikah diawali tradisi lamaran, biasaya diawali dengan tukar cincin. Perempuan diikat oleh laki laki, tidak boleh pergi kemanapun. Diikatnya itu dengan cincin emas dan berlian. Perempuan diikat berdasarkan kekuatan material. Dan situ terlihat apa yang dibanggakan oleh kita:
Kemudian ada tradisi ketika menikah laki-laki membawa barang bawaan yang sedemikian banyaknya kepada perempuan. Di situ perempuan diikat lagi, dari segi kasta dia tetap lebih rendah, dia adalah bagian yang dibeli.
Kenapa perubahan tidak dilakukan pada tradisi-tradisi itu? Kenapa tradisi itu malah kita lestarikan? Padahal itu adalah merendahkan perempuan. Hampir di seluruh dunia banyak yang meletakkan wanita sebagai bagian dan yang dikorbankan atau bagian dan pemuas laki-laki.
Menurut saya kembali lagi pada kaidah. Dalam tradisi Sunda itu ada keyakinan pada dua hal, yang pertama orang Sunda menyebut Tuhannya itu dengan kalimat Sunan Ambu yaitu feminin. Kemudian yang kedua menyebut Dewi Sri sebagai sumber inspirasi kehidupan, meletakan dia pada kekuatan kehalusan.
Ada kalimat sederhana dalam tradisi wayang yaitu “mempeung buni dina caang, negrak bari teu katembong” dan “wong asih acatetan”. Dua kalimat itu menunjukkan sebuah filosofi dasar tentang apa tentang fenimisme.
Dalam tubuh manusia itu ada dua hal yang melingkupi, yang pertama sikap maskulin dan yang kedua sifat feminin. Sikap maskulin itu dilambangkan sebagai kekuatan sifat pikiran maka di situ ada kekuatan kepandaian. Kalau dalam tradisi kita disebutnya kotakan, ini kekuatan yang menerobos apapun, dia mau menabrak siapapun. Maka Tuhan membuat dialog kotak itu dalam sebuah perdebatan antara setan dengan Nabi Adam karena ini menjadi kekuatan. ini bukan sifat kaum laki-laki, tetapi inilah domain yang sering dilakukan kaum laki laki.
Yang kedua ada sifat feminin yang dinamakan sifat kiri. Ada kelembutan, kehalusan, cenderung tidak memperlihatkan diri, menahan sesuatu, tidak terbuka bahkan menyimpannya di dalam secara rapat-rapat. Membuat barikade rahasia yang tidak bisa ditembus oleh siapapun.
Yang sempurna itu manusia yang memiliki kekuatan maskulin dan kekuatan feminim, yang mempunyai keseimbangan.
Ada rohman ada rohim, ada yin ada yang. Karena memiliki keseimbangan saya katakan tidak boleh lagi berdebat persoalan ideologi perempuan.
Yang ingin kita arahkan kali ini adalah bagaimana membentuk sosok manusia. Jangan suka memisahkan manusja itu antara laki-laki dengan perempuan karena survey membuktikan terbalik. Banyak perempuan juga yang beraninya lebih daripada laki laki, bahkan sifat terbukanya lebih dari pada laki-laki.
Tetapi ketika laki-laki dianggap sebagai sosok yang terbuka, kemudian kasar, berani belum tentu juga, ternyata laki laki banyak yang lebih lembut dan perempuan. Dengan demikian maka mempertarungkan laki-laki dengan perempuan dari segi itu adalah kesalahan fatal karena itu adalah rangkaian dan politik.
Yang harus dilakukan oleh kita hari ini adalah membangun karakter manusia, agar manusia itu menjadi maskulin dan juga menjadi feminin. Orang yang feminim saja tidak akan pernah bisa membangun jalan, orang yang maskulin saja tidak akan bisa mengenal Tuhannya. Maka pembentukan karakter manusia harus menghasilkan pembentukan k arakter kanan dan karakter kiri
Pendidikan yang diarahkan di Purwakarta hari ini pendidikan yang
seperti itu. Pendidikan yang I mengandalkan otak kanan tidak akan berhasil, karena kanan hanya akan melahirkan manusia-manusia yang pandai, tetapi dia tidak mempunyai keterikatan dengan Iingkungan tidak memiliki keterikatan Tuhan. Tetapi jika memperkenalkan otak kiri saja maka mereka tidak akan pernah mau bersaing. Kedua sistem inilah yang harus dipacu.
Di Purwakarta, anak-anak tidak boleh jajan, saya katakan ini adalah pesan ideologi. Karena apa yang menghancurkan sistem Indonesia hari ini adalah materialisme, di mana perempuan meletakkan dirinya sebagai bagian dan materi dan menganggap materi itu sebagai segala-galanya bahkan kesempurnaan bagi seorang perempuan.
Beragam kalimat juga harus dihapus dalam sistem kebudayaan kita. Saya contohkan kalimat ‘harta, tahta, wanita’ tidak boleh diucapkan oleh siapapun, karena meletakkan perempuan sebagai bagian dan kekuasaan.
Seolah-olah kekuasaan seseorang itu bisa jatuh karena harta, seolah-olah seseorang bisa jatuh karena wanita. Tidak bisa begitu. Banyak perempuan jatuh dan kekuasaannya karena godaan dan laki-laki juga, tetapi selama ini kaum perempuan membiarkan itu menjadi bahasa seolah-olah wanita itu penggoda. Jangan mau anda sebagai perempuan dibilang penggoda.
Jangan pernah menganggap kebendaan itu bagian dan kebahagian. Kepuasan wanita bukanlah berlian, bukan baju yang mahal, bukan makanan ynag enak, tapi kepuasan wanita ada pada kekuatan batinnya.
Kesimpulan dengan peringatan han Kartini, bahwa para Kartini Purwakarta memberikan rekomendasi kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak boleh lagi mengungkapkan kalimat harta-tahta-wanita dan wanita sebagai penggoda kaum laki laki. Tidak boleh lagi meletakkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan, tidak boleh lagi meletakkan wanita bagian dari benda.
Saya jujur secara pribadi sangat sedih sebagai orang Sunda. dengar kiub malam pasti peIayan cantik-cantiknya orang Sunda, Di club malam Bandung orang Sunda, di Bengkulu orang Sunda, di Batam pun orang Sunda. Nah ada apa ini dengan perempuan Sunda? Yang salah adalah pendidikan yang meletakkan materi sebadai kekuasaan wanita.
Maka anak-anak di sekolah tidak boleh jajan itu adalah bagian upaya pembentukan karakter ideologi, membiasakan kaum ibu untuk memasak dan membiasakan anak-anak memakan makanan dari ibunya dan membiasakan anak perempuan untuk beriman diri dalam hidupnya.
Saya yakin betul perempuan yang dididik oleh ibunya secara baik, dididik apapun sampai pengetahuan intelektual, dia tidak akan menjadi wanita yang menjual dirinya sampai kapanpun. Karena pendidikan wanita dimulai di dalam rumahnya sendiri.
Tetapi kalau sejak lahir itu dia sudah dibiasakan dipakaikan lipstik oleh ibunya, dibiasakan dirinya mengenal dunia oleh ibunya, kemudian dia tidak diajarkan feminin oleh ibunya, maka dalam waktu cepat dia akan mengubah dirinya, menjadikan barang sebagai alat pemujaan dirinya.
Kenapa saya meminta anak perempuan untuk memakai kebaya? Karena ini pendidikan tradisi. Di Jepang, ibu-ibu mengajarkan bagaimana cara membuat kimono dan menggunakannya dan kimono menjadi pakaian kebesaran orang Jepang yang harganya sangat mahal.
Yang saya betul-betul inginkan adalah pendidikan tradisi yang diahli wariskan oleh ibu pada anak anaknya dan kemudian diwariskan lagi pada generasi selanjutnya. Filosofi dasar di situ adalah meletakkan perempuan sebagai keunggulan pertama seorang fenimisme. Kenapa? Karena selama ini perempuan telah mengambil bajunya laki-laki. Kami kaum laki-laki tidak pernah marah ketika perempuan memakai celana panjang, tapi perempuan menegur kalau kami pakai samping songhek. Kalau seperti itu siapa yang melintas? Perempuanlah yang sudah melintas, maka saya mengembalikan pada perempuan itu supaya tidak melintas. Untuk apa? Untuk tradisi, pembentukan karakter. Dulu anak perempuan rambutnya pendek disebut jalu tapi sekarang biasa, dulu anak perempuan pakai celana panjang disebutnya jalingkak sekarang biasa, dulu anak perempuan kalau naik motor “cangegang” disebut jalingkak, tapi sekarang biasa. Pertanyaannya adalah apakah kebebasan itu upaya untuk membuat mereka tidak terhormat.
Maka saya katakan tradisilah yang membuat perbatasan bagaimana membentuk karakter itu. Maka ibu-ibunya harus mewariskan, anak harus belajar merenda, menjahit memasak, karena itu pembentukan karakter fenimisme.
Saya meminta mereka mempelajari dua bahasa; bahasa Sunda dan bahasa Inggris untuk membangun karakter masa depan, agar dia memiliki akar karakter kebudayaannya. Bahasa adalah kekuatan kebudayaan.
Saya katakan sulit orang Indonesia mengidentifikasi dirinya dari sisi sosial kultur kebudayaan ideologis kalau dia tidak mengenal bahasa ibunya.
Ketika bicara Paricasija maka kita bicara Ketuhanan yang maha esa, keragaman bertuhan. Kemudian kita bicara tentang manusia, maka kita bicara esensi manusia, bicara esensi kemanusiaan maka kita bicara latar belakang kita dari mana, apakah kita orang Sunda, Jawa, Ambon, Manado dan lain-lain. Orang manapun kita tapi kita memiliki garis ideologi sebagai pembentukan karakter kemanusiaan dan termasuk prinsip-prinsip kehidupan.
Kalau dia tidak mengenal bahasa ibunya, maka dia tidak mengenal garis keturunnannya. Kalau tidak mengenal keturunannya, tidak akan mengenal garis kebudayaannya. maka dia tanpa bentuk dan tanpa watak, maka disebutnya abuga,
Kalau perempuan - sejak kecil terbentuk karater itu maka nanti dia tumbuh kekuatan yang mandiri. Tidak tergantung pada apapun. Hanya dengan pendidikanlah kita mengubah wanita Jawa Barat. Hanya dengan pendidikanlah kita mengubah wariita Indonesia. hanya dengan pendidikanlah mampu mengubah kultur Sunda yang sudah dianggap nakal.
Hari ini para Kartini tidak berhadapan lagi dengan apapun, mau jadi anggota DPR mau jadi apapun. Yang pikirkan hari ini adalah membetulkan karakter anak anak kita.
Karakter feminin. disebutnya karakter yang tidak terlihat, karakter yang menampakkan diri. Karakter yang tidak menampakkan diri itu bukan berarti tidak ada tapi justru dia ada dan berkuasa. Kalau anda mengatakan yang tidak terlihat itu tidak berkuasa, maka sama saja anda katakan Tuhan tidak berkuasa.
Tuhan itu tidak terlihat dan tidak memperlthatkan din, tapi kita tidak berkata bahwa Tuhan tidak berkuasa, justru Tuhan berkuasa karena dia tidak memperlihatkan dirinya. Kalau Dia rnemperlihatkan diri maka jelas ruang gerak dan waktunya, maka Dia teridentifikasi letaknya. Kalau sudah teridentifikasi letaknya maka Dia tidak berkuasa lagi karena terikat pada letak.
Masalahnya, kita ini terbiasa untuk tidak rnenghargai sesuatu yang tidak terlihat. Misalnya kalau seseorang berhasil karena peran istrinya, orang tidak menyebut peran istrinya secara terbuka. Tetapi kalau perempuan maju jadi bupati, maka orang langsung mengidentikkan, “Oh dia jadi lantaran salakina”.
Inilah pembentukan karakter, inilah pembentukan sosok. Kita menganggap tidak maju kepada si ibu tukang sangu di pasawahan yang berjualan tidak berorientasi untuk keuntungan. Berjualannya hanya berorientasi memberikan dukungan kepada siapapun. Padahal sesungguhnya ibu itu mulia karena dia sudah meletakkan kekuatan sosial sebagai bagian terbesar dari hidupnya.
Inilah orientasi arah kita tentang wanita, sehingga di manapun dia itu tidak penting. Yang terpenting adalah peran strategisnya dalam melakukan perubahan-perubahan. Kuota perempuan 30% di DPR apakah kemudian juga mengangkat harkat derajat perempuan? Ternyata tidak juga karena orang partai politik itu serampangan ambil nama perempuan, “nu penting mah 30% asup, saha wae di asupken”.
Akhirnya politik perempuan tidak terhormat lagi karena banyak orang tidak terhormat dimunculkan saking ingin mencapai kuota itu. Menurut saya mau 40%- 50%, mau semuanya perempuan juga tidak apa-apa selama itu bisa memberikan kontribusi bagi perubahan-perubahan.
Perempuan Indonesia kini bebas menentukan pilihan, memiliki kebebasan yang cukup kuat. Tinggal persoalannya adalah apa kita sudah mengidentifikasi seluruh kebebasan itu menjadi sesuatu yang memberikan manfaat yang cukup kuat bagi perubahan.
Lihatlah, setingkat Nabi Muhammad SAW juga meletakkan
peran perempuan secara sangat luar biasa. Ketika Rasulullah ditinggalkan oleh Siti Khodijah maka dia selalu menunduk melamun dan kemudian dia selalu berkata, “Aku mendengar suara terompah Khodijah di surga”, artinya orang yang sempurna sepertinya pun memiliki keterikatan psikologis yang sangat luar biasa pada sosok Khodijah.
Apakah Khodijah itu perempuan pandai seperti Siti Aisyah? Ternyata tidak, dia adalah sosok perempuan saudagar yang lebih banyak diam. Kalau sudah seperti itu, ternyata keterikatan seorang laki-laki bukan pada kepandaian saja, bukan pada umur yang muda, tetapi pada psikologi di mana seorang wanita bisa memberikan ketentraman bagi seorang laki-laki ketika menghadapi berbagai macam problem.
Tidak ada manusia yang mandiri, satu sama lain saling berikatan. Di balik ketangguhannya yang luar biasa pada seorang wanita, biasanya ada seorang laki laki yang lembut yang menata dirinya dari hari-kehari. Di balik ketangguhan seorang laki-laki ada seorang wanita yang menata dirinya. Yin dan yang itu bukan jenis kelamin tapi adalah sifat pada manusia. Feminin dan maskulin
bukan jenis kelarnin, tetapi yang ada pada setiap manusia.
Perempuan bisa jadi maskulin, laki-laki bisa jadi feminin. Perempuan bisa jadi feminin, laki-laki bisa jadi maskulin, kedua-duanya
Alangkah sempurna manusia manakala memiliki kedua duanya secara seimbang.
Kritik saya yang lain yaitu negara ini negara demokrasi
tradisinya sangat feodal. Salah satu contoh dari feodalisme, Negara bukan meletakan kesejahteraan rakyatnya itu pada system atau konstitusi tapi pada kebijakan. Jadi seorang gubernur, seorang Bupati,seorang presiden itu menjadi sesuatu yang sangat sakral karena khawatir nanti yang terpilihnya tidak adil.
Padahal ini sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia misalnya selalu berharap mudah-mudahan nanti terpilih presiden yang ratu adil, bukan presiden yang adil. Meletakan kekuasaan pada dia untuk menentukan keadilan sehingga dibuatlah ramalan Jayabaya, dibuatlah ungkapan notonegoro.
Padahal negara yang baik itu adalah negara yang meletakkan sesuatu pada konstitusi, di mana penyelenggara negara tunduk pada konstitusi, dan rakyatnya pun tunduk pada konstitusi. Jadi kalau bicara kebijakan di bidang kesehatan misalnya, tidak usah lagi. nunggu langkah presiden tapi dibuatkankan saja UU tentang jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat. Negara wajib memberi perlindungannya. Dengan UU pendidikan maka negara wajib melindungi warganya untuk sekolah sampai perguruan tinggi, mau kaya mau miskin tetap gratis. Ada IJU Transportasi maka negara wajib menyediakan sarana transportasi yang baik bagi rakyatnya, ada UU tentang keamanan maka negara wajib melindungi seluruh warganya dan berbagai macam pencurian. Sehingga pemimpin siapapun tinggal menjalankan UU tadi.
-Disampaikan dalam peringatan Hari Kartini di Bale Citra Resmi, Purwakarta, 21 April 2014
#inspirasikangdedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar